"Mey, kebangun ya, berisik banget emang di luar," cetus Aslan.
Cewek itu tidak mendengarkan dan malah terus mencoba mengintip apa yang terjadi di luar sana lewat kaca jendela.
"Lan, keluar yuk," ajaknya.
"Ngapain sih, Mey, udah dilarang tadi, di sini saja, nurut biar gak kena marah," tolaknya.
"Masalahnya gue punya firasat buruk. Mobil itu kayak milik papa gue," ucapnya penuh kekhawatiran.
"Meysa, di dunia ini, gak deh, terlalu besar. Di kota ini, yang punya mobil kayak gitu, bukan cuma papa kamu saja. Jangan negatif thinking gak baik," tutur Aslan.
"Jalan lagi Pak, korbannya sudah dibawa ke rumah sakit, kami tidak sempat melihatnya," ucap kepala sekolah.
"Kalau ciri-cirinya, tahu Pak?" sahut Meysa.
"Gimana mau tahu, lihat saja enggak. Sudah kalian kembali duduk, kita hampir sampai ke tempat tujuan."
Pukul tujuh malam.
Mereka sampai di hotel untuk beristirahat. Kamarnya tentu dipisah, tapi jaraknya lumayan berdekatan, hingga Aslan bisa kapan saja datang melihat Meysa.
"Setelah acara makan malam ini selesai, kalian berdua langsung istirahat. Di hotel ini juga banyak peserta lomba yang lain, ini memang sudah disiapkan oleh pelaksana sebagai fasilitas wajib," ucap kepala sekolah.
"Satu lagi, Aslan jangan keluyuran. Ini bukan kota kamu, jangan berani buat kerusuhan juga apalagi menganggu Meysa," ancam Bu Rena.
"Besok pagi sekali kalian ada jadwal pembimbingan. Ini kertas jadwalnya tolong diambil, kalian baca dan pahami jangan sampai telat." Keduanya menerima kertas tersebut.
"Ya sudah, silahkan masuk ke kamar kalian."
Mereka berbeda lorong dengan gurunya, hingga dirasa bisa sedikit bebas.
"Ini kamar Lo, 'kan? Sana masuk," suruh Meysa.
"Em, belum ngantuk biasanya juga tidur hampir pagi," jawabnya malah duduk di lantai depan pintu itu.
"Itu kalau hari biasa."
"Lah emangnya ini hari luar biasa?" Aslan terus saja menguji kesabarannya.
"Beda Aslan! Gue tidur duluan, kalau Lo mau begadang gak usah ajak-ajak." Meysa sudah menjauh, hampir menutup pintu kamarnya, dengan sengaja satu kali Aslan menghadang hingga pintu tersebut tak bisa tertutup dengan sempurna.
"Jalan yuk, masa cuma habiskan waktu buat gini doang," ajaknya.
"Gak mau!"
"Gue beliin makan deh, di luar banyak penjual seblak, Lo suka, 'kan?"
Cewek itu tak tahu, dari mana Aslan tahu semua tengahnya. Tapi, untuk yang satu ini dia tidak bisa menolak.
"Gue taruh tas dulu."
"Yes!! Gak sia-sia gue bayar Bima satu juta, buat tahu semua tentang Meysa," gumamnya.
"Emang di dunia ini, semuanya butuh perjuangan, meski itu uang cash gue satu-satunya, ntar tinggal ambil lagi gampang," tekadnya.
Saat bersiap, Meysa melihat ponselnya berbunyi. Bima menghubunginya secara tiba-tiba.
"Halo Bim, kangen Lo?"
"Pede banget gila. Gue cuma mau nanya, Lo baik-baik aja 'kan di sana? Aslan gak macem-macem?"
"Santai, gue aman."
"Bagus deh, udah gue tutup teleponnya."
"Eh! Cuma nanya gitu doang?"
"Terus apalagi?"
"Apa kek, jenguk ke sini bawain makan," pintanya.
"Meysa, kalau Lo di rumah udah berangkat, ini luar kota bayangin," kesalnya.
"Iya deh, gue cuma minta doa aja, semoga bisa pulang bawa piala kejuaraan nanti. Oh iya, gue juga mau tanya papa baik-baik saja di rumah, 'kan?"
"Gak tau Mey, Lo pikir gue ini ada di rumah?"
"Hah, jadi?"
"Gue nginep di rumah nenek, soalnya orang tua gue malah udah nyampai sini duluan, maklum saudara ada yang sakit," jelasnya.
"Ya udah kalau gitu."
"Memangnya ada Mey, bukannya papa kamu libur kerja beberapa hari ini?"
"Gak ada apa-apa kok, nanti aja kalau sempet gue cerita, bye Bim!"
"Meysa lama banget, gue susul ke dalam aja kali ya." Hampir saja cowok itu masuk, wajahnya terbentur oleh pintu yang dibuka secara sengaja.
Bughh!!
Tubuhnya hampir terpental.
"Apa yang Lo, lakukan di sini, Aslan?"
"Gak, cuma memeriksa pintu ini kayaknya sedikit rusak."
Meysa mengamati berdasarkan ucapan Aslan, tapi tak ada titik kerusakan pun yang dia lihat.
"Lupakan saja, ayo pergi. Tapi, jangan lewat lorong depan."
"Kenapa?"
"Kalau Bu Rena tahu, bisa-bisa kita dipanggang hidup-hidup," jawabnya.
"Gak lah, palingan cuma dimarahi saja."
Mereka hanya berjalan-jalan di sekitar hotel tersebut. Kebetulan tak jauh dari san, terdapat tempat yang ramai dikunjungi, sepertinya itu taman kota.
"Mau rujak?"
"Gak dulu deh, malam-malam enaknya makan bakso sih," jawabnya.
"Tunggu sini, gue beliin." Aslan rela masuk dalam antrian panjang, meninggalkan Meysa sendirian duduk di bangku itu.
"Kenapa gue masih kepikiran soal papa. Mama dari tadi juga belum bisa dihubungi, pasti sibuk ngurus kerjaannya," kesal Meysa.
"Ini baksonya, Mey."
"Loh, Meysa mana?" Cowok itu kebingungan, karena Meysa pun tak ada di tempat yang seharusnya.
Rupanya cewek itu berada di dekat air mancur tengah berbicara dengan seorang anak kecil yang tak dikenal oleh Aslan sebelumnya.
"Dia siapa?"
"Lan, ini tadi anaknya nangis ternyata kepisah sama tantenya," jelas Meysa.
"Terus, sekarang mau dibawa ke mana?"
"Antar ke pos satpam saja, siapa tahu nanti ada yang ngaku kehilangan, kalau dibawa sama kita 'kan gak mungkin," jawabnya menemukan solusi terbaik.
"Terima kasih ya, Kak sudah menolong aku," ucapnya.
"Sama-sama sayang, kamu nanti kalau belum ketemu sama tante jangan pergi sendirian ya, bahaya," tutur Meysa.
"Iya Kak, makasih juga buat kakak yang ini," tunjuknya ke arah Aslan.
"Iya, Dek, lain kali jangan mau ditinggal. Gue yakin pasti tantenya pacaran nih, makanya lupa sama ponakan sendiri," tuduh Aslan.
"Heh! Jaga bicaranya, gak enak didengar sama anak kecil," bisik Amira.
"Ini pacarannya ya, Kak? Aku doakan langgeng ya ...." Anak sekecil ini, bisa mengatakan hal tersebut, membuat keduanya menahan tawa, tapi akhirnya hanya dijawab dengan anggukan oleh Meysa.
"Lucu banget ya, anak tadi." Saat mereka sampai di bangku itu kembali, dua buah mangkuk bakso sudah ada di tangan dua orang yang tak mereka kenal.
"Eh, ini punya kami," tegur Anxel.
"Mana kami tahu, salah sendiri dibiarkan begitu saja." Bukannya malu kedua orang itu malah marah balik kepada Anxel.
"Pacaran gak modal ya, kayak gitu," kesalnya menarik tangan Meysa membawanya pergi.
"Ramai banget," ucap Meysa.
"Ini malam Minggu, masa lupa sih, Mey?"
"Serius, gue hampir lupa hari. Bukannya ini Senin?"
"Eh, gak tahu aku juga lupa." Saking fokusnya dengan masalah hidup, mereka sampai lupa hari.
Aslan langsung membawa cewek itu untuk duduk di depan tukang bakso langsung. Dia anggap ini sebagai penebus makanan yang diambil orang tadi. Di meja itu penuh dengan aneka bakso.
"Ini banyak bener, siapa yang mau habiskan? Kita baru saja makan malam tadi," cetus Meysa.
"Dijamin deh, kalau udah tahu rasanya pasti nagih. Sini aku suapi." Ini adalah pertama kalinya, Meysa benar tak bisa melepaskan tatapan matanya dari pandangan lelaki itu.
"Salah tingkahnya sampai ke tulang ini mah," batinnya.
Bersambung ....