webnovel

Saat surat itu datang IV

Brian Grissham-Jessica Hana

Pranggggg.....

Suara pecahan beling terdengar hingga ruang tamu, mendengar itu dengan panik Hana melangkahkan kakinya menuju dapur. Jika tidak cepat bisa jadi semua perabotan dapurnya hancur karena suaminya. Entah anugerah apa yang diberikan Tuhan padanya, dengan tangan saktinya Brian mampu menghancurkan apapun. Bahkan tanpa ada niatan sekalipun dengan mudahnya ia merusak barang milik mereka. Hana sampai pusing dibuatnya, tidak tahu sudah berapa banyak uang yang mereka keluarkan untuk mengganti barang yang rusak hanya karena keteledoran dan kekuatan Brian. Oleh sebab itu semua orang yang dekat dengannya memanggilnya king of destroyer... dan harus diakui, Hana pun menyetujuinya.

Saat sudah memasuki area dapur matanya menangkap bayangan Brian tengah memunguti sisa-sisa bukti kehancuran yang disebabkan olehnya. Hana berkacak pinggang seraya berdecak kesal, membuat Brian meneguk salivanya kasar dan dengan gerakan super lambat ia menolehkan wajahnya ke belakang, menyeringai tanpa dosa, namun tetap menundukan wajah setelahnya. Tatapan tajam Hana benar-benar mengerikan seolah ingin menelan bulat-bulat Brian. Pria itu kembali mengangkat wajahnya.

"Han tenang han, rileks ya. Tarik nafas buang pelan-pelan. Jangan marah-marah dulu ya aku bisa jelasin semuanya kok." Dan Hana pun mengikuti apa yang dianjurkan suaminya, ia benar-benar menarik nafas dalam-dalam kemudian melepasnya dengan perlahan. Ia lakukan hingga tiga kali, agar bisa meredam emosinya. Tanpa bicara ia menghampiri Brian, menarik tangan kekar suaminya hingga duduk di kursi bar, setelahnya ia menuju kotak P3K disudut ruangan lalu kembali ke hadapan Brian lagi. Ia meraih tangan Brian dan mulai mengobatinya tangan Brian yang terluk akibat pecahan beling tadi, sesekali Brian meringis perih.

"Huuuuh, kapan sih kamu berubah, duh ya kamu tuh lebih hati-hati bisa tidak? Sadar tidak sih, selain menghabiskan semua barang, keteledoranmu itu membahayakan dirimu sendiri?."

"Aku baik-baik saja kok..."

"Baik-baik apanya, nih lihat kamu terluka lagi. Demi Tuhan Brian ini sudah luka ketiga yang kamu dapatkan hari ini. Dan kamu bilang baik-baik saja?" Brian tersenyum manis, perhatian Hana seperti ini yang membuatnya jatuh cinta berkali-kali kepada Hana. Meski dengan omelan, semua perkataannya sarat akan kecemasan, dan Brian bahagia akan itu. Tangannya yang bebas mengusap kepala Hana yang lembut.

"Duh sayang Hana sekali deh kalau seperti ini." Dengan perasaan kesal, Hana menekan luka Brian, membuat pria itu mengaduh kesakitan.

"Aduh Han, sakit..."

"Aku sedang serius Brian!! Kamu mah malah di bercandain"

"Serius sayang, mana boleh sih perasaan di bercandain?"

Hana mendengus, selalu seperti itu, Brian sangat sulit diajak bicara serius. Selama hidupnya Hana hanya melihat suaminya sangat serius saat pernikahan mereka. Selebihnya pasti dibuat bercanda, memang menyenangkan memiliki suami seperti Brian, jarang terjadi pertengkaran dalam hubungan mereka akan tetapi saat-saat seperti ini sikap Brian justru bisa menjadi sangat menyebalkan.

"Please Brian, Stop makes me worried! Jangan membuatku semakin menjadi istri yang tidak berguna untukmu, setelah aku tidak bisa me-memberikanmu anak..."

Hana menundukkan kepalanya dalam-dalam, tangannya mengepal kuat. Sekuat tenaga ia menahan diri agar tidak menangis. Brian menghela nafasnya, Hana mulai lagi! tangannya menangkup wajah Hana.

"We've discussed this for a thousand time Han.. i don't care if you can't get pregnant, i love you just the way you are! So please, Stop thinking about it!!"

Hana hanya terdiam, matanya mulai berkaca-kaca, ia tahu Brian mengatakan seungguhnya tapi mau ia mengatakan apapun rasa bersalah tetap menggerogoti diri Hana, sebagai seorang istri ia merasa gagal karena tidak bisa memberinya keturunan, terlebih orang tua Brian yang selalu mendesaknya agar segera memiliki keturunan, sebab sebagai anak tunggal, kehadiran seorang cucu sangatlah diharapkan mereka.

"Lagipula kamu bukannya tidak bisa hamil sayang, hanya Kita yang belum dipercaya untuk dititipkan malaikat kecil.." Brian tersenyum manis, mengusap pipi Hana lembut lalu mengecupnya, ia melanjutkan kalimatnya.

"Aku minta maaf Han, Sebagai anaknya aku mewakili mamahku. Jangan dengarkan mamahku lagi, dia hanya kesepian sehingga selalu mendesak kita untuk segera memiliki anak." Hana tertegun, baru saja dikatakan ia hanya melihat Brian serius saat mereka menikah, tapi sekarang? Ya Tuhan apa ia yang baru menyadari bahwa setiap yang dilakukan suaminya memang tidak pernah main-main?

"Maaf Bi, aku...aku..." Hana meremat tangannya kuat, kebiasaan yang ia lakukan ketika merasa bersalah, maka bagi Brian yang mengetahui seluruh kebiasaan Hana menarik tubuh wanitanya kedalam pelukan, mengusap lembut punggung ringkih itu.

"Sudah kumaafkan.. Tenang saja, aku janji akan lebih berusaha lebih banyak lagi untuk menyentuhmu. Kita bisa melakukannya pagi, siang, malam. Sebanyak yang kamu mau..." wajah Hana memerah, baiklah ternyata hanya bertahan beberapa menit keseriusan Brian menghilang! Ia menepuk lengan Brian, menarik nafas dalam lalu menghembusknnya.

"Yang kamu mau kali!!! Bukan aku... Urusan menempatkan kesempatan dalam kesempitan memang Brian jagonya. Bukan main tidak bisa ditandingi!" Brian tertawa sembari mengusak rambut pendek Hana.

"Namanya juga usaha.. Yuk sekarang?" Tanyanya dengan kedua alis yang naik turun persis om-om mesum. Hana bergidik ngeri, menoyor kepala Brian hingga ke belakang.

"Ogah..... jangan harap! Bekas semalem aja masih sakit Bi"

"Arghhhh Hana gak asik!!!"

"Bodo.... oiyah ada surat buat kamu. Sebentar aku ambil dulu. Jangan kemana-mana jangan sentuh apapun sampai aku kembali. Paham?"

Brian mengangguk seperti anak kecil yang diperingatkan ibunya, kemudian dengan gerakan cepat Hana menuju ruang tamu mengambil benda yang didapatnya dari seseorang. Tak lama ia kembali dengan sebuah peti di tangannya. Brian mengernyit melihat benda asing itu. Dan semakin bingung ketika Hana meletakannya di atas pahanya.

"Ini apa?"

"Buka saja, aku juga tidak tahu itu dari nenek.."

"Nenek?" Tanpa menunggu jawaban Brian membuka kotak peti itu, semakin mengerutkan keningnya mendapati gulungan kertas di dalamnya, ia mengambil gulungan itu membukanya dengan kasar membuat Hana segera merebut gulungan itu dari Brian.

"Biar aku saja yang buka ya.. daripada kita gakbisa lihat isinya, gara-gara dirusak kamu" Kata Hana yang bergantian membukanya, ia mulai membaca surat itu, kemudian memberi tahunya kepada suaminya yang menatap gelisah.

"Hah?? Dua tahun? Gila!! Siap-siap Han."

"Siap-siap apa?"

"Siap-siap tinggal dirumah militer, siap-siap kepusingan sama ramainya rumah. Tiap hari aku yakin kamu bakalan lihat orang berantem Han."

"Oiyah!! Benar juga." Keduanya saling bertatapan, dan menghembuskan nafasnya bersamaan, tanda kepasrahan jalan hidup yang akau dilalui keduanya. Mau bagaimana lagi? Menolakpun tidak akan bisa.

"Ambil sisi baiknya saja Bi, kita jadi bisa bertemu dengan semua sepupumu"

"Bukan hanya bertemu Hana, kita akan tinggal bersama, kamu nanti akan mengerti bagaimana malasnya tinggal dengan mereka karena keajaiban mereka. Belum lagi nenek! nah ini nih. Nenek tuh ancaman terbesar buat ketenangan hidup kita, jadi kita harus benar-benar waspada."

Hana terkekeh mendengar peringatan dari Brian, menurutnya suaminya terlalu berlebihan. Ia bangkit dari duduknya, mencubit pipi Brian pelan.

"Lebay ah kamu tuh." Setelah berkata demikian, Hana meninggalkan Brian yang kesal dan terus memanggil namanya.

"Yaaah Hana, akutuh serius.. Hana!!! Hana!!!"