webnovel

BAB 6

Bara sengaja bangun pagi-pagi. Ia lalu membuka pintunya sedikit untuk mendengar apakah Veronica sudah keluar atau belum.

Veronica keluar dengan piyama tidur yang dilapisi sweater di luarnya. Bara segera melangkah mendekat.

"Hi!" sapa Bara.

Veronica terdiam. Ia baru ingat jika ada Bara di sana.

"Hi!"

"Mau ke mana?"

"Mau ngambil bubur yang gua pesen di bawah." Veronica berusaha bersikap biasa saja.

"Oh!"

"Ngomong-ngomong kok gua baru lihat lu di sini?" tanya Veronica.

"Ah!! Gua baru semalam di sini. Selama ini gua masih tinggal di rumah peninggalan orang tua gua."

"Oh!"

"Bagaimana tinggal di sini?" tanya Bara sambil menekan lantai 1, kemudian menekan basemen.

"Sedikit kaget. Katanya penthouse. Tapi kenapa ada 2 unit dalam satu lantai?"

"Tapi kalau dari luasnya, sama seperti 1 unit penthouse kan?"

"Iya sih."

"Fasilitasnya juga selengkap penthouse kan?"

"Bener juga."

"Pemandangan juga bagus kan?"

Veronica mengangguk lagi, "tapi tetap aja!" cicit Veronica.

"Jam berapa kamu pemotretan?"

"Jam 10."

"Pulangnya?"

"Mungkin kisaran jam 5 sore,"

"Gimana kalau gua traktir lu makan malam di apart gua?"

"Eh?"

"Gua yang masak." Bara memerhatikan keterdiaman gadis itu. Lalu, "sebagai ucapan terima kasih gua."

Veronica tersenyum dan mengangguk. "Boleh."

#--------#

Malam hari. Veronica sudah duduk manis di meja makan. Melihat Bara yang menaruh mangkuk terakhir ke meja makan. Lalu, duduk di sebrangnya.

"Cobain!"

Veronica tanpa sungkan segera mencoba setiap sayur dan lauk di sana.

"Bagaimana?"

"Enak!"

Bara tersenyum. Ia segera mengambil nasi, beserta lauk pauk untuk dimakan. Dia senang sekali melihat Veronica. Persis seperti Astuti saat makan.

"Kenapa tak makan ini?" tanya Bara.

"Aku alergi kacang. Jadi tak boleh terlalu banyak."

"Sejak kapan?"

"Sejak kecil. Mungkin memang bawaan lahir."

"Oh!" Bara memasang senyum tipis. Ada sorot kecewa di matamya. Ternyata benar bukan Astuti.

"Aku sudah menyiapkannya banyak gambar sesuai tema. Mungkin, akan kuberitanu nanti. Kalau aku sudah masuk."

"Makan dulu! Jangan bicara!"

Veronica mengangguk. Ia menikmati makannya hingga tak bersisa di piringnya. Gadis itu memegang perutnya.

"Kenapa?"

"Sepertinya malam ini aku harus lari."

"Gua temani?"

"Nggak perlu. Di rumah ada treadmill."

Bara mengangguk dan hendak membersihkan meja makan. Namun dicegah oleh Veronica. Gadis itu merasa tak enak jika hanya makan saja, tanpa berbuat sesuatu.

"Gua yang cuci. Sebagai ucapan terima kasih, karena malam ini sudah makan enak."

"Oke."

Bara pun menunggu Veronica di pantry. Ia senang memerhatikan gadis itu. Meski sebenarnya dirinya merasa aneh dan janggal. Terkadang perempuan di depannya itu begitu mirip dengan cinta pertamanya.

"Apa kamu kenal Astuti?" tanya Bara.

Veronica menghentikan tangannya. Namun, tak ada niatan untuk balik badan. Sekuat tenaga berusaha menahan sesak di dada. Untuk apa pria itu mengorek luka lama.

"Kenal. Dia teman kak Gery. Kami tinggal bersama di masa terakhir hidupnya."

#------#

Beberapa hari berlalu. Bara dan Veronica pergi bersama ke Bali. Namun sejak makan malam terakhir, gadis itu berubah dingin.

Bara melirik Veronica yang duduk di sebelahnya. Perempuan itu tengah melihat awan dari jendela pesawat.

"Sebentar lagi kita akan turun," ucap Bara berusaha menghangatkan suasana.

"Em!"

Bara tak tau harus bicara apa lagi. Ia akhirnya memilih diam. Bahkan sampai di hotel dan terpisah kamar, suasana masih belum juga mencair. Seolah ada dinding tebal yang memberi jarak.

"Ada apa dengannya?" tanya Bara sambil memandang pintu kamar Veronica yang tertutup.

#------#

Sore hari dengan menaiki mobil jemputan. Mereka pergi ke sebuah restoran yang sebenarnya tak jauh dari sana dan dekat dengan pantai.

Austin dan istrinya segera menyambut kehadiran Bara dan Veronica. Sang istri tampak semangat bisa bertemu dengan idolanya.

"Hello!" sapa istri Austin - Emelly dengan ramah sambil memeluk dan bercepika-cepiki dengan Veronica.

"Halo!" balas Veronica ramah.

"Wow! You so pretty! I'm so jealous for you."

"Hahaha! You too. Anda juga sangat cantik, Nyonya Austin."

"Ely! Call me Ely! Aku ingin lebih dekat denganmu."

"Tentu saja, Ely."

"Ekhm! Apa kita tetap akan berdiri begini?" tanya Austin.

"Oh sorry! Silahkan!" ucap Emelly ramah. "Bagaimana, enak bukan?"

"Em! So good."

"Ini bisnis my son. Padahal saya pikir, kami bisa mewarisi perusahaan dengan tenang kepadanya. Tapi, tak bisa. Cook, his hobby."