webnovel

GORESAN WARNA PELANGI

Kehidupan bagaikan warna warni Pelangi Kadang Merah, kadang Kuning, kadang Hijau. Kadang bahagia, kadang senang, kadang sedih, kadang ceria. Namun ... Bukankah warna warni itu yang membut pelangi menjadi indah? Kisah Anggun dan Arya bagaikan pelangi, membawamu naik turun dalam indahnya rasa dan perihnya kenyataan. Arya adalah pria mapan dan bergelimang harta, seorang workaholic sejati, ia jatuh cinta dengan sosok Anggun yang lembut, pintar, dan pengertian. Anggun yang baru saja kehilangan cintanya pun akhirnya menerima cinta Arya, tanpa tahu bahwa ternyata Arya adalah alasan dibalik ia kehilangan cintanya. Beda antara cinta dan benci hanya setipis benang — Anggun. Aku cemburu pada orang yang telah tiada — Arya. Akankah Anggun menerima cinta Arya kembali setelah mengetahui semua kebenaran itu? A beautiful love story Hanya sebuah kisah cinta biasa, namun bisa membuatmu merasa sangat luar biasa - dee.Meliana

BELLEAME · สมัยใหม่
Not enough ratings
18 Chs

BIRU

GORESAN WARNA PELANGI

WARNA KELIMA - BIRU

________________________________

— BIRU, kuat seperti warna biru pada nyala api. Belahan jiwa ibarat birunya laut yang beradu dengan birunya langit. Mereka saling memiliki dan melengkapi dengan jernihnya hati dan murninya perasaan. —

________________________

Hamparan rumput hijau dan beberapa pohon kamboja tampak menghiasi sebuah area pemakaman. Anggun berjalan pelan sambil memegang perutnya yang kian membesar. Seminggu lalu, dokter mengizinkannya pulang dengan syarat harus makan secara teratur. Ia menyibakkan rambutnya yang panjang bergelombang ke belakang. Ia mengelus pelan batu nisan di depannya. Entah kapan terakhir kalinya Anggun datang untuk mengunjungi makam ini.

R.I.P

dr. Bimo Yudha Putra

Lahir : 9 Januari 1984

Wafat : 25 November 2017

Anggun duduk di bibir makam yang telah dibangun apik menggunakan keramik berwarna biru laut sambil mencabut rumput-rumput yang tumbuh liar di permukaan makam Bimo. Sesekali membuang napas perlahan sambil terus mengusap nisan di depannya. Tak ada air mata yang menetes seperti dulu setiap kali mengunjungi makam ini.

HEmbusan angin terasa begitu sejuk menyentuh kulit Anggun. Bunyi gesekkan dedaunan membuat perasaannya menjadi lebih nyaman. Anggun sempat terdiam beberapa saat sebelum akhirnya membuka suara.

"Mas Bimo pasti heran kan, melihat Anggun hamil?" Tangan Anggun mengelus lembut perutnya.

"Andai saja Mas Bimo masih hidup, pasti anak yang Anggun kandung sekarang adalah anak kita, Mas," kata Anggun datar.

"Anggun kemari karena mau minta maaf, Mas. Anak ini, anak dari laki-laki yang telah membunuh Mas Bimo." Tenggorokan Anggun terasa tercekat.

"Maafin Anggun, Mas. Tapi Anggun akan lebih sakit kalau nggak jujur padamu, Mas." Air mata Anggun mulai tak terbendung, tetapi sebuah suara lantang mengagetkannya.

"Anggun?"

"Prof. Kim!" Anggun tak pernah menyangka akan bertemu laki-laki tua itu di sini.

"Mengunjungi makam Istri, kangen," katanya sambil mengusap-usap dahinya yang lebar, mentari sore masih sedikit terlalu panas untuk kepala laki-laki yang sudah botak ini.

"Mampir sekalian ke makan Bimo, malah lihat kamu. Kamu kangen juga?" Ia tersenyum hangat.

"Iya, Prof."

"Masih menangisi kepergian Bimo?" tanyanya, Anggun mengangguk perlahan sebagai jawaban.

"Kelahiran dan kematian itu sesuatu yang tidak bisa ditebak, bahkan oleh manusia sepintar apa pun di dunia."

Anggun tetap diam dan mendengarkan laki-laki itu berbicara. Prof. Kim Suharjo adalah dosen Bimo waktu kuliah di kedokteran dan juga bos Anggun waktu masih bekerja di rumah sakit. Prof. Kim memang sangat sayang pada Bimo karena sering mengikuti dan menemaninya saat operasi. Prof. Kim sendiri adalah seorang dokter spesialis bedah otak.

"Ada satu hal yang belum aku katakan padamu, Nggun," ucap Prof. Kim, suaranya terdengar menegas.

"Eh." Anggun menoleh.

"Sejam sebelum Bimo meninggal, aku memanggilnya. Mungkin akulah yang harus dituntut atas kematian Bimo."

"Maksud Prof, apa?" tanya Anggun bingung.

"Tiga bulan sebelum kematiannya, Bimo sering mengeluh pusing, kadang pusingnya sampai muntah." Prof. Kim menghela napas.

"Sebagai seorang dokter, Bimo tahu kalau ada sesuatu yang salah dalam otaknya. Akhirnya, setelah beberapa kali kubujuk, dia mau melakukan CT-Scan."

"Apa yang terjadi, Prof?" tanya Anggun ingin tahu.

"Hasilnya keluar, tetapi aku berusaha menutupinya. Esok paginya ada operasi dadakan. Operasi itu berhasil dan Bimo bukannya segera pulang untuk melanjutkan pemberkatan nikahnya bersamam, malah datang menemuiku."

Anggun mencoba menarik napas panjang, menata hati untuk menerima kenyataan. Sebenarnya apa yang telah disembunyikan Bimo selama ini?

"Bimo terus mendesakku untuk melihat dan membaca hasil CT-Scannya, sampai akhirnya aku mengeluarkan hasilnya. Ya, tumor otok stadium tiga. Sebenarya bisa saja aku berbohong, tapi aku mengatakan yang sesungguhnya." Mata pria tua itu kian sayu.

Anggun tertegun, hatinya sakit mendengar cerita Prof. Kim. Hatinya sakit tak kala mengetahui kalau Bimo berusaha menyembunyikan semua rasa sakit darinya.

"Semua salahku, Nggun. Andai saja aku menyembunyikannya. Mungkin dia bisa lebih lama hidup bersama kita."

"Bukan salahmu, Prof. Mas Bimo tewas karena kecelakaan," jawab Anggun datar.

"Bukan, Sayang. Bukan mobil itu yang menyebabkan Bimo tewas, bukan salah pengemudinya. Bimo sendiri yang meloncat ke badan jalan."

"Apa maksudmu, Prof?" Anggun spontan langsung mengguncang lengan dokter tua itu.

"Setelah aku memberi tahunya, Bimo sempat down. Baginya kamu adalah hal terindah. Dia nggak mau kamu kecewa karena bisa meninggal kapan saja. Tentunya hal itu akan membebanimu. Saat itu, aku masih berusaha membujuknya untuk meneruskan pernikahan." Penjelasan Prof. Kim membuat air mata Anggun tak terbendung lagi.

"Namun, Bimo berjalan lunglai keluar dari ruanganku. Setelah berganti pakaian dia berkata, 'aku akan membatalkan pernikahanku.' Setelah itu dia keluar dari rumah sakit. Aku membuntutinya, berharap bisa merubah pikirannya, tapi terlambat. Bimo yang tergesa-gesa menyebrang jalan tak melihat keadaan sekitar. Langsung saja meloncat, sehingga tabrakan itu tak terelakan."

Anggun langsung terduduk lemas, air matanya tak kunjung berhenti mengalir. Prof. Kim membantu berdiri dan menenangkannya.

"Maafkan aku, Anggun. Andai saja aku berbohong akan penyakitnya, hal ini pasti tidak akan terjadi." Mata tuanya ikut berkaca-kaca melihat kesedihan Anggun.

"Bukan salah Profesor," lirih Anggun pelan.

Langit sore masih terlihat berwarna biru. Desiran angin kembali menyapu kulit dengan belaiannya yang dingin, kaku menerpa wajah cantik Anggun.

Anggun telah berhasil menghentikan tangisannya, menguatkan diri demi bayi yang ada di dalam kandungan.

"Kamu hamil, Nggun?" Prof. Kim tampak berbinar saat melihat perut Anggun yang membesar. Baru disadarinya kalau wanita di depannya saat ini sedang mengandung.

"Siapa Ayahnya?" tanya Prof Kim sekarang dengan ekspresi sedikit bingung.

Anggun tertunduk malu. "Iya, Prof, saya hamil. Sungguh memalukan bukan, saya hamil sebelum menikah?"

"Apa yang harus dipermalukan? Kehamilan merupakan sesuatu yang luar bisa, begitu kompleks dan indah. Kehamilan merupakan karunia Tuhan yang paling besar, Nak." Prof. Kim tersenyum lebar.

Anggun tahu, Prof. Kim hanya ingin menghiburnya. Mana mungkin ada orang yang tidak beranggapan buruk pada seorang gadis yang hamil sebelum ia menikah.

"Tak ada ilmu di dunia ini yang bisa dibandingkan dengan bagaimana cara bayi itu terbentuk di rahim seorang wanita. Be proud you will be a Mom."

Sebuah senyum mengembang begitu lebar di wajah Anggun saat mendengar ucapan Prof Kim. Seorang anak adalah karunia Tuhan, penghargaan tertinggi sebagai seorang wanita.

"Rejoice it!" Tangan hangatnya menepuk pundak Anggun.

— GORESAN WARNA PELANGI —

Selama perjalanan pulang Anggun hanya diam membisu dan memandang keluar jendela bus. Dalam benaknya terus merenungkan kejadian yang menimpanya belakangan ini. Dirinya dulu selalu menyalahkan Tuhan, kemudian beralih menyalahkan Arya atas kematian Bimo. Menolak kehadiran dan cinta Arya untuknya.

Di perjalanan, Anggun melihat sebuah keluarga kecil sedang mengajak putranya jalan-jalan. Sang ayah menggendong anak itu begitu tinggi dan ketiganya tertawa riang. Terlintas dalam benak Anggun, bagaimana kalau saat ini mengandung anak Bimo dan Bimo meninggal karena tumor di otaknya? Akankah keluarganya bisa bahagia? Akankah Anggun bisa bertahan?

Arya mencintainya sama seperti Bimo, bahkan cintanya terlalu besar telah menyakiti hati Anggun yang rapuh. Tapi inilah realita, anak yang dikandungnya adalah anak Arya, bukan anak dari Bimo. Dan Anggun begitu mencintai Arya saat mereka berdua bersatu, dan menanamkan benih ini dalam rahimnya.

Anggun menangis mengingat-ingat kenangan manisnya dengan Arya. Mungkin masih jauh dari kata sempurna, tapi cinta Arya begitu tulus untuknya. Sudahkah terlambat? Sudahkah terlambat bagi Anggun untuk menerima cinta Arya kembali? Atau masihkah Arya mencintainya?

Pikiran Anggun mulai terbuka. Arya bukan orang yang patut disalahkan dalam kematian Bimo, bukan juga Tuhan. Tuhan pasti selalu memberi takdir terbaik untuk umatnya, walaupun mungkin harus melalui cara yang sulit dan menyakitkan.

Yakinlah akan selalu ada pelangi setelah hujan di langit biru.

— GORESAN WARNA PELANGI —

Beli bukunya di shopee loka media

Hubungi 0838 90234034

Follow IG @dee.Meliana untuk giveaway periode November 2020