webnovel

Hujan Di Planet Mars

Bagaimana sosok Satria (tokoh utama) berusaha menjadi Pria normal namun dengan filosofi dan sudut pandang dari dirinya yang justru lain daripada Pria pada umumnya. Ditemani oleh ketiga kawannya, Satria akan mengubah pandanganmu tentang arti hidup bahagia sesungguhnya, serta bagaimana cara mencintai seseorang tanpa harus memiliki. Story ini berdasarkan kisah nyata yang bersumber dari diary sang tokoh utama, lalu dikemas dan diceritakan kembali melalui sudut pandang penulis.

Aldi_Yanto_2275 · วัยรุ่น
Not enough ratings
18 Chs

Selamat Tinggal

"Ini Zelda demamnya naik turun, Ibu khawatir!!!"

"Yaudah Bu kita bawa ke klinik aja. Buruan bu siap-siap!!!"

"Iya..."

Sore itu, Satria dan Ibu bergegas menuju klinik Setya bakti guna mengobat Zelda (adik pertama Satria) yang sudah demam lebih dari tiga hari. Sesampainya disana, Zelda pun langsung masuk ke ruang pemeriksaan dan di beri infus. Setelah lima belas menit pemeriksaan, ternyata Zelda mengalami gejala tifus dan radang tenggorokan. Ketika itu Ia sangat kekurangan cairan tubuh hingga bibirnya pucat. Ibu pun panik setelah mengetahui anak putri nya itu mengalami dua penyakit sekaligus di usianya yang masih dua tahun. Namun, penangan yang cepat berhasil meringankan demam yang dialami oleh Zelda. Setelah enam jam perawatan, Zelda pun diizinkan pulang dengan membawa obat-obatan khusus yang harus di konsumsinya setiap hari. Sementara Satria menebus obat, Ibu pun pergi ke bagian administrasi guna membayar pengobatan Zelda. Ketika itu Ibu hanya membawa tiga ratus ribu rupiah, dan ternyata biaya perawatannya berkisar dua ratus sembilan puluh ribu rupiah. Ibu pun menghela nafas sejenak persis sebelum menyerahkan uang tersebut. Setelah semua urusan di klinik selesai, Mereka pun pulang ke rumah. Setelah beberapa menit berselang sedari klinik, tanpa disangka motor Satria pun tiba-tiba mogok. Dengan terpaksa, Ibu pun harus berjalan kaki sembari menggendong Zelda dan Satria pun harus mendorong motornya sampai ke rumah. Di sela-sela perjalan mereka yang melelahkan, pastinya selalu ada obrolan dari bibir Satria yang setidaknya mampu membuat Ibunya tertawa.

"Bu, nanti kalau aku udah kerja, motor ini jangan di jual ya, sayang, kenangan." Ujar Satria.

"Ya terserah kamu, ibu mah doain yang terbaik aja." Ucap Ibu.

"Ohya, Capek juga ya bu dorong motor gini, mana masih jauh."

"Iya, sedih juga ya motor kita kayak gini, mogok terusss!!!"

"Tapi aku bersyukur bu, karna aku tau rasanya dorong motor."

"Yehhh, yang harusnya bersyukur tuh mereka-mereka yang motornya bagus, sehat, dan gak mogok terus kayak motor kita."

"Tapi kita beruntung bu, kita biasa dorong motor, jadi ketika kita ngalamin, kita gak kaget, dan yaudah...biasa aja. Beda sama orang yang biasanya motornya sehat-sehat aja. Pasti pas motor mereka mogok, mereka pasti ngeluh, marah, ngedumel, ada yang malah akhirnya ninggalin motornya gitu aja, karna males dan ngerasa dia bisa beli lagi. Kita beruntung bu, mereka yang kurang beruntung hehe."

Mendengar perkataan Satria, Ibu pun menoyor kepala anaknya itu seraya tersenyum. Namun, di sela-sela senyumnya, Satria melihat sedikit air mata dimata ibunya yang tak kunjung turun. Yang bisa di lakukan Satria hanyalah menghibir Ibunya agar setidaknya ia tahu kalau ini semua bukanlah kesalahannya, melainkam takdir yang harus di jalankan bersama.

Setelah berjalan lebih dari sepuluh menit, akhirnya mereka pun sampai di rumah. Sesampainya di rumah, Zelda pun langsung diminumi obat lalu dibaringkan di kasur. Tak lama dari itu, handphone Ibu pun berdering.

Kringgg...kringgg...kringgg...

"Halo!? Siapa ya!?" Ujar ibu mengangkat telepon.

"Ini aku mba, Sigra." Jawab Om Sigra.

"Oalah kamu toh nduk, kenapa!?"

"Ini, jadi aku tau kalau mba lagi susah. Aku juga tau anak mba sakit, uang mba juga habis. Aku disini cuma mau saranin sekaligus minta jawaban ke mba, mba mau gak ke Jambi? Nanti, Mba di kasih usaha, trus si Satria nanti dikasih kerjaan. Disini relasinya banyak kok mba."

"Aku gak tau Gra, Satria pasti gak mau. Dia mau kerja dan kuliah disini."

"Aku sebagai adik, aku mau ngertiin Mba sebagai kakak. Tapi, Aku juga yakin, kalau Mba tetep mau di sana, Mba gak akan maju. Hidup tuh harus maju Mba, Mba sama suami Mba aja udah gak harmonis lagi, lebih baik Mba disini, biar Satria rancang masa depannya, Mba juga bisa deket sama keluarga dan kita bisa saling bantu nantinya."

"Aku belum bisa kasih jawaban sekarang Gra, aku harus tanya anakku dulu mau atau enggak. Tapi, makasih ya Gra kamu udah baik sama Mba."

"Yasudah, kabarin aku Mba kalau Mba udah punya keputusan."

Tuttt....(telepon di matikan)

Ibu Satria pun langsung terfikir akan pernyataan adiknya barusan. Sesungguhnya ia pun tak ingin pulang kampung hanya untuk sekedar 'menumpang hidup' meskipun dengan tujuan dan jaminan yang jelas. Ia masih yakin dan terus berdoa jikalau Satria bisa mendapatkan pekerjaan segera.

    Hari terus berlalu, sudah berminggu-minggu Satria berusaha untuk mendapatkan kerja, namun hasilnya masih nihil. Ibu pun sudah sempat menceritakan tentang rencana untuk pulang kampung kepada Satria. Ketika itu Satria menolak mentah-mentah dan ingin tetap berusaha sendiri. Namun, kini hatinya gundah. Mendapatkan pekerjaan tak semudah yang ia bayangkan. Seringkali, ketika Ia menatap wajah adik-adiknya yang polos, hatinya tergoyah dan bertanya kepada dirinya sendiri tentang bagaimana nasib adik-adiknya kelak jikalau ia tak mampu untuk menguliahkan mereka. Di minggu keenam itu, Satria nampak sudah pasrah dan lelah. Terbesit di benaknya kalau memang ia harus pindah ke Jambi dan memulai hidup baru demi kebahagiaan dan kesuksesan adik-adiknya. Ia hanya ingin masa depan adik-adiknya terjamin, namun disisi lain ia nampak tak kuasa untuk pergi meninggalkan kota kelahirannya.

     26 Juni 2020, Satria, Abyan, Maskur dan Thomas pun bertemu. Seperti biasa, mereka nongkrong di warteg lia untuk sekedar menyeruput kopi sembari mengobrol malam. Ketika itu suasana warteg sedang ramai, Mereka juga mengobrol santai dan tertawa seperti biasa. Namun, suasana seketika hening ketika Satria memutuskan untuk memberi tahu mereka tentang rencana kepindahannya. Satria juga memberitahu jikalau ia akan berangkat lima hari lagi yaitu hari Rabu, 1 Juli 2020 pukul lima lewat dua puluh pagi. Abyan, Thomas dan Maskur pun syok mendengar rencana kepergian sahabatnya itu. Mereka fikir terlalu cepat untuk membuat keputusan seperti itu. Mereka bertiga berfikir jikalau Satria membuat keputusan itu dengan spontan dan tergesa-gesa. Namun, satria membantah. Ia sudah memikirkan hal itu sudah sejak lama, ia juga tak semata-mata memikirkan tentang kebahagiaan dirinya sendiri, namun ia juga ingin kepastian masa depan atas adik-adiknya yang amat ia sayang. MAST seketika berduka, Abyan Thomas dan Maskur pun hanya bisa pasrah setelah berjam-jam berdebat dengan Satria perihal kepindahannya itu. Mereka pun merencanakan untuk menginap di rumah Thomas sebagai bentuk Momen terakhir untuk Satria yang bisa mereka kenang nantinya.

    30 Juli 2020, Abyan, Maskur dan Satria pun bergegas ke rumah Thomas sedari pukul delapan pagi. Mereka sungguh ingin menghabiskan waktu seharian penuh untuk terakhir kalinya. Ketika itu Satria membawa serta koper besar yang berisi baju-bajunya untuk dibawa menuju Jambi. Setelah semua barang menginap sudah diamankan di rumah Thomas, Mereka pun menjalankan Agenda pertama, yaitu memutari Kota Depok. Butuh sekitar lima Jam untuk mereka berempat memutari Kota Depok seraya mengenang bersama peristiwa-peristiwa lucu di setiap tempat yang mereka lewati. Mereka cukup lama nongkrong di SMP, yaitu tempat dimana mereka pertama kali bertemu. Disana pula, Satria pertama kali bertemu dengan Amira. Setelah jam sudah menunjukan pukul dua sore, mereka pun memutuskan untuk kembali ke rumah Thomas. Sesampainya disana, mereka pun bermain layangan bersama di lantai dua rumah Thomas. Seraya mengobrol seru, mereka nampak bahagia menikmati tiap detik yang terbuang. Hingga akhirnya, Matahari pun hendak pamit dan ingin berganti dengan Bulan. Ketika malam tiba, mereka pun memasuki agenda ketiga, yaitu bakar-bakar. Malam itu sungguh indah bagi Satria, ditambah dengan tingkah lucu Maskur yang tak sengaja memakan arang hidup yang menempel pada daging ayam yang di bakarnya, canda dan tawa pun pecah malam itu. Satria pun tersenyum lebar dan terus berdoa kepada Tuhan agar hari ini jangan berakhir. Namun, waktu nyatanya terus berjalan, Beberapa menit sebelum mereka terlelap bersama, Abyan pun menyerahkan sebuah buku tulis berwarna coklat yang isinya pun masih misterius.

"Nih sat, buku kenangan buat lo. Demi apapun, isi dari buku ini adalah tulisan tangan yang di tulis sama Gue, Thomas dan Maskur. Tapi buka nya gak boleh sekarang, nanti pas lo udah di Bis, baru lo boleh buka buku ini oke!!!???" Ujar Abyan.

"Oke, makasih banyak bro. Gue harap suatu hari nanti kita bisa ketemu lagi dan kita semua udah sukses!"

Aminnn....

Tak terasa, jam sudah menunjukan pukull empat pagi. Abyan Maskur dan Thomas pun masih terlelap, sedangkan Satria sudah siap sedia dengan kopernya untuk berangkat menuju terminal. Disana ia sudah ditunggu oleh Ibu dan adik-adiknya yang sampai lebih dulu. Dengan mengucapkan salam perpisahan di dalam hati, Satria pun bergegas dari rumah Thomas menuju Terminal menggunakan Motor bututnya. Angin pagi itu sungguh dingin, memaksa Satria untuk mengenakan jaket kesayangannya. Suara mesin motor yang menembus kesunyian pagi itu, seakan mengingatkan kembali akan kenangan tentang Amira. Motor bututnya inilah yang menjadi saksi bisu jikalau Amira pernah mencintai dirinya, sangat mencintai. Fikirnya pun seketika telempar menuju waktu dimana Ia, Abyan, Maskur dan Thomas menembus hujan badai bersama demi membantu Maskur guna memberi surprise kepada Alya tiga tahun yang lalu. Kenangan itu selalu berhasil membuat Satria tersenyum dikala mengingatnya. Namun kini, senyum itu dibarengi dengan tetesan Air mata di pipinya.

Setelah menempuh perjalanan selama lima belas menit, Satria pun sampai di terminal. Disana, ia langsung disambut oleh Ibu dan adik-adiknya, Serta seorang Pria yang ternyata adalah juru parkir di terminal itu. Ia bersedia jikalau Satria akan memberikan motor bututnya itu agar bisa dirawat dan digunakan oleh pria tersebut. Satria pun memberikan kunci motor kesayangannya itu dan segera bergegas menaiki Bus tujuan Jambi Kota. Ketika sudah berada di dalam bus, Ia pun langsung membuka buku tulis berwarna coklat yang diberikan oleh sahabatnya itu. Tawa pun pecah ketika ia melihat beberapa tempelan foto MAST dari tahun ke tahun yang di hiasi dengan tulisan ceker ayam di bawahnya. Setelah membaca semua isinya, Ia pun hendak terlelap seraya memeluk buku tersebut. Namun, tanpa sengaja ada sebuah kertas lipatan yang terjatuh dari dalam buku tersebut. Satria pun terkejut dan langsung penasaran untuk membukanya. Ia pun mulai membuka lipatan kertas tersebut dan membacanya.

"Ini adalah pesan dari kita bertiga, Untukmu sahabat. Jujur kita gak akan pernah siap untuk ngelepas lo pergi. Tapi pada akhirnya kita sadar kalau kita harus bisa buat ngelepas lo. Enam tahun bukanlah waktu yang singkat, kita udah lewatin banyak peristiwa-peristiwa bersejarah yang akan jadi cerita hidup kita kelak. Selama enam tahun juga kita telah berjalan bersama di dunia ini, kita juga sama-sama liat betapa jahat dan kejamnya dunia yang kita pijak sekarang. Namun, karna kita bersama, kita selalu mampu lewatin itu semua dengan tawa. Sayangnya, kita melupakan satu hal. Selain dunia ini jahat, dunia ini juga luas dan memiliki kuasa penuh untuk sekedar memisahkan empat orang sahabat. Semesta telah menentukan takdir kita, yaitu berpisah secara jarak. Kita semua berharap ini bukanlah akhir, tapi sebuah proses hidup yang nantinya akan menempa diri kita agar menjadi orang yang lebih baik."

"MAST ~ 2020"

Setelah membaca isi kertas tersebut, Satria pun tak kuasa menahan kesedihannya. Ia pun memeluk buku berwarna coklat tersebut dengan sangat erat di dadanya. Disaat yang bersamaan, hatinya pun berbicara dan merintih. Tak ada seorang pun yang dapat mendengarnya, namun suara rintihan itulah yang Satria rasa paling keras, mengalahkan suara riuh penumpang bis lainnya. Selamat tinggal Depok, tempat dimana Satria di lahirkan dan berbahagia, tempat dimana pertama kali ia menangis dan tertawa. Satu-satunya kota yang sudi menjadi saksi bisu perjalanan hidup Satria bertemu dengan teman-teman dan sahabat terbaik yang tak akan pernah mampu hilang dari memorinya. Terimakasih, Semoga kita bisa bertemu lagi.

"TAMAT"