webnovel

6

1. RUMAH SAKIT

Sebagai kepala kampung, Andro merasa gagal karena kasus pembakaran rumah Hamidah. Menyayangkan tindakan warganya yang di luar batas. Dan lebih ia sesalkan lagi pemicu kerusuhan ini adalah adiknya sendiri, Waluyo.

Bahkan hanya dalam hitungan jam, Tuhan langsung memberikan hukuman atas kejahatan Waluyo. Sanira, istri adiknya itu meninggal setelah berjuang sekuat tenaga melahirkan bayi yang ia kandung di rumah sakit.

Dua hari sudah jasad Sanira tertanam di dalam bumi. Di area pemakaman keluarga yang jauh dari pemukiman dan dekat dengan hutan lebat yang jarang dimasuki manusia. Sebuah hutan dengan aura mencekam, dingin dan terasa menyeramkan.

Malam ini, Andro merasa gelisah. Sudah pukul sepuluh malam, Waluyo masih belum pulang. Apakah ia masih di kuburan? Rasanya sudah tidak masuk akal kalau Waluyo enggan meninggalkan pusara Sanira. Apalagi di luar rintik hujan mulai berjatuhan. Membuat suasana hati Andro kian ditekan kecemasan.

"Apa tidak sebaiknya, Mas mencari Waluyo. Aku khawatir terjadi apa-apa sama dia. Kondisi jiwanya pasti masih terpukul itu " Susi, istri Andro sambil menimang bayi Waluyo mendekati suaminya itu, yang duduk resah di teras rumah.

Lelaki itu menghela napas sesaat. Menatap jalan setapak menuju rumahnya yang terlihat suram. Berharap Waluyo akan datang sesegera mungkin.

"Aku juga khawatir, Sayang. Kalau sampai jam dua belas dia tidak muncul aku akan cari dia sampai ketemu. Perasaanku tidak tenang sama sekali." Andro berdiri dan mendekati Susi. Melongok sejenak ke arah bayi merah yang tertidur dengan pulas.

"Bayi yang malang. Sampai detik ini Waluyo masih belum mau melihat anaknya. Aku khawatir kalau-kalau Waluyo menyalahkan anaknya sendiri atas kematian Sanira."

Susi mengayunkan dengan pelan anak dalam gendongannya. Dia juga ikut merasakan kesedihan yang dirasakan suaminya.

"Mungkin ini karma bagi Waluyo, Mas. Selama ini dia terlalu suka berbuat seenak hatinya. Sekarang, lihatlah, istri yang ia bangga-banggakan itu pergi untuk selamanya. Akh, kalau kuturutkan hati, malas aku mengurusi anak ini. Aku masih ingat bagaimana tajamnya lidah Sanira, Mas."

Andro segera meletakkan jemarinya di bibir istrinya itu, "sudahlah, jangan diungkit lagi. Dia sudah tidak bersama kita. Sekarang, tugas kita membesarkan anak ini. Mungkin ini cara Tuhan memberi kita anak, setelah puluhan tahun kita tidak diberi keturunan."

Susi tersenyum lalu menciumi lembut pipi bayi tersebut.

"Sampai sekarang dia masih belum bernama, Mas."

"Iya, kita tunggu seminggu. Kalau dalam masa itu Waluyo masih belum memberinya nama, biar kita saja yang mencarikan nama yang bagus untuknya."

"Iya, Mas. Semakin cepat, semakin baik. Sekarang, aku ke kamar dulu, ya, Mas. Aku buatin bayi ini susu dulu. Sudah sejaman dia tidur."

Andro mengangguk pelan seraya mencium kening Susi. Dia kembali tenggelam dalam kesunyian. Hujan benar-benar tercurah membasahi bumi.

Nun di rumah sakit, satu hari setelah melahirkan, Hamidah akhirnya siuman dari tidur yang terasa begitu panjang. Hal pertama yang ia ingat adalah kebakaran yang menghancurkan rumahnya.

Hamidah berteriak dan menjerit ketakutan. Dua orang perawat segera menenangkannya. Hamidah tidak terkontrol, dia berusaha melepaskan semua peralatan medis yang terpasang di tubuhnya.

"Ibuuu ... Ibu ... Di mana engkau, Bu? Tolong aku, Bu! Tolong akuuu!" Dia terus meronta-ronta sampai akhirnya salah satu dari perawat itu memanggil dokter. Tidak lama kemudian dokter datang dan langsung menyuntikkan obat penenang ke lengan Hamidah.

Dia kembali tenggelam dalam kefanaan. Menghilang sejenak dari bumi ini. Alam bawah sadarnya terus menjerit-jerit, merapalkan kepanikan dan ketakutan.

Walau lapat-lapat tangisan bayi membuat ketakutan itu perlahan-lahan memudar. Hamidah jatuh lagi ke dalam mimpi.

"Ibu yang malang. Aku tidak bisa bayangkan jika aku ada di posisi dia. Mendengar cerita suaminya, rumahnya terbakar, dan dia melahirkan di rumah tersebut, dikelilingi api yang sangat panas. Sungguh, suatu keajaiban ia bisa selamat."

"Benar. Cuma, aku khawatir sama bayinya."

"Kenapa?"

"Mungkin karena banyak menghirup asap, dia bakalan bermasalah dengan pernapasannya."

"Astaghfirullah. Semoga dedek bayinya bisa selamat dan berumur panjang, ya?"

"Iya, aamiin. Kita hanya bisa mendo'kan."

Dua orang perawat itu memandang Hamidah dengan tatapan prihatin. Memang, mereka akui, Hamidah sangatlah cantik. Dan mereka merasa Arif sangat beruntung mendapatkannya.

Kini, Hamidah sudah dua hari terbaring di ranjang rumah sakit. Dia sudah sedikit tenang dan deg-degan ketika diberi tahu perihal bayinya.

Suster membawa bayi merah itu ke ruangan Hamidah. Perempuan itu merasa haru yang teramat sangat. Bayinya terlihat bernapas dengan cepat, juga sangat imut sekali.

"Sehat, ya, Nak? Jangan tinggalkan ibu." Hamidah mendekatkan bayi mungil itu ke dadanya. Terdengar suara rengekan kecil keluar dari mulut si bayi.

"Ibu bisa menyusuinya?"

Hamidah menatap perawat tersebut lalu mengangguk pelan.

Mungkin keajaiban, bayi Hamidah menyusui tanpa ada kendala berarti. Hamidah memejamkan mata, merasakan sensasi yang belum pernah ia rasakan. Bayi itu seolah kelaparan, menghisap puting susu Hamidah dengan rakus.

Dada Hamidah dipenuhi bunga-bunga. Terasa lapang dan damai.

Namun, rasa itu hanya sejenak, sesaat kemudian, ketika bayi itu sudah dikembalikan ke ruang bayi, Hamidah kembali meratap kencang. Teringat akan Nurhayati yang malang.

"Ibu ... maafkan aku ... aku tidak bisa menyelamatkanmu, Bu. Maafkan aku, Bu!"

Hamidah menduga-duga. Adakah dari warga kampung itu yang menemukan tengkorak ibunya yang terbakar? Atau dibiarkan saja bersama puing-puing kayu yang sudah berubah menjadi arang.

"Kepada siapa aku akan meminta tolong? Ke mana aku akan pergi setelah ini? Ya Tuhan, berat sekali cobaan yang Engkau berikan." Hamidah terisak-isak. Hatinya sangat gelisah. Ia juga membayangkan bagaimana cara membayar tagihan rumah sakit. Bingung dan cemas bercampur aduk.

Belum berhenti ratapnya, seseorang memegang bahunya. Hamidah menatap orang itu dan terkejut.

"Kau?"

Arif tersenyum.

"Iya, aku. Kamu kaget?"

Hamidah mengusap matanya tidak percaya, "apa kau yang telah membawaku ke rumah sakit ini?"

Arif hanya tersenyum. Dia membelai lembut kepala Hamidah yang langsung ditepis pelan kemudian.

"Kenapa kau menolongku?"

Arif menatap tajam mata Hamidah. Lelaki itu seakan-akan hendak menyelami samudera luas di ruang mata Hamidah.

"Karena aku mencintaimu."

Jawaban Arif membuat Hamidah terbatuk sekaligus melotot. "Jangan bercanda! Aku sedang tidak ingin mendengar segala macam lawakan tidak bermutu!"

Arif tertawa kecil. Ia hendak memegang tangan Hamidah. Namun, Hamidah kembali melotot. Dia benar-benar tidak suka disentuh oleh lelaki asing.

"Aku tahu kau menganggapku wanita murahan. Tapi, tolong hargai aku dengan tidak memegang tubuhku!" Hamidah mendengkus lalu melempar pandang ke arah lain.

"Aku jujur sangat menyukaimu, Hamidah! Apa kau benar lupa dan tidak mengenaliku sama sekali?"

Hamidah kembali melotot. Matanya memindai pria di depannya itu. Berusaha mengingat-ingat wajah Arif.

"Kau yang menyelamatkanku beberapa bulan yang lalu, kan? Yang membawaku kembali ke kampung?"

Arif menarik napas berat. Dia berjalan mendekati jendela.

"Sudahlah. Lupakan saja. Btw, siang ini aku akan pergi ke kampungmu. Memastikan kalau jasad ibumu dikuburkan dengan layak."

Dada Hamidah bergemuruh begitu mendengar ucapan Arif.

"Aku akan kembali besok pagi. Selepas itu, kau akan kubawa pulang ke rumahku."

Hamidah hendak membantah, tapi Arif langsung ke luar.

"Siapa lelaki itu? Wajahnya cukup familiar, tapi kenapa aku tidak ingat sama sekali?"

Hamidah membaringkan tubuhnya yang terasa teramat letih. Memejamkan mata lalu tidur dengan cepat.

***

Seperti dituturkan sebelumnya, Arif menyeret tubuh Waluyo ke dalam hutan. Dia sangat marah dan kesal ketika sampai di rumah Hamidah, puing-puing kebakaran masih teronggok seperti itu. Dan yang lebih menyedihkan, tengkorak Nurhayati tergeletak memutih bersama arang-arang yang menghitam.

Semua kekesalannya itu ia tumpahkan ke tubuh Waluyo yang mukanya babak belur ia hajar.

Waluyo ia masukkan ke dalam rumah tua dan lapuk di dalam hutan. Rumah yang sudah bertahun-tahun ditinggal pemiliknya.

Di tengah-tengah rumah ada satu tiang besar. Sebesar pohon pinang. Di sanalah Waluyo terikat. Sementara Arif menghidupkan lampu minyak tanah dan menggantungnya di dinding.

"Adik, apa kau sudah siuman?"

Arif menggoreskan ujung pisau di paha Waluyo. Rasa sakit seketika menyergap. Teriakan kesakitan berdendang dari mulut Waluyo.

"Lepaskan aku, Bang! Aku mohon!" Waluyo meratap. Matanya sudah bengkak.

"Tssss! Belum saatnya, Adik. Kita baru saja mulai. Coba beritahu abang, mata kirimu atau mata kananmu yang akan aku tusuk dulu?"

Waluyo menangis, memohon ampun.

"Hentikan tangisanmu, Adik. Bukankah kau juga pernah memainkan permainan ini dulu? Waktu itu, mungkin kau tidak benar-benar sanggup karena masih takut sama ibumu, bukan? Sekarang, aku akan tunjukkan rasa sakit itu kepadamu."

Waluyo menjerit keras ketika tangan Arif berkelebat. Teriakan Waluyo ditindihi oleh kekehan Arif yang terlihat sangat menikmati penyiksaan terhadap adiknya itu.

Di luar, hujan badai kian menggila. Jeritan demi jeritan, seakan berpacu dengan denting sang waktu.

Alam seakan-akan berusaha menghentikan kegilaan Arif. Akankah Waluyo bisa diselamatkan?