Setelah embusan napas berat, kedua kakiku melangkah
gontai keluar dari lift. Aku lupa kalau di dalam lift itu ternyata ada Pak
Dewa. Mungkin dia mendengar percakapanku dengan Kayla. Biarlah. Aku tidak
peduli. Aku tidak pernah mencampuri urusannya. Kuharap dia juga begitu.
Di lantai tiga puluh ini, hanya ada ruangan bos
besarku, ruanganku, ruang meeting yang besar dan satu ruangan lagi yang
digunakan oleh tangan kanan Pak Dewa. Aku masuk kedalam ruanganku. Ruangan yang
cukup besar menurutku. Entah siapa yang mendesain ruangan ini. Bahkan ruangan
ini memiliki sofa panjang yang bisa ku gunakan untuk rebahan.
Aku mendaratkan pantatku di sofa panjang yang
empuk. Kedua mataku masih sangat mengantuk. Mungkin lebih baik aku tidur dulu.
Hampir saja kupejamkan mataku, tapi urung ku lakukan karena indra pendengaranku
menangkap suara langkah kaki seseorang berjalan ke arahku.
Pak Dewa. Dia lagi dia lagi. Aku bosan melihatnya
setiap hari. Kalau bukan karena aku butuh pekerjaan ini. Mungkin aku sudah
jauh-jauh hari meninggalkan tempat ini.
Aku terlanjur membencinya, sejak pertama kali
bertemu dengannya lalu ia menabrakku dan tidak meminta maaf justru marah-marah
padaku . Pak Dewa bilang kalau aku pembuat masalah! Aku membencimu Dewa. Aku
muak melihatmu. Mati saja kau!!!!! Uhh!
"Ya pak ?" Akhirnya aku membuka pintu.
Bertanya padanya tanpa tersenyum sedikitpun.
"Selamat pagi, Gadis. Saya bawakan makanan
utukmu. Di makan, ya. Kau pasti belum sarapan, kan ?"
"Tidak perlu repot-repot, Pak. Saya sudah
makan kok. Bapak makan aja sendiri." kataku datar dan berhasil
membuatnya sangat kesal. Aku bisa melihat jelas kalau ia hampir akan meledak.
"Gadis yang baik, bisakah kau menghargai
pemberian saya ? Tolong terima dan makanlah!" Dewa tersenyum manis. Tapi
dengan senyumannya itu, aku justru semakin membencinya.
"Baik, Pak saya terima." Aku menerima
makanan dari Dewa. Lagi pula aku belum sarapan. Lumayan bisa mengganjal perutku
dan menghemat pengeluaran dompet.
"Gadis, bisa bilang terima kasih ?" Dewa
tersenyum manis. Senyummu membuatku muak, Dewa.
"Bapak ikhlas atau tidak? Kenapa saya harus
bilang terima kasih? Kalau tidak iklas, nih saya balikin!" Aku
menyodorkan lagi bungkusan makanan itu pada Dewa.
"Makan aja. Saya tahu kau lapar, Gadis. Dan
tidak perlu repot-repot bilang terima kasih. Saya permisi." Dewa lalu
menutup pintu ruang kerjaku. Dan berlalu entah kemana.
Aku membuka kotak makanan yang diberikan Dewa.
Isinya menarik, aku melahap nasi putih dengan tumis cumi. Tinta hitam dari cumi
ini membuatku lebih berselera. Rasanya lezat sekali. Aku menghabiskan makananku
yang lezat ini dengan cepat. Setelah itu, kuteguk susu hangat yang barusan
diantar office boy. Salah satu yang selalu membuatku bahagia adalah makanan.
Tanpa mereka mungkin hidupku lebih kacau.
Oh! Bagaiamana bisa makanan membuat hidup
seseorang jauh lebih indah?!
Aku tidur kurang dari lima jam semalam. Setelah
perutku penuh aku merasa sangat mengantuk. Ahh, memang penyakit orang
Indonesia. Kalau kenyang pasti diserang kantuk.
Kurebahkan tubuhku diatas sofa panjang yang empuk.
Rasanya nyaman sekali. Aku menyukai tempat ini. Aku mengambil ponselku lalu
membuka aplikasi pemutar musik. Aku memutar musik sembarang dan menyandarkan
kepalaku disandaran sofa.
Aku membuka mataku. Rasanya aku memang tertidur
lelap beberapa jam ini. Aku melirik jam di pergelangan tanganku. Sudah tidak
terdengar alunan musik dari ponselku. Aku terkejut saat menyadari ternyata
sekarang sudah pukul 11.45 Wib.
Astaga!!!
Lima belas menit lagi waktu istirahat. Aku tidur
lima jam hari ini! Aku tidak menyangka tidur selama itu. Kudengar seseorang
mengetuk pintu ruanganku. Mungkin itu Pak Dewa. Mungkin setelah ini dia akan
membunuhku!
Aku membuka pintu dan ternyata yang datang adalah
Kayla.
Wait! What? Kayla?
"Dis! Dari mana saja kau! Aku menelponmu! Aku
mencariku kemana-mana!"
Dasar Kayla! Dia memang tidak punya sopan-santun
sama sekali! Apa dia tidak tahu aku bary bangun?
"Maaf, Kay. Aku ketiduran. Baru bangun."
kataku pasrah.
"Hah!!!" jeritnya.
Aku menunggu reaksi berikutnya. Mungkin Kayla akan
memelukku.
"Gadis, seharusnya kau katakan padaku atau
Rizal. Kami selalu ada untukmu. Kenapa kau memendam semuanya sendiri? Ada
apa?" tanyanya lembut.
Aku seperti melihat seseorang sedang menguping
pembicaraanku dengan Kayla. Atau mungkin hanya perasaanku saja ?. Ahh, lupakan!
Kayla kalau sedang marah bisa fatal jika diabaikan.
"Tidak, Kay! Aku baik-baik saja. Aku hanya
mengantuk dan tertidur. Aku tidak bermaksud mengabaikanmu. Maaf."
"Kau sudah makan, Dis ?"
"Sudah, tadi pagi. Tunggu sebentar, aku akan
memesan makanan untuk kita." ucapku seraya menampilkan senyum terbaik.
Meskipun dalam beberapa hal Kayla sangat-sangat menyebalkan, tapi aku senang
dia begitu perhatian padaku.
"Aku membawa makanan untuk kita."
"Kau tidak perlu melakukannya. Aku..."
kalimatku menggantung. Sulit mengatakannya. "Tidak mau merepotkanm."
"Husssht! Stop talking about it!
Aku tidak pernah merasa direpotkan sama siapa pun. Aku justru tidak akan
memaafkan diriku sendiri jika terjadi hal buruk padamu!" katanya tegas.
"Thanks, Kay. If you were a man, i
will marry you right now!." Kayla tertawa. Dia mengambil tasku dan
melihat isi dompetku.
Aku menyesal memujinya. Dia membuka dompetku dan
kembali berteriak. Dasar pembuat pembuat onar!
"Astaga, Dis!!!! Cuma seratus ribu !!!?
jeritnya histeris. "Kau mau makan apa sebulan? Kau bisa tambah kurus kalau
seperti ini! Apa kau tidak pernah menganggap aku dan Rizal selama ini!"
Kayla masih marah-marah. Aku lupa kalau dia memang
pemarah. Harus dengan cara halus menghadapinya.
"It's okay, Kay. Aku bisa cari
sampingan lain. Kerja part time atau yang lain. Jangan berlebihan seperti itu. I'm
fine." kataku meyakinkan.
"No, Gadis! Kayla mengeluarkan dompetnya dan
mengambil segepok uang seratus ribuan. Mungkin lima juta.
"Ini lima juta."
Voilla! Tebakanku benar, kan?
"Pakai ini! Jangan pikirkan bagaimana
menggantinya. Pakai saja untuk kebutuhanmu "
"Tidak, Kay!"
"Gadis, please." Kayla memohon.
"Kay, aku tahu maksudmu baik. Tapi aku juga
tidak mau terus-menerus bergantung padamu. Aku tidak mau menjadi bebanmu dan
Rizal. Kalian terlalu baik padaku."
"Gadis," Kalya memegang pundakku.
"Kita ini kan sahabat. Aku tidak pernah merasa di repotkan. Tolong, terima
ini."
Aku masih menimang penawaran Kayla. Tidak, mereka
terlalu baik padaku.
"Atau begini saja, kau pakai uang ini. Anggap
uang ini pinjaman dariku. Nanti kalau kau sudah punya uang, kembalikan
padaku."
"Are you serious, Kay?"
"Of course. Pakai saja dulu. Biar
hidupku tenang. Karena aku tidak akan merasa tenang kalau kau tidak membawa
uang sepeser pum."
"Thanks, Kay. Kalian baik sekali. Kau
dan Rizal. Kalian sudah seperti saudara kandungku sendiri."
"Kita memang saudara; Gadis." Kayla
memelukku erat. Aku beruntung memiliki dia.
Pak Dewa masuk ke ruanganku. Tanpa permisi dan
tanpa mengetuk pintu.
"Ada apa ini ?" Dia bertanya tanpa rasa
bersalah.
"Bapak bisa ketuk pintu dulu sebelum masuk
?" Aku menatapnya tanpa rasa takut sedikit pun.
"Saya berhak melakukan apapun di perusahaan
saya, Gadis."
"Terserah Bapak." Aku mengurai pelukannku
pada Kayla.
Kayla bersiap menyemprot Dewa dengan kata-kata
buruk. Dia membalikkan badan dan terbelalak ketika melihat bos besarku.
"Ohh, jadi ini bos yang katamu menyebalkan?
Yang kau benci itu? DEWA?"
"KAYLA?"
Mereka saling kenal?
"Kau apa kabar?" Kayla bertanya antusias.
"Baik. Dan kau?"
Sekarang mereka saling berpelukan. Ohh tidak!
Sahabatku dan musuhku. Apa aku sedang bermimpi?
"Wait! Gadis,apa Dewa bosmu?"
Aku mengangguk mantap. Kayla spontan menonjok perut
Dewa dengan sekuat tenaga.
"Aww! Sakit, Kay"
"Rasakan! Kau sudah membuat temanku menangis!
Gadis sangat membencimu!" cecar Kayla.
"Aku tidak bermakud menyakitinya, Kay. Aku
melakukan semua itu karena aku menyukainya. Kau bahkan berniat menikahi
Gadis."
"What?"
Aku tahu Kayla pasti terkejut mendengarnya. Pak
Dewa memang sering mengatakan hal itu. Sudah biasa.
"Aku menyukai Gadis sejak pertemuan pertama
kami. Tapi kau tahu dia masih menjalin hubungan teman SMP-ku, kau tahu,
Bastian. Aku menunggunya berpisah dengan Bastian. Jadi Gadis, will you marry
me??"
"Pak, Bapak tolong kalau bicara jangan
mengada-ada." Aku mulai kesal. Dewa mulai lagi dan lagi.
"Apa aku salah dengar?" Kayla bingung
mendengar ucapan Dewa.
"Tidak, Kay. Sekarang Gadis dan Tian sudah
resmi putus. Apa kau setuju kami menikah?"
"Setuju, Dewa. Aku tidak menyangka kau jatuh
cinta pada sahabatku. Aku tidak sabar menunggu undangan pernikahan kalian.
Jadi, tunggu apa lagi?"
"Menunggu dia." Dewa menunjukku.
"Gadis, kau harus menikah dengan Dewa."
"Tidak, Kay. Tidak akan!" ketusku.
"Dewa, dia terlanjur membencimu. Susah kalau
sudah seperti ini."
"It's okay, Kay. Wanita mana yang tidak
memujaku? Cepat atau lambat dia pasti akan jatuh cinta padaku. Dan saat itu
tiba, aku akan segera menikahinya dan membuatnya bahagia." ujar Dewa penuh
percaya diri.
"I trust you, man!"
Ponsel Kayla berdering nyaring. Ia mulai sibuk
dengan ponselnya. Entah dengan siapa dia berbicara.
"Maaf, sepertinya aku harus pergi sekarang.
Tadi aku membawa dua bungkus makanan. Kalian bisa memakannya berdua."
Seseorang mengetuk pintu dari luar. Kayla membuka
pintu dan masuklah Tian. Aku muak melihatnya.
"Dis ,aku minta maaf karena sudah menuduhmu
tidur dengan Dewa."
Kayla spontan melayangkan tasnya ke wajah Tian. Dia shock mendengar apa yang barusan Tian katakan.
"Damn it! What do you talking about!!! She
is not bitch! Pantas saja Gadis memutuskanmu!
Sudah kuduga. Pasti Kayla melakulan hal itu. Dasar
onar!
"Kay, listen to me! Ini semua salah
paham. Aku tahu aku salah. Dan aku menyesal mengatakannya. Tidak! Aku tidak mau
putus dengannya! Aku akan menikahi Gadis secepatnya!"
Aku juga cinta sama kamu Tian. Tapi biarlah cintaku
akhirnya basi dengan sendirinya. Lalu digantikan dengan rasa benci. Karena kau
telah menusuk hatiku. Merobeknya. Bahkan menghancurkannya hingga
berkeping-keping. Aku mungkin bukan perempuan yang baik untukmu. Begitu
juga sebaliknya.
"Gadis, kau masih mencintaiku?"
"Iya, masih."
"Terima kasih, Sayang. Kita balikan? Aku
berjanji tidak akan mengulanginya lagi." ucapnya seraya mendekat beberapa
langkah.
Aku melirik Dewa sekilas. Pria itu teraenyum begitu
manis.
"Tidak, Tian. Aku tidak mau jatuh di lubang
yang sama. Aku tidak mau sakit hati untuk kedua kalinya. Aku harap kau mengerti
maksudku. Dan mulai sekarang, jangan pernah ganggu aku lagi." Jemariku
bergetar saat mengatakannya.
"Gadis, please...."
"Maaf Tian. Aku tidak bisa."
"Tian," Kayla berdiri di antara aku dan
Tian." Sebaiknya kau pergi dari sini. Kehadiranmu hanya akan membuat Gadis
sedih. Aku tidak mau melihat sahabatku bersedih." Kayla mengusir Tian
dengan halus.
"Tidak, Kay. Aku tidak akan pergi sebelum
Gadis menerima aku lagi." kekeuh Tian.
"Hmbb, " Dewa berdeham singkat. Bastian
tolong tinggalkan Gadis sekarang. Saya ada urusan dengan dia. Dia harus
menyelesaikan laporan bulan ini sekarang. Anda bisa menemuinya nanti sepulang
kerja." Dewa berkata dengan tegas. Entah apa yang dia katakan benar
atau tidak. Tapi memang dia yang berkuasa disini. Jadi dia berhak melakukan
apapun yang dia mau.
"Baik, Pak." Bastian meninggalkan
aku,.Dewa dan Kayla.
"Maaf, aku harus pergi juga. Ada beberapa hal
yang harus kuurus."
"Dewa, tolong jaga Gadis. Jaga sahabatku.
Jangan sampai Bastian mendekatinya lagi."
"What do you talking about, Kay!"
Kayla memang tidak waras.
Setelah memelukku Kayla beranjak pergi
meninggalkanku dan Dewa. Aku menatap punggungnya hingga punggung itu hilang di
balik tembok yang menjulang tinggi di ujung ruangan. Sekarang tinggallah aku
dan Dewa. Aku merasa ada yang aneh dengan dia. Dia terus tersenyum melihatku.
Mungkin dia terkena penyakit jiwa.
"Ayo, kita makan makanan dari Kayla
Gadis." Kata Dewa sambil tersenyum manis.
"Emmbb, Bapak bisa bawa satu kotak ke
ruangan Bapak. Dan saya akan makan disini." kataku singkat.
"Tidak. Tidak Gadis. Saya akan makan
disini."
"Bapak bisa tidak sehari saja tidak mengganggu
saya ?"
"Tidak!"
"Apa mau bapak ?"
"Marry with me, Gadis."
"I can't."
"Why?"
"Because i hate you."
"No problem, Baby."
"Whatever!"
"Wanita mana yang tidak memuja saya, Gadis? You
know it! Mereka mencintaiku karena ketampanan yang kumiliki dan tentu saja
uang. Aku punya banyak uang. Dan wanita mana pun pasti akan dengan senang hati
menikah denganku. Tapi, kenapa kau malah selalu menolakku?"
"Karna anda menanamkan kebencian yang begitu
mendalam kepada saya."
"Harus berapa kali aku meminta maaf?"
"Lupakan."
"Okay. Mari kita makan Gadis. Kau pasti
lapar."
Aku tidak melanjutkan perdebatan itu. Karena Dewa
pasti akan tambah senang dan aku tambah muak denngannya.
Dia terus mengajakku bicara saat makan. Aku hanya
menanggapi dengan anggukan kecil atau dengan kata "ya" dan
"tidak".
"Gadis, kau tadi ketiduran. Apa kau
sakit?"
"Kenapa Bapak tidak membangunkan saya?"
"Saya tidak tega. Mungkin kau butuh
istirahat."
"Saya baik-baik saja, Pak. Saya tidak
sakit." jawabku ketus.
"Kau naik motor hari ini?" tanyanya lagi.
Aku mengangguk.
"Okay, kalau begitu nanti saya antar
pulang."
"Tidak usah, Pak Dewa."
"Ayolah Gadis. Sekali ini saja. Atau kau mau
Bastian menunggumu di bawah dan memaksamu bertemu?"
Aku lupa kalau Tian pasti akan melakukan apa yang
barusan Dewa katakan. Ohh! Ini jadi semakin rumit.
"Baiklah." Akhirnya aku mengalah.
Dewa keluar dari ruanganku saat makanannya tandas.
Aku melanjutkan pekerjaanku. Aku harus memikirkan bagaimana cara mendapatkan
uang untuk mengganti uang Rizal dan Kayla. Aku tidak mungkin bekerja sampingan
karna waktuku terbatas. Ohh, ayolah Gadis berpikirlah!
Masih pukul 15.00 Wib. Masih dua jam lagi waktu
pulang. Aku mendengar suara ketukan pintu.
Tok tok tok...
Siapa ya ?
Aku beranjak menuju pintu dan membukanya.
Bastian!
"Gadis, aku minta maaf."
"Pergi, Tian!"
"Aku tidak akan pergi sebelum kau
memaafkanku!" erangnya.
"Aku sudah melakukannya!"
"Aku mau kita balikan seperti dulu!"
"Aku tidak bisa, Tian!" Aku sengaja
berteriak-berharap bantuan datang.
"Ada apa ini ?" Dewa masuk ke ruanganku
dan melihatku berada disudut ruangan. Ketakutan.
"Tian, apa yang kau lakukan!?" Dewa menarik
kemeja Tian dan berhasil membuat Tian sedikit menjauh dariku. Hanya sedikit
karena Tian tetep kekeuh berada di dekatku.
"Jangan ikut campur urusanku, Dewa!" ucap
Tian sinis.
"Gadis, kita perlu bicara!"
"Tian, kau membuat Gadis takut."
"Dia tidak takut. Dia hanya
merindukanku." Bisa-bisanya Tian mengatakan hal itu. Aku bahkan jijik
melihat wajahnya. Tapi aku lebih memilih diam dibanding melayani omongan Tian.
"Tian, Aku pemilik perusahaan ini. Tolong
pergi dari sini. Kau bisa bicarakan urusan pribadimu di luar perusahaan! Dan
jangan ganggu sekertarisku!"
"Dewa, kali ini saja. Tolong aku sebagai
temanmu."
"Aku tidak bisa memaksa Gadis, Tian. Lihat,
dia semakin ketakutan." Aku memang sedikit takut. Tian bukan seperti
yang biasanya aku kenal. Dia lebih beringas.
"Baiklah. Aku menunggumu nanti, setelah
waktunya pulang." Tian membelai rambutku lembut. Dan aku merasakan
nafasnya semakin dekat di wajahku.
Ya ampun. Apa yang akan dia lakukan? Dia hampir
mencium pipiku. Aku sempat melihat tangan Dewa menarik kemeja Tian. Tian pergi
meninggalkanku dan Dewa. Ia membanting pintu dengan keras.
Aku masih berdiri dipojok ruanganku. Dewa mendekat
dan memelukku erat. Sangat erat. Aku merasakan ketenangan disana. Di dalam
pelukannya.
DEWA?!!!!