Beberapa saat kemudian Binar muncul. Mengenakan baju yang tidak biasa dia pakai dengan gaya berpakaian yang bukan dirinya. Dia bahkan membawa tas selempang yang ditaruh di bagian depan, untuk membuat figurnya dari jauh terlihat seperti lelaki berperut buncit. Binar masuk ke dalam kamar itu, melihat Armein yang duduk di sofa sambil menyilangkan kaki, dan tentu saja tak melihatku yang duduk di atas meja di bagian pojok kanan ruangan.
Dia terdiam sejenak, waktu seperti tiba-tiba terhenti di kamar Suci. Selama beberapa menit, tak ada yang terucap dari mulut Armein ataupun Binar. Namun, aku bisa mendengar pergulatan seru kedua benak mereka. Armein menatap tajam ke dalam mata Binar. Dia ingin Binar tahu bahwa dia tahu segalanya, bahwa kedua orang tua Binar memarahinya, dan itu membuatnya harus bertemu Armein malam ini juga. Dia juga ingin Binar tahu bahwa dirinya siap mendengar apa pun yang akan dikatakan Binar malam itu.
Dalam beberapa hal, Armein memang terlihat lebih kekanak-kanakan daripada Binar, tetapi dia juga lebih bijaksana dan bermental baja dibandingkan kekasihnya. Binar merasakan keputusasaan dan kemarahan bercampur jadi satu di dalam dadanya. Dia tak ingin memarahi Armein karena bukan sepenuhnya salah Armein jika mereka lupa dan saling tidak bisa menjaga diri di depan kamera, sehingga semua foto dan video itu bermunculan. Binar hanya lebih merasa lelah pada semua yang harus mereka sembunyikan dari dunia.
"Kita tidak akan saling menyalahkan dan bertengkar, Bin... " sesungguhnya Armein siap meskipun Binar datang dengan segudang kemarahan atau sengaja mengundang pertengkaran hebat di antara mereka sebagai katarsis sekalipun. Dia siap dengan apa yang harus dilakukannya melihat Binar marah dan mengamuk. Itu bukan pengalaman pertamanya. Tapi Binar memang tidak datang dengan kemarahan, setelah mematung sekian lama, dia membentangkan kedua tangannya menunggu pelukan.
Armein menghambur dan mereka berdua berpelukan seperti sepasang kekasih yang akan berpisah selamanya. Tanpa sepatah kata pun terucap dari kedua lelaki yang digila-gilai jutaan orang itu, aku merasa Binar mendengar betapa Armein ingin agar mereka berdua pergi dari situ dan dari semua orang, sorotan kamera, dan semua ketenaran mereka, lalu hidup berdua saja di suatu tempat di mana tak ada satu pun yang mengenali mereka.
Binar menjeritkan ketidakmampuannya untuk berpisah dari Armein karena Armeinlah menurutnya sumber bahagianya, dan bahwa segala jadi tidak berarti baginya tanpa Armein di sisinya.
"Apa yang harus kita lakukan, Bin? Press conference? Membantah semuanya?" Armein menarik tubuh Binar ke atas sofa, mereka duduk berhadapan, kedua tangan mereka bertaut erat seperti terkunci dalam posisi seperti itu, tak mungkin dilepaskan lagi.
"Meinchi, ibuku kini membencimu…" Binar mengatakannya seperti setengah menjerit, badannya terguncang-guncang. Sepertinya kata-katanya itu terlalu menyakitkan tubuhnya saat lolos dari dada dan mulutnya. Armein merengkuh dan mendekap tubuh kekasihnya erat-erat. Bagi Armein, penilaian publik bahwa dirinya dan Binar sepasang kekasih gay, hanya akan merugikan pemasukannya saja, tidak lebih dari itu. Mungkin akan ada beberapa perusahaan yang berhenti menggunakannya sebagai duta, model, atau artis mereka, hanya karena dia gay. Dan bagi Armein kehilangan pemasukan bukan masalah terberat dalam hidupnya.
Kedua orang tua dan Carra, adiknya, paling hanya akan mengomeli keteledorannya, menyesalkan sikapnya yang tidak memberi tahu mereka semuanya sejak awal, tetapi mereka tidak akan mencampuri urusan pribadinya dengan Binar. Apalagi Papanya yang selalu berpesan padanya; 'Kalau hati dan pikiranmu bahagia, kau akan lebih bermanfaat bagi orang lain, dan lebih mudah membahagiakan orang lain juga. Tugas utamamu adalah bahagiakan dirimu sendiri dulu!' begitu kedua orang tuanya memberinya kebebasan untuk melakukan apa pun yang membuat hatinya bahagia.
Dahulu, menjadi artis yang tenar dan banyak uang terasa akan sangat membahagiakan bagi Armein, itu sebabnya orang tuanya tidak melarangnya untuk terjun ke dalam industri hiburan yang ternyata kemudian memenjarakannya. Kini, setelah ketenaran dan kekayaan ada di tangannya, Armein merasa bahwa dua hal itu ternyata tidak membahagiakannya. Binar yang membuatnya bahagia. Armein yakin sekali kalau kedua orang tuanya tidak akan pernah melarang hubungannya dengan Binar, sekalipun kali ini pers memiliki bukti-bukti visual hubungannya dengan Binar, mereka tidak akan memintanya meninggalkan Binar.
Armein tahu, karena apa pun yang terjadi, mereka akan mementingkan kebahagiaannya. Namun, hal itu tidak mungkin terjadi pada Binar. Dia terlahir di keluarga yang tidak menoleransi hubungan sejenis seperti itu. Sebelum publikasi gosip itu merebak, Armein selalu diterima dengan baik oleh keluarga Binar karena dianggap sesama bintang ternama sahabat Binar.
Binar bahkan memuja-muja budi dan jasa Armein pada kariernya sebagai artis, sehingga semua anggota keluarga Binar ikut mengaguminya. Ibunya Binar bahkan menunjukkan sikap sangat menyayangi Armein kalau mereka bertemu, dan itu sangat membahagiakan Armein dan Binar. Mereka bahkan merasa sudah menjadi "pasangan yang berbahagia" diselimuti restu kedua keluarga mereka.
Namun, publikasi foto-foto dan video tersebut telah menghancurkan hati perempuan baik itu. Binar menceritakan betapa sang ibu merasa telah ditipu oleh mereka berdua, dan bahwa kini ia tak akan pernah lagi mengizinkan Armein berkunjung ke rumah mereka. Inilah kalimat yang menggambarkan sambaran kilat di siang bolong.
"Meinchi, aku tak peduli kehilangan penggemar, jobs, atau tak lagi dikontrak rumah produksi mana pun, tapi aku tak bisa memaafkan diriku sendiri melihat ibuku membencimu. Itu terasa lebih menyakitkan daripada kehilangan dirimu…" kata-kata Binar itu membuat Armein sangat bingung. Dia melepaskan genggaman jemarinya dari tautan jemari Binar, dan membetulkan letak duduknya. Binar baru saja mengatakan bahwa kehilangan Armein tidak menyakitkan baginya.
Binar menarik jemari Armein kembali ke genggaman tangannya. "Aku sangat mencintai ibuku. Sepanjang hidupku, aku tak bisa mencintai siapa pun lagi selain ibuku, sampai kita bertemu. Kaulah cinta kedua dalam hidupku. Itu sebabnya aku berani mengambil risiko apa pun untuk menjaga cinta kita, karena ibuku pernah mengatakan bahwa ia juga menyayangimu. Aku merasa hidupku sudah sempurna waktu itu. Tapi, Meinchi… mendengar Mommy mengutuk hubungan kita dan membencimu….." Binar tidak melanjutkan kata-katanya.
Dia tak mampu melakukannya, karena kemudian hanya dadanya berguncang-guncang dan air matanya saja mengucur deras sambil terus memandangi mata Armein dalam-dalam. Dia tak tahu pasti apa yang harus dia katakan pada Armein, karena memang dia tak tahu harus berpikir apa. Binar sangat mencintai Armein, tetapi kini wajah ibunya yang kecewa terpampang kuat menghalangi wajah Armein di hadapannya.
Tiba-tiba saja Binar merasa bahwa dia ingin mengakhiri hidupnya agar tak perlu memutuskan berada di pihak mana. Dia tak sanggup menghadapi pilihan antara Armein dan ibundanya. Tentu saja aku tak mengatakan apa yang Binar pikirkan pada Armein. Karena lelaki istimewaku itu kini tampak hancur lebur melihat kekasihnya menangis.
Dia membutuhkan kepastian tentang apa yang harus mereka lakukan sejak saat ini; ingin segera membuat strategi atau rencana untuk keluar dari masalah mereka; dan dia bahkan tak peduli apa pun nanti keputusan Binar padanya, asalkan Binar berhenti menangis. Tangisan itu membuatnya sulit berpikir tentang apa yang sedang terjadi sebenarnya, dan apa yang harus dilakukannya. Binar mencintainya, tetapi tak mampu melihat ibunya membenci Armein. Ini sangat membingungkannya; jadi apa yang diinginkan Binar saat ini?
Apakah dia menangis karena ibunya mengutuk mereka berdua, atau karena kutukan itu membuatnya harus menjauh dariku? Tentu saja Armein masih sempat mencerna dengan jelas kata 'tapi' yang tadi meluncur dari mulut Binar. Tapi apa?
Melihat kekasihnya merana membuat Armein tak bisa berpikir jernih. Dia ingin Binar berhenti menangis dan segera mendiskusikan apa yang harus mereka berdua lakukan. Namun, Armein tak tega mendesaknya. Dia memilih menunggu dalam kegalauan.
Sesekali Armein memandang ke arahku, sorot matanya meminta pertolongan. Namun, isi kepalanya tidak meminta tolong untuk pergi dari sini; ini jenis pertolongan yang tidak bisa kuberikan. Ingin sekali aku mendekat dan berbisik padanya untuk tenang dan bernapas dalam-dalam. Semua akan baik-baik saja. Namun, tentu tidak saat ini.
"Apa yang harus kita lakukan, Meinchi?" tanya Binar putus asa. "Kau ingin aku melakukan apa?" Armein membalas dengan tanyanya, dia ingin memeluk Binar, tetapi lelaki itu duduk tegang dengan tatapan mata sangat serius.
"Mengapa tidak kita patahkan semua pemberitaan itu, Meinchi? Kau banyak-banyaklah bermesraan dengan Hanun di depan kamera. Publik akan bingung…" usul Binar.
"Kalau drama yang mereka inginkan, let's perform!" tambahnya. Binar bersikap seperti robot ketika mengatakan semua itu. Dia bahkan tidak mengerjapkan matanya satu kali pun.
"Dan kau dengan Lisa?" potong Armein. Dia sudah membayangkan apa yang ada di pikiran Binar, tentang memamerkan kemesraan; memberi gambaran bahwa mereka tidak saling mencintai; bahwa mereka bukan gay, bahwa mereka berdua mencintai selebriti perempuan lain, tepat seperti pengharapan publik kepada mereka.
"Kau bisa melakukannya?" tanya Armein dengan amat lirih, seolah takut kata-katanya menjadi kenyataan.
"Kau?" Binar balik bertanya.
"Aku bisa melakukannya untukmu. Walaupun itu berarti aku harus melukai perasaan gadis malang itu lagi…" Armein membicarakan Hanun. Karena di dalam hatinya dia bisa merasakan betapa sakitnya hati Binar kalau dia mengiyakan dengan amat mudahnya. Seolah berpura-pura bermesraan dengan orang lain selain Binar adalah hal yang sangat mudah dilakukannya. Armein ingin setidaknya Binar tahu bahwa baik dirinya maupun Hanun tidak akan menyukainya.
Binar diam. Tapi benaknya memikirkan betapa mengerikannya ide itu. Dia membayangkan Armein memeluk dan mencium Hanun, dan adegan itu akan menghiasi semua media, dan dirinya tak akan pernah bisa menghindarinya. Yang lebih buruk dari itu adalah dia pasti harus sesekali menanggapinya di depan media massa, dan itulah saat ketika dia harus menggunakan skill berbohongnya yang paling tinggi.
"Kau ingin aku melakukan itu?" Armein ingin mengonfirmasi keputusan mereka. Dirinya ingin memastikan apakah Binar sudah memikirkan semuanya, termasuk kemungkinan melihat Armein dan Hanun bermesraan di muka publik. Setelah mematung sekian lama, Binar mengangguk satu kali, lalu mencium bibir Armein selama beberapa detik, dan seketika berlari keluar sambil menangis. Armein memandangiku dengan mata kosong. Tapi benaknya tidak. Dia berharap aku bisa membawanya melintasi masa lalu, untuk membatalkan apa yang sudah dilakukannya.
"Kau ingin pergi?" tanyaku.
Armein mengangguk-angguk sambil menangis terisak-isak mengeluarkan semua rasa pahit dan perih di dalam dadanya. Aku merengkuhnya seperti ibu yang merengkuh anaknya yang sedang menangis kecewa, dan kubisikkan padanya untuk menempelkan batu hijau di pergelangan tangannya ke batu biru yang ada di dadaku. Armein mengikuti keinginanku. Aku ingin menghiburnya.
Dan dengan itulah kami melakukan Iteda; dia melihat apa yang terjadi; bagaimana tubuh kami berdua terangkat ke udara perlahan, dan menjauhi bumi. Jantungnya berdegup kencang sekali terasa di dadaku. Armein tidak pernah merasakan dirinya terbang seperti itu sebelumnya.
Iteda, nuye hijau manusia istimewa yang menyatu dengan batu biru damchi-nya akan mengakibatkan manusia istimewa itu bisa melihat proses perpindahan yang dilakukan dengan mata terbuka dan detail pemandangan yang sama dengan yang dilihat damchi-nya. Untuk menghiburnya aku membuat segalanya jauh lebih pelan dari seharusnya.
Itu yang terjadi, dan Armein tampak terpesona, dan sejenak melupakan Binar dan beban pikirannya. Kukatakan padanya bahwa malam ini, baik dirinya maupun Binar, tidak akan ada yang bisa berpikir dengan jernih. Emosi dan seluruh tekanannya akan membuat otak dan hati mereka berdua tak terhubung dengan baik. Apa pun yang akan mereka putuskan hanya akan membuat mereka saling menyakiti. Lalu kuceritakan apa yang kudengar dari benak Binar; tentu dengan penerjemahanku sebagai damchi yang tak ingin penderitaan batin lelaki istimewaku semakin dalam.
"Armein, Binar sedang sangat kalut. Kau harus memahaminya. Dia tak mungkin harus memilih antara dirimu atau ibunya. Itu pilihan tersulit dalam hidupnya. Dia sangat mencintaimu, tak ada lagi cinta lainnya selain kepadamu. Namun, dia juga sangat mencintai ibunya. Kau bisa menjadi malaikatnya dengan tidak membuatnya memilih…" kataku perlahan di tengkuknya.
Dia mengangguk-angguk, lalu mengecup pucuk kepalaku. Kemudian aku tak mendengarnya berpikir lagi, karena kemudian dia menurunkan pelukannya, tidak lagi di bahuku, tapi di pinggangku. Sehingga wajah kami sejajar sekarang. Namun, itu membuat nuye kami terlepas. Dia sudah tak ingin menikmati pemandangan di ketinggian langit lagi, dia menyandarkan kepalanya ke bahuku dan tertidur dalam pelukanku, hamparan malam kota Dangiye yang sibuk ratusan kaki di bawah kami.