"Eh? H-Hadiah?"
"He-em. Buat teman jagamu malam ini," kata Khilmy. "Sebentar..."
Hanin sudah terlihat ketar-ketir, tapi Khilmy justru menahan tawa saat membuka termosnya. Di dalam ada lima botol yang tertutup rapat. Empat diantaranya mengembunkan es. Satu yang tersisa justru masih hangat karena terbuat dari stainles steel. Dan memang botol itu yang dia ambil untuk Hanin.
"Nih... Cuma ada satu dan sengaja kubuat sebelum kesini," kata Khilmy sembari menaruhnya di tangan Hanin. "Diminum lho, Nin. Kalau perlu sampai habis, hm?"
Hanin justru memandangi botol itu. "I-Ini..."
"Teh hangat dicampur madu. Tepat sekali," kata Khilmy yakin. "Itu masih minuman favoritmu, kan?"
Hanin baru bisa tersenyum setelah itu. "Mn," katanya pelan. "T-Terima kasih, Kak..."
"Siap!" cengir Khilmy. "Jadi jangan Cuma minum air putih, ya. Karena hidup itu banyak rasa, mengerti?"
"Mn."
Kali ini mata besar itu mengerjap-ngerjap. Pun diisi pancaran lampu yang berbinar terang di atas tampungan. Membuatnya dua kali lipat lebih cantik daripada sebelumnya.
Gemas lagi, Khilmy pun menekan peci putih itu hingga ambles ke hidung mancungnya.
"Haahh... dasar! Pokoknya begitu! Hahaha..."
"Eh? K-Kakak... gelap."
Hanin pun buru-buru membuka peci, tapi Khilmy justru mengacak-acak rambutnya sebelum sempat dirapikan lagi.
"Pokoknya semangat terus, oke?" kata Khilmy dengan senyuman membara. "Soalnya aku benci melihatmu menangis. Jadi kalau sudah tidak kuat nanti... ceritakan saja semua padaku, mengerti?"
Hanin mungkin sering lupa, tapi ketika Khilmy ada seperti sekarang... dia tahu inilah alasan mereka bisa dekat sejak saat itu.
Sebab dia rapuh, tapi Khilmy adalah tempat bergantungnya sebelum jatuh.
Sebab dia sedih, tapi Khilmy adalah tempat berlindungnya sebelum perih.
Dan bahkan kini dia ingin menyerah, tapi Khilmy tetap menjadi penompangnya sebelum pasrah.
"Iya," kata Hanin pada akhirnya.
Khilmy pun terlihat lega. "Nah, begitu..." katanya sembari melipat lengan di depan dada. "Sekarang kutinggal dulu, ya. Aku mau bertugas lagi soalnya..."
Hanin mengangguk. "Mn."
"Ya, sudah..." kata Khilmy. "Pokoknya semangat-semangat!" lanjutnya. Terdengar begitu senang, sampai Hanin tak jadi terlihat sedih. Padahal setelah dia berbalik, senyum di bibirnya langsung hilang begitu saja.
Tak tega.
Sebab Khilmy lah yang paling tahu alasan Hanin ditugaskan sebagai pengurus Divisi Pengairan setahun lalu.
"Dia memang lain dari yang lain, Khil," kata Zuhri. Setelah memutuskan memanggil Khilmy secara pribadi ke ruangannya. "Menghadapi Hanin itu sama seperti ngomong ke anak kecil. Makanya, saya sempet bingung waktu ditanya Abah Yai tentang perkembangannya 3 tahun ini."
"Tapi, Kang... di mata saya Hanin baik-baik saja kok," bela Khilmy. "Maksud saya, dia bisa mengerti perkataan siapapun asal mereka bisa mengimbangi. Cuma, ya... saya akui dia memang sangat sulit menerima seseorang sebagai teman."