GORESAN WARNA PELANGI
WARNA KEEMPAT - HIJAU
_____________________
Kini, kehamilan Anggun telah beranjak hampir empat bulan, perut Anggun juga telah kelihatan menonjol. Para ibu-ibu tetangga selalu menggunjingkan keadaannya, tetapi Sukma selalu melindungi Anggun. Anggun sangat malu, rasa bersalah selalu membayangi Anggun di setiap tidurnya. Hampir setiap hari tidurnya tak pernah nyenyak, bahkan nafsu makannya juga belum kembali. Rasa mual dan muntah terus menemani kesehariannya. Tubuhnya tersiksa dengan semua efek kehamilan ini, tetapi batin menuntut Anggun untuk tetep kuat demi ibunya.
"Nduk, ayo ke dokter. Periksakan kandunganmu!" Perintah Sukma lirih.
"Nggak, Bu," tolak Anggun, wajah cantiknya semakin terlihat tirus dan pucat. Warna kulitnya yang putih kini menjadi semakin pucat karena kurang sinar matahari. Anggun memang terus mengurung diri di dalam kamarnya.
"Jangan menyiksa diri dan anakmu to, Nduk!"
"Anggun tahu, Bu." Senyuman yang keluar sepertinya terlalu dipaksakan.
"Dio, bujuk adikmu! Dia nggak mau ke dokter."
Ternyata kakak laki-laki Anggun, Dio, sudah stand by untuk mengantar adiknya ke dokter kandungan. Rencananya Dio akan membawa Anggun menemui dokter yang biasanya memeriksa kandungan istrinya dulu saat hamil sampai melahirkan.
Raut muka Anggun yang pucat membuat hati Dio sakit. Kenapa adiknya harus memendam rasa ini sendirian? Bukannya laki-laki itu juga harusnya ikut bertanggung jawab?
Namun siapa?
Siapa laki-laki yang telah menghamili adiknya? Selalu saja pertanyaan itu yang terlintas dalam benak Dio saat melihat perut Anggun yang mulai membuncit.
"Dek, ngomong sama Kakak, siapa bapaknya?" tanya Dion, dan seperti biasa Anggun hanya diam membisu.
"Atau perlu Kakak cari sendiri? Biar Kakak hajar sekalian laki-laki itu!" serunya dengan nada tinggi.
"Jangan, Kak," cegah Anggun.
"Siapa dia? Pasti Arya, bosmu itu, kan?"
Insting laki-lakilah yang memberitahukan Dio, belakangan ini Anggun tak pernah mau nama itu disebut di depannya. Sukma juga pernah bercerita kalau Anggun selalu menghindari laki-laki itu. Bukan sebuah kepastian, tetapi bisa saja merupakan sebuah kemungkinan.
…
Hening, tak ada jawaban.
"Berarti benar! Brengsk!! Gue hajar dia!" umpat Dio kasar, sepertinya hati Dio begitu tersulut emosi dan amarah.
Anggun bergegas bangkit untuk menghentikan kakaknya keluar mencari Arya. Anggun menarik tangan Dio dengan tangannya yang kurus, tetapi tak ada tenaga yang tersalur. Tenaganya habis, membuat Anggun terjatuh dan pingsan saat itu juga.
"Dek ! Adek!" Dio menepuk pelan pipi tirus Anggun.
"Ada apa ini? Ya, Tuhan, Dio! Cepat bawa Adekmu ke rumah sakit!" Wajah wanita tua itu tak kalah khawatirnya dengan Dio. Sukma ketakutan, wajahnya sampai berubah sepucat kapas.
Dio langsung menggendong Anggun masuk ke dalam mobil biru metalik miliknya, diikuti oleh Sukma yang dari tadi hanya bisa mengekor dengan cemas.
"Anggun, bangun, Nduk," rintihnya terus.
Dio melesat cepat menuju ke rumah sakit terdekat, tak lupa menyalakan lampu segitiga sebagai pertanda kalau ada sesuatu yang gawat. Kerumunan kendaraan terpaksa harus mengalah mendahulukan Dio lewat mendahului mereka.
"Suster, tolong!" teriak Dio saat memasuki UGD.
"Tenang, Pak, baringkan di sini!" Seorang suster segera mendorong blankar, dan membawa masuk Anggun ke ruang periksa.
Menit demi menit berlalu, hanya ada keheningan dan sedikit amarah yang mencoba menyusup kembali masuk ke dalam hati Dio. Dio tak henti-hentinya mondar-mandir di area koridor rumah sakit yang didominasi warna putih bersih. Ibunya dari tadi terus berdoa memanjatkan pengampunan dan meminta kesembuhan untuk putri bungsunya.
"Keluarganya?" Tiba-tiba suara seseorang ber-snelli putih mengagetkan mereka, di lehernya tergantung tanda pengenal, dr. Masmudin, dokter jaga.
"I-iya, Dok. Bagaimana keadaan anak saya?"
"Tenang, Bu. Anak Ibu dan bayinya baik-baik saja, tetapi tubuhnya masih lemas karena kurang asupan gizi dan nutrisi. Mungkin harus tinggal beberapa hari agar kondisinya segera pulih."
"Janinnya baik-baik sajakan, Dok?"
"Iya, Bu. Cucu Ibu baik, tapi tetap harus waspada karena Ibunya kekurangan banyak gizi penting untuk pertumbuhan bayinya."
"I-iya, makasih, ya, Dok," gagap Sukma, namun ada rasa lega menyelimuti hatinya.
"Sama-sama, saya permisi."
Begitu dokter meninggalkan mereka, Sukma dan Dio langsung menyerbu masuk ke ruang rawat inap Anggun. Badan Anggun tergolek lemas, tetapi sudah sadar. Air matanya hampir menetes. Matanya terus menerawang kosong ke arah jendela kamar yang terbuka.
"Jangan menangis, Nduk, harus kuat buat bayimu, ya." Sukma menggenggam erat tangan anaknya.
"Laki-laki itu sudah tahu?" tanya Dio. Anggun menggelengkan kepalanya, membuat rambutnya semakin kusut dan acak-acakan.
"Beri tahu dia, Dek. Atau Kakak yang akan memberi tahunya."
"Jangan, Kak!" cegah Anggun.
Tapi Dio tak menggubris ucapan adiknya, hatinya terlanjur dikuasai oleh amarah. Tanpa pamit dan mendengarkan renggekan adiknya, Dio langsung bergegas keluar dari kamar dan memacu kendaraan menuju ke kantor Arya.
Dengan setengah berlari, Dio menerobos masuk bersamaan dengan kerumunan karyawan yang baru saja selesai dengan istirahat siang mereka. Dio bahkan tak mengindahkan peringatan seorang staf wanita yang melarang Dio masuk ke ruangan Arya sebelum membuat janji terlebih dulu.
"Pak, maaf, Pak. Anda harus bikin janji dulu," sergahnya.
"Minggir sana!" Dorong Dio kasar.
Pintu jati berukiran indah di bagian tepinya dibuka paksa oleh Dio. Amarahnya semakin memuncak karena melihat Arya yang terduduk santai sambil meneliti setiap dokumen penting yang ada di atas mejanya.
"Bjingn!" Dio menarik kerah Arya, dan memberikan sebuah pukulan ke wajahnya yang tampan.
"Apa-apaan ini?" Arya mengelak dan mencoba melapaskan tarikan tangan Dio pada kerahnya.
"Masih berani mengelak? Gara-gara lo adek gue masuk rumah sakit!" Ucapan Dio langsung membuat raut wajah Arya berubah.
"Gara-gara lo juga adek gue harus menanggung malu karena hamil anak lo!" Teriakan Dio kali ini tidak kalah kencang.
Sekretaris baru Arya mengundang seluruh security masuk ke dalam ruangan presiden direktur.
"Anggun? Anggun hamil?" tanya Arya perlahan.
"Dan lo baru tahu, kan ? Lo emang bjingn!"
Security berwajah sangar dan tubuh besar mencoba menarik Dio dan menyeretnya keluar dari ruangan itu, tetapi Arya melarangnya. Arya malah berlutut di hadapan Dio. Laki-laki yang punya harga diri tinggi dan pimpinan sebuah grup besar rela merendahkan diri pada kakak wanita yang dicintainya.
"Izinkan aku bertemu dengannya. Pukul saja aku semaumu, tapi izinkan aku bertemu dengannya." Butiran kristal air menetes perlahan dari sudut matanya yang sipit, membuat Dio bingung dengan apa yang harus dilakukannya. Terbesit sebuah rasa heran dalam diri Dio, kalau pria ini begitu mencintai adiknya, lalu kenapa adiknya malah begitu membencinya?
"Rumah Sakit Bunda, ruang Angrek, kamar 2B," kata Dio. Setelah mengucapkan hal itu, Dio langsung bergegas meninggalkan ruangan Arya.
Arya masih tetap berlutut kaku dan terdiam membisu. Air matanya berubah merah karena bercampur dengan sedikit darah yang keluar dari hidungnya, membuat kemejanya ternoda. Ruangan itu kini riuh ramai karena seluruh staf berebut untuk melihat kejadian barusan. Hanya Caroline yang memandang dari kejauhan yang mengerti semua kejadian barusan, sedangkan yang lainnya hanya bisa berspekulasi tentang setiap kemungkinan yang telah terjadi antara bos mereka dan bekas sekretaris kesayangannya.
— GORESAN WARNA PELANGI —
Sejam berlalu sejak kejadian memalukan di ruang presiden direktur, dan Arya telah merapikan jasnya. Pak Gunardi juga sudah siap sedia mengantarkan majikannya ke Rumah Sakit Bunda.
"Monggo, Den," sapaan khas pak Gunardi setiap kali membukaan pintu mobil dan mempersilakan Arya masuk.
Arya terdiam selama perjalanan, Pak Gunardi yang biasanya nimbrung dan ikut berbicara kini juga hanya bisa terdiam. Raut wajah Arya yang biasanya tenang juga terlihat tampak tak tenang. Arya begitu mencemaskan kondisi Anggun. Arya terus mengerutuki dirinya sendiri kenapa tak segera mengetahui tentang kehamilan Anggun?
"Den, bagaimana keadaan Non Anggun?"
"Saya juga belum tahu, Pak," jawaban Arya terdengar lemas dan tak bertenaga.
Berbagai macam rasa tercampur baur menjadi satu, bahagia, bingung, marah pada dirinya, khawatir. Juga entah apa lagi perasaan yang akan muncul berikutnya.
Tak terasa setengah jam perjalanan telah membawanya tepat di sebuah rumah sakit kecil. Arya menarik napas panjang sebelum melangkah masuk. Tubuhnya bergetar dan tangannya menjadi dingin. Arya tak pernah segerogi ini sebelumnya, bahkan dalam persentasi rapat pemegang saham pun dia selalu percaya diri. Kakinya bergetar hebat saat tiba di depan pintu kamar Anggun, tangannya sudah bersiap untuk mengetuk pintu, tetapi hati belum siap. Pemandangan ini membuat perawat yang berlalu lalang tampak heran, ada juga yang sengaja melirik ke arahnya karena wajah Arya yang tampan.
Aku harus bisa. Kalau benar Anggun hamil berarti janin itu juga adalah anakku. Arya berusaha menyemangati dirinya sendiri.
Tok ... tok ...!
Tak lama pintu bercat putih itu terbuka, dibuka oleh seorang wanita tua yang wajahnya sudah tak asing lagi bagi Arya. Beberapa kali selalu wanita inlah yang menolaknya masuk menemui Anggun di rumah.
"Nak Arya, Anggun masih tertidur."
"Boleh saya masuk, Bu?"
"Boleh." Pintu terbuka lebih lebar lagi, Arya perlahan masuk ke dalam mencoba meminimalkan suara yang keluar dari langkahnya.
Air mata bahagia mengalir dari kelopak matanya, padahal harga dirinya tak pernah mengizinkannya untuk menangis. Tapi perasaannya terlalu meluap, bahagia karena melihat wanita lembut yang ia cintai ada dan begitu dekat dalam jangkauan. Belum lagi saat melihat perutnya mulai membesar berisi janin hasil cinta mereka.
Senyuman dan tawa kecil menghiasi wajah Arya yang tampak kusut karena kurang tidur belakangan ini. Disekanya air mata dan duduk di sebuah bangku kayu di samping ranjang Anggun. Perlahan jari jemarinya mengelus lembut tangan Anggun yang tampak kurus.
"Maafin aku, Nggun. Aku tak pernah sengaja menabraknya. Dia sendiri yang meloncat saat aku melajukan mobilnya." Isakan demi isakan ikut hadir saat sekali lagi Arya mencoba menjelaskannya pada Anggun. Namun, Anggun tak menyadarinya, tidurnya terlalu pulas karena pengaruh obat penenang.
"Sudah, Nak Arya. Sudah." Sukma mengelus pundak Arya yang tegap.
"Maafin saya, Bu. Saya yang telah menyebabkan Anggun jadi seperti ini," ucapnya lirih, "cinta yang buta menyebabkannya susah untuk memaafkan keegoisanku."
Sebuah isakan pelan kembali terlontar dari bibir tipisnya. Sukma hanya bisa menepuk pundak Arya dan memandangnya dengan iba.
"Ibu tahu, Nak. Tapi, ini juga bukanlah hal yang bisa dengan mudah diterima Anggun begitu saja."
"Iya, Bu."
***
Arya tertidur di pinggiran ranjang Anggun, kepalanya terasa begitu berat setelah menangis cukup lama. Anggun yang tersadar mengetahui Arya di sampingnya langsung berteriak, membuat Arya dan Sukma terkejut
"Mau apa kamu ke sini?"
"Anggun, sabar! Sabar!" Sukma menengahi.
"Pergi! Pergi! Anggun nggak mau, Bu. Nggak mau." Air mata luruh kembali.
Arya hanya bisa terdiam mematung dan tak tahu lagi harus berkata apa.
Kesalahan?
Iya, Arya begitu menyadari akan kesalahannya, tapi ini tidak adil. Arya tak pernah sengaja ingin menabrak Bimo.
Anggun tak pernah bisa menerima semua penjelasannya, kenapa? Bukankah cintanya juga begitu besar untuk Anggun. Tak bisakah perempuan itu melupakan kesalahannya dan hidup berdua bahagia? Toh, anak yang di kandungannya saat ini adalah hasil dari cinta mereka, bukan dari Bimo.
"Lebih baik kamu keluar dulu, Nak. Temui Anggun lain kali," usir Sukma halus.
"Tapi, Bu." Arya mengiba.
"Keluar!" Anggun melemparkan bantal ke arah Arya.
Karena tak ingin kandungan Anggun kembali kontraksi, akhirnya Arya mengalah dan meninggalkan ruangan Anggun.
— GORESAN WARNA PELANGI —