Brian menatap kosong ke meja kerja di depannya. Dokumen betumpuk di sisi kanan seperti kamus besar bahasa. Tiga meter dari tempat duduknya, seorang pria dengan jas rapi dan berkacamata, berbicara tanpa nada dan tanpa ekspresi. Hanya matanya yang membuat Brian sadar kalau orang ini sepertinya membenci dirinya.
'Apa salahku??'
Pria di depannya seperti masih di awal dua puluhan, tidak jauh dari usia Brian. Tapi aura yang dikeluarkan pria itu seperti musim dingin tanpa salju. Dingin dan stagnan.
"Tuan muda, Ketua meminta untuk anda supaya ikut rapat kali ini. Beliau sudah menyampaikan betapa pentingnya pertemuan ini."
Kedengarannya seperti Brian adalah bosnya, dan dia adalah bawahannya. Tapi dari kata-katanya seperti menunjukkan kalau Brian tidak pernah menghadiri rapat dan sejenisnya sama sekali?
Hal yang harus Brian selesaikan dengan cepat hanya satu: dia tidak tahu siapa dan dimana dia berada sekarang.
Brian bangun dari tidurnya, kebingungan. Kamarnya mewah dengan interior elegan, parahnya dia terbangun dengan seorang perempuan di sisinya. Dia, seorang jejaka, belum pernah pacaran, konservatif, tidur dengan seorang perempuan?
Belum selesai sampai disana, keterkejutannya berlanjut saat pria di depannya ini, dengan lancang dan tanpa ekspresi memasuki kamarnya begitu saja, lantas mengocehkan 'jadwal anda hari ini' blablabla. Brian mengikuti alur dan mempersiapkan dirinya untuk pergi entah kemana bersama pria itu, sarapan makanan enak, naik audi diantar sopir, lalu tiba di sebuah gedung dan masuk ke ruangan miliknya, sebelum duduk tepat di meja kerjanya. Begitulah bagaimana dia bisa sampai disini.
Dia masih menata otaknya, terutama setelah berkaca di kamar mandi dan melihat tubuh super dan wajah maskulin yang sangat berbeda dengan dirinya! Tolong jelaskan bagaimana bisa dia berada disini! Apakah mungkin dia selama ini gila dan berkhayal bahwa dia adalah anak miskin yang mengasuh 5 orang adik?? Untuk apa orang kaya memfantasikan hal sengsara seperti itu?
Brian yakin dirinya berpindah tubuh.
Dia hanya sempat memeriksa kartu identitasnya. Tubuh ini memiliki nama yang sama: Brian, juga tanggal lahir sama. Hanya nasib keduanya ibarat langit dan bumi.
Brian, aslinya hanya seorang pemuda biasa, tubuh kurus tinggi rata-rata, kerja di supermarket di malam hari, sementara siangnya jadi bapak rumah tangga mengurusi adiknya. Baru setelah adik-adiknya berangkat sekolah dan mengantar ke TK, dia bisa tidur.
Brian menghentikan lamunannya saat pria didepannya bicara lagi.
"Apa anda akan menghadirinya?"
Dia hanya pegawai Supermarket dan tukang masak di rumah, mana dia tahu soal mengurusi perusahaan?!
Tapi kelihatannya tubuh ini tidak menjalankan kewajibannya dengan benar, jadi bukan masalah kan kalau dia tidak ikut?
"Aku merasa sedikit tidak enak badan..."
"Tuan muda harap ingat peringatan Ketua. Beliau sudah bilang bahwa semua aset dan kartu anda akan dibekukan kalau anda tidak ikut." tukas pria di depannya, seperti ini bukan kali pertama Brian mengocehkan alasan sampah.
Sebenarnya siapa yang jadi bos?
Sepertinya si Ketua ini memiliki posisi yang kuat dan merupakan tiang tunggal untuk tubuh ini bertahan hidup. Biasanya kalau bukan kakeknya, mungkin ayahnya.
Membekukan semua aset? Tidak masalah, toh bukan urusannya.
Tapi setelah di pikir-pikir lagi, lebih mudah untuk dirinya mencari jalan keluar dengan semua sumber dan tenaga yang dia miliki.
"Baiklah, jam berapa?"
Pria itu sepertinya sudah membacakan 'jadwal hari ini' saat di kamar dan mengulangnya di perjalanan saat ke gedung ini. Meskipun Brian kembali bertanya, tidak ada tanda ketidak-sabaran pada nada suaranya, meski matanya tetap sama. Brian punya firasat kalau pria itu tengah mengutuknya dalam hati.
"Pukul 10 pagi ini. Bahan rapat tersedia di meja Tuan muda dengan map merah."
Brian melirik map merah yang terletak di sebelah tumpukan dokumen. Omong-omong apa fungsi tumpukan dokumen itu? Jangan bilang itu pekerjaannya yang selama ini dia abaikan?
Tanpa suara Brian mengambil map dan membukanya. Membacanya dengan teliti sambil mengulas kejadian yang baru dia alami, tanpa menyadari ekspresi sekretaris di depannya yang terkejut.
Dia terbangun dengan seorang perempuan disisinya.
Dia punya banyak tumpukan pekerjaan dan terdengar bukan orang yang rajin.
Bawahannya membencinya.
Dengan kata lain, identitas Brian saat ini cocok dengan gambaran 'tuan muda kaya tapi kacau dan seenaknya'.
Bagus, apa yang bisa lebih buruk dari ini?
"Omong-omong, perempuan tadi....," tahu kalau sekretaris di depannya cepat menangkap, Brian tidak menyelesaikan kalimatnya.
"Seperti biasa, sudah dikirim dana ke rekening yang bersangkutan. Laporannya semestinya tercatat di ponsel Tuan muda."
Dana?????
Brian sudah menebak, tapi dia tidak tahu kalau separah ini. Jelaskan, kenapa dia harus mengirim dana pada perempuan yang dia tiduri? Jangan bilang dia prostitusi?
"Bagaimana kalau dia pacarku?" tanya Brian ambigu. Dia ingin tahu siapa perempuan itu sebenarnya, tapi ekspresi sekretarisnya berubah keruh seperti air selokan. Kalau perempuan itu pacarnya yang memandang material sebagaimana kebiasaan seorang tuan muda yang suka berganti pasangan, sekretarisnya paling hanya akan menunjukkan tatapan bingung; bukan tatapan penuh penghinaan seperti itu.
"Tuan muda berjanji pada Ketua bahwa tuan muda tidak akan mengambil perempuan dari luar sebagai pasangan."
Fyuh.. baiklah itu melegakan.
Maksudnya dia hanya bisa mengambil pasangan dari dalam.. mungkin kalangan setara. Bukankah orang kaya selalu mencari pasangan berdasarkan latar belakang dan kesetaraan status mereka?
Tapi kenapa sekretaris ini berlagak seolah dia sebenarnya 'sudah' punya pasangan? Mengingat kejadian tadi pagi, Brian skeptis kalau dia sudah menikah.
"Pasanganku....,"
"Saya mendapat kabar bahwa Nona Yuna akan kembali ke Negeri I setelah wisuda dua bulan lagi."
Oh, sial. Tunangannya kuliah di luar negeri, standarnya tidak biasa.
Dia benar-benar punya tunangan!
'Brian', kau punya tunangan tapi berlagak single!
'Laki-laki ini sungguh bajingan' Brian dalam hati mengumpat. Dan sekarang label bajingan itu melekat pada dirinya!
Brian bertanya-tanya apa dia akan baik-baik saja saat mereka bertemu nanti. Sepertinya Nona Yuna ini dipilihkan oleh keluarganya untuk Brian, dan jelas bukan perempuan biasa.
Agaknya ini bukan kali pertama 'Brian' tidur dengan perempuan lain. Brian membayangkan perang dunia ke tiga saat mereka berjumpa nanti.
Meski dia tidak tahu seberapa dekat hubungannya, tidak ada orang yang senang melihat pasangannya jajan di luar.
'Kekacauan apa yang saat ini aku jalani?'
Brian ingin bertanya banyak hal, tapi untuk saat ini dia harus menyerap perlahan.
"Beri aku informasi mengenai Yuna." kata Brian sambil membaca halaman terakhir.
Sekretarisnya tampak ragu dan heran, namun memenuhi permintaan Brian dengan segera. Berpikir, penyakit apa lagi yang merayapi tuan muda ini.
Karena statusnya adalah tuan muda yang suka seenaknya, Brian tidak perlu khawatir dengan pandangan orang-orang padanya. Dia hanya tidak yakin apakah karakter yang dia jalani sama dengan tubuh ini sebelumnya. Semoga saja image-nya tidak terlalu melenceng.
Jam 9 lewat 45 menit, sekretarisnya datang dengan segulung informasi mengenai tunangan Brian, sembari mengingatkan rapat yang akan dia ikuti. Dengan map merah di tangan, Brian berdiri dan keluar dari ruangannya didampingi sang sekretaris.
Orang-orang yang dia temui semuanya menunduk dan menyapa 'Manajer' padanya. Akan lebih baik kalau mereka menyembunyikan tatapan takut. Tapi karena Brian tidak kenal siapa pun, dia tidak membalas dan tak acuh. Semakin sedikit dia buka suara, semakin dia jauh dari kesalahan.
Sekretarisnya maju lebih dulu dan menekan tombol lift. Dari luar Brian tampak tenang, padahal hatinya menggelegar. Ini pertama kalinya dia berada di kantor, naik lift pribadi, dan seseorang menekankan tombol lift untuknya. Satu-satunya yang membuat Brian tetap fokus mungkin karena bakatnya dalam menangani masalah di bawah tekanan.
"Tunjukkan ruangannya." kata Brian tanpa berhenti berjalan setelah keduanya sampai di lantai 35. Sekretarisnya berjalan di depan sebelum membukakan pintu terdekat.
Disitu rupanya.
"Siapa namamu?" tanya Brian pada sekretarisnya di muka pintu. Bawahannya ini tampak tidak terkejut dengan pertanyaan yang Brian ajukan dan menjawab dengan nada biasa. Sekretarisnya seperti sudah menerima penyakit mental atasannya dengan lapang dada. Dimana ada atasan yang tidak tahu nama bawahan yang sudah bekerja untuknya selama tiga tahun? Kalau bukan sakit mental, apa namanya? Bakat?
"Nama saya Rio Ronaldo."
"Oh." Brian hanya mengangguk sebelum masuk. Di dalam hanya ada beberapa kursi yang belum terisi. Meskipun Brian tahu dia adalah 'manajer', dia bukan satu-satunya. Brian memutar jalan sambil membaca dokumen yang tertera di setiap kursi kosong, dan menemukan satu dengan judul 'manajer Brian' yang tertera, kemudian duduk.
Kursinya terletak jauh dari kursi utama. Melihat wajah-wajah tidak ramah dan tidak peduli di sekitarnya, Brian tidak ambil pusing dan hanya meneliti. Dia tahu kalau Ketua tidak ada diantara mereka. Setelah semua kursi terisi, hanya satu yang kosong dan terletak di ujung, kursi tunggal itu sudah pasti milik Ketua.
Pukul 10 tepat, seorang pria paruh baya dengan beberapa garis putih di rambutnya, serta keriput di bawah mata masuk diikuti dua orang asisten dibelakangnya, membuat seisi ruangan yang tadinya hanya ada suara bisikan hening seketika. Meski begitu, Brian bisa melihat kebugaran dari tubuhnya. Dari aura dan tatapannya yang melirik kearahnya sebelum fokus ke depan, Brian yakin dia adalah Ketua.
Dari usianya, sepertinya bukan kakeknya. Mungkin Ayah? Paman?
"Kita mulai pertemuan kali ini." Suara berwibawa dan berat itu mengisi ruangan, dengan itu rapat dimulai.
Brian merasa tatapan Ketua sekilas padanya tadi seperti penuh ancaman, benar-benar membuatnya bergidik.