webnovel

BAB 4

Veronica berjalan memasuki ruangan Bara seperti biasa.

"Sepertinya anda tak tau apa yang namanya sopan santun nona Veronica?" tanya Bara dengan nada dingin.

Veronica memutar mata jengah dan segera duduk di sofa. Ia tak peduli.

"Saya belum menyuruh anda masuk, nona Veronica!"

"Who's care?" tanyanya sambil mengendikkan bahu. "Oh iya! Aku sudah punya rancangan desain baru."

"Tak perlu. Saya sudah menyiapkan uang penalti untuk anda."

"Apa maksudnya?!" Veronica langsung berdiri.

"Sepertinya anda bukan orang yang bodoh."

Veronica memejamkan matanya. Ia berusaha menahan amarah yang ada. Dirinya benar-benar kesal.

Setelah dirasa tenang. Veronica segera keluar dari ruangan itu. Ia tak ingin berlama-lama di dalam sana.

"Bar, ini demi perusahaan!" sahut Faiz memecah keheningan. "Kalo kayak gini, kita bisa dicap habis manis, sepah dibuang! Nama baik perusahaan akan jatuh!"

"Apa yang pak Faiz katakan benar. Saya harap bapak memikirkan baik-baik. Sebagai sesama desainer, tindakan yang bapak ambil sudah mengecewakan kami. Permisi!" Tasya segera pergi begitu saja meninggalkan Bara.

#---------#

Di kamar di dalam sebuah penthouse. Gery yang tengah tertidur pulas tiba-tiba terbangun ketika Veronica masuk ke kamar tiba-tiba. Gadis itu membuka dan mendorong pintu begitu keras.

"Astaga! Veronica!" teriaknya.

Veronica langsung naik ke kasur. Gery langsung duduk dan mundur.

"Ver! Please! Kita bukan anak-anak lagi! Walau kakak adik, tetap ada batasan ngerti?!" Melihat Veronica yang bungkam, ia mencoba bertanya. "Ada apa?"

"Dia bilang dia mau kasih pinalti ke gua!"

"Apa?! Kok bisa?!"

"Lu bego apa oon sih?!"

"Oh! Okeh! Maksud gua, apa yang terjadi?"

"Mana gua tau!"

Gery terdiam. Ia bingung untuk memulai pembicaraan lagi.

"Lu denger nggak sih?!"

"Iya, gua denger. Lu nggak tau."

"Terus lu diem aja?! Dia habis manfaatin gua dan sekarang ngebuang gua gitu aja?! Harga diri gua dan harga diri agensi mau dikemanain?!"

"Bener! Yang lu bilang bener!"

"Terus apa rencana lu?!"

Gery tertegun. Sebenarnya tak terlalu jadi masalah jika dia bayar pinalti. Lagian yang jelek nama perusahaan mereka. Tapi kalau salah bicara, Veronica akan ngambek dan nggak mau diganggu.

"Gua bakal bicara."

"Bicara ke siapa?! Lu mau bujukin dia?! Demi Tasya lu rela nginjak harga diri gua! Tau nggak!"

Gery langsung menutup mulutnya. Menghadapi orang tak waras harus ekstra sabar. Jangan sampai ia kehilangan kewarasan. Itulah motto hidupnya yang membuatnya bisa bertahan dalam perebutan warisan dan kekuasaan dengan saudara tiri dan sepupu yang lain.

"Tenang! Gua bakal hubungi pengacara. Kita akan urus ini baik-baik. Oke?"

"Em!" Veronica segera pergi dari sana. Gery langsung mengusap dadanya. Akhirnya dia berhasil. "Jangan lama-lama! Gua tunggu di ruang tamu!"

Gery langsung menepuk jidatnya. Ia benar-benar tak bisa berkata apa-apa lagi.

Gery segera bersiap. Ia sengaja menghabis waktu 15 menit. Saat kembali, ia mendapati Veronica sudah tertidur pulas di sofa.

Gery pun memperbaiki posisi tidur gadis itu perlahan. Lalu ia segera pergi. Tujuannya adalah kantor Bara.

#---------#

Di kantor Bara. Ia dan Faiz masih asyik dengan pekerjaan masing-masing. Yang satu duduk di kursi kebesarannya dan yang satu duduk di sofa panjang.

'tok tok tok'

"Masuk!"

Seorang perempuan masuk ke dalam ruangan. Ia mendekat ke meja Bara.

"Maaf, Pak. Ada tuan Gery yang mencari Anda."

"Katakan saya sibuk dan sedang tidak di kantor."

"Sibuk dan sedang tak di kantor?" tanya Gery. Pria itu langsung lompat dan duduk di sofa. "Anda berusaha menghindar rupanya."

"Biarkan saja! Kamu bisa kembali!"

"Baik, Pak. Permisi."

Perempuan itu pergi dan segera menutup pintu. Bara langsung menatap ke arah Gery. Begitu pula Faiz. Mereka menunggu apa yang akan dikatakan pria itu.

"Sepertinya kalian sibuk, karena masalah pinalti itu kan? Terpaksa kalian harus meminimalisir dana yang lain. Saya rasa itu malah tidak efektif. Kalian akan semakin terpuruk. Dan masalah merekrut desainer lain. Mereka pasti enggan bekerja di perusahaan yang tak menghargai desainernya."

"Jadi apa maksudmu?!" tanya Faiz tak suka.

"Tunggu! Kalian sepertinya benar-benar nggak suka sama gua. Bukankah kita dulu teman?" tanya Gery.

"Jika anda hanya ingin berbicara omong kosong, sebaiknya anda pergi!" ucap Bara sambil menunjuk ke arah pintu.

"Oh c'mon, Bro! Lagian yang ngelukai dan membuat Astuti dipermalukan siapa? Gua cuma bawa dia ikut ke luar negeri. Agar dia bisa bernapas di sana. Kalau bukan karena lu, Faiz! Mungkin Astuti masih hidup!"

Bara dan Faiz terdiam. Iya, sebenarnya mereka yang salah. Membuat Astuti memilih pergi. Lalu, menegak pil pelangsing sampai overdosis dan meninggal. Semuanya salah mereka bukan Gery. Pria itu padahal berusaha menjaga gadis itu sambil melanjutkan studi dan bekerja.

'tok tok tok'

"Masuk!"

Tasya masuk ke dalam sambil membawa sebuah dokumen. Diserahkan dokumen itu ke Faiz. Matanya sempat melirik jengah pada Gery.

"Hi, Tasya! Lama nggak ketemu ya?" tanyanya sambil mengerlingkan mata jenaka.

Tasya memaksakan senyumnya. Jika bukan di kantor, ia akan melempar pria itu dengan apa yang ada di dekatnya.

"Kamu nggak kangen sama aku? Padahal aku kangen loh sama kamu."

"Bagus!" ucap Veronica yang tiba-tiba muncul. "Masih aja sempat merayu Tasya! Lu kakak gua bukan sih?!" Ia berjalan dan menjewer Gery.

"Sakit Ve! Gua udah marahin mereka kok tadi!" cicit pria itu sambil memegang kupingnya yang masih dijewer Veronica.

Bara melihat apa yang dilakukan oleh Veronica. Persis sekali dengan apa yang dilakukan Astuti jika Gery kabur dan bolos dari sekolah.

"Sampai ketemu di pengadilan!" ucap Veronica sambil menarik Gery.

"Astuti!" ucap Bara yang ternyata samar terdengar oleh Gery dan Veronica. Membuat jeweran itu terlepas di depan ruangan tadi.

"Dia sudah bayar pinalti! Ngapain kita nuntut mereka lagi?" tanya Gery mencoba mengalihkan perhatian.

Veronica mendekati Gery yang mundur ketakutan. Salah satu telapak tangan gadis itu menekan dinding yang berada di sisi wajah Gery.

"Lu nggak mikir! Orang-orang bisa berpikiran kalau gua yang nggak becus, sehingga mereka yang memutuskan pekerjaan ini!"

Pintu terbuka, Tasya, Faiz dan Bara keluar. Mereka melihat apa yang terjadi.

'prok prok prok'

Mereka melihat ke arah perempuan yang baru saja datang. Faiz langsung bersembunyi di balik tubuh Bara.

"Lu nggak berubah juga ya Veronica? Masih saja bertingkah barbar."

Veronica melepaskan kungkungannya. Ia berdiri tegap dan menghadap ke arah perempuan itu dengan tatapan tajam.

Gery langsung berlari ke arah Bara, Tasya dan Faiz. Ia bersembunyi di sana.

"Aku lupa. Ayah anda menginvestasikan uangnya di perusahaan ini," ucap Veronica.

"Kenapa? Perusahaan tempat lu bekerja, ternyata berada dibawah naungan gua. Bukankah itu hebat?"

"Oh iya?! Sayangnya perusahaan itu yang meminta gua. Bahkan gua yang menjadi pihak pertamanya. Selain itu, gua juga denger. Lagi-lagi cinta lu bertepuk sebelah tangan ya, Audrey? Selamat ya?"

"Lu?!"

"Gery! Ayo kita pulang!" Veronica balik badan dan melihat Gery yang bersembunyi.

"Hahahaha! Lihat pacar lu ketakutan!"

"Kenapa?! Lu kasihan lihat dia? atau jangan-jangan lu masih suka sama Gery dan menjadikan Faiz sebagai pelampiasan. Karena lu tau mereka teman dekat?"

Faiz berdiri tegap. Entah kenapa dadanya terasa berdenyut nyeri.

"Gu ... gua nggak! Gua tulus sama Faiz!"

"Oh iya?"

"Em!" Audrey mendongak, "gua mencintai Faiz dan sangat mencintai dia!"

"Syukurlah. Jangan lupa buat undang gua!" Veronica melangkah pergi.

"Tunggu! Lu nggak merasa bersalah ke Tasya?"

"Eh?" Veronica berhenti dan berbalik.

"Lu memperlakukan orang yang ia cintai seperti sampah."

"Audrey!" teriak Tasya.

"Yang jatuh cinta ke Gery bukan cuma gua! Tapi juga Tasya!"

Tasya mendekati Audrey. Ia menampar gadis itu dengan kuat.

"Lu?!" ucap Audrey kesal. Namun, Tasya tak mengatakan apa-apa lagi. Ia segera pergi dari sana.

#-------#

Di kamar Veronica. Gadis itu langsung membanting tubuhnya ke kasur. Kondisi tadi membuat suasana canggung. Ia tak mengira, jika Tasya juga mencintai Gery.

"Jadi dari mana letak masalahnya?" tanya Veronica. "Gua harus jelasin besok ke Tasya!"

"Tapi, haruskah gua menginjakkan kaki di sana? Nggak! Nggak sudi gua!"

Veronica menendang ke arah langit -langit. Ia benar-benar geram dengan tingkah Bara. Pria itu sebentar lembut dan sebentar dingin. Menyebalkan.

"Ayo bangun cuci muka!" ucapnya, tapi tubuhnya enggan bangkit dari pulau impian ketika sibuk bekerja seharian.

'drt drt drt'

Veronica merogoh ponsel di tasnya. Ia melihat ada panggilan dari Gery.

"Ada apa?" tanyanya sambil menekan loud speaker, agar ponsel bisa ditaruh di kasur.

"Ve! Bisa nggak kita jangan nuntut mereka?"

"Apa maksud lo?!"

"Tasya mengajukan syarat."

"Apa?! Jadi lu lebih malah Tasya daripada gua adek lo?!"

"Bu ... bukan! Co ... coba lu pikirin lagi. Kan lu dah melakukan yang terbaik. Jadi ... kalau itu yang terjadi. Mereka yang rugi. Orang-orang nggak akan berani menilai yang lain lagi kan?"

Veronica memijat pelipisnya. Ia benar-benar tak habis pikir dengan pikiran Gery.

"Ve! Lagi pula perusahaan itu berawal dari Tante Asih. Apa lu nggak takut, mendiang tante sedih? Lagi pula, untuk membayar pinalti saja, sepertinya mereka kesusahan."

"Salah siapa coba! Mereka yang naruh harga di sana. Biar gua nggak kabur sewaktu-waktu."

"Maka dari itu, kenapa kamu nggak coba bujuk mereka?"

"Apa?!"

"Hahaha! Tenang! Tenang!" Veronica menghela napas kasar. "Jadi lu masih mau nuntut mereka? Belum bayar pinalti lu, mereka sudah harus bayar pengacara. Apa lu nggak kasihan? Lu nggak kasihan sama tante Asih? Beliau pasti sedih melihat putranya menjadi gelandangan."

"Gua bantu lu ke sana juga demi tante Asih. Bukannya lu sendiri yang bilang mau membalas budinya dan memisahkan masalah lu sama Bara."

Veronica masih diam. Ia enggan berbicara.

"Gua anggep lu setuju. Tapi tenang aja! Gua bantu lu, biar Bara yang bujuk lo kembali. Gimana?"

"Em."

"Really?! Thank you, Veve!! Love you so much! Emmuach!" Panggilan pun terputus begitu saja.

Veronica menghela napas. Ia segera bangkit dan beranjak ke kamar mandi. Dia tak ingin wajahnya rusak, karena make up yang tak dibersihkan semalaman.