"Donya menghancurkan kaca jendela kelasnya tanpa menyentuh, Ron!" Ucapku penuh semangat kepada Aron.
Sudah 5 hari aku tinggal di hotel Jambuluwuk yang berjarak 0,55 m dari Taman Budaya Yogyakarta untuk mencari jawaban atas segala yang terjadi pada Donya sebelum ini.
"Bukankah Bantar suamimu keturunan Tetua dari Kerajaan Bantarangin? mungkin menurun dari sana."
"Tapi keturunan dari Bantarangin bukan kekuatan yang menghancurkan seperti itu, mungkin lebih kepada kemampuan melintas waktu atau kekuatan untuk menyelamatkan. Seperti penyelamatan yang pernah terjadi kepada Bantar. Itu karena para tetua yang mengisi ruang kosong dalam diri Bantar dan menjaganya."
"Kita tidak pernah tahu, Mbak Rengga. Kehidupan ini, baru dari yang kasat mata saja sudah dipenuhi hal-hal misterius yang kita banyak belum tahu, apalagi hal-hal yang tidak kasat mata dan bukan dunia kita."
"Tidak, Ron! Tidak! firasatku mengatakan ini ada hubungannya dengan, Ken!"
"Lalu bagaimana dengan dirimu sendiri, mbak?! Bukankah ada yang pernah menyatakan padamu bahwa kau sendiri memiliki wadak yang besar dan banyak kekuatan yang ikut denganmu."
"Ha ha ha.. saya pikir itu itu omon kosong. Aku tidak pernah merasakan kekuatan spesial dalam diriku. Tidak pernah muncul!"
"Lalu bagaimana dengan mimpi-mimpimu? mimpi yang selalu memberitahumu kejadian-kejadian yang belum terjadi dan baru akan?"
"Bukankah itu hanya hal biasa, yang banyak terjadi pada kebanyakan orang?"
"Tapi, tidak segamblang mimpimu, bahkan mimpi-mimpi tentang kejadian besar yang tidak ada hubungannya dengan kehidupan pribadimu? itu tidak biasa mbak?"
"Tapi, ini bukan kekuatan menghancurkan seperti milik Donya, bukan?"
Kami terdiam, larut dalam kesibukan pikiran masing-masing. Aron kembali sibuk dengan peralatan Lab-nya sementara aku tahu pikirannnya tidak lepas dari apa yang sedang kami bahas. Beberapa hari ini kami bertemu di Laboratorium tempatnya melakukan penelitian untuk tugas akhir. Dia sedang sibuk meneliti makhluk hidup hibrida yang kemungkinan besarnya akan menguntungkan bagi kehidupan utamanya manusia sebagai bahan Tugas Akhirnya. Beberapa pembedahan dan pengambilan sampel terhadap makhluk yang dia teliti membuatnya tidak bisa meninggalkan Lab, dan akulah yang mengalah menemuinya kesini dengan jarak yang cukup jauh dari hotel tempatku menginap. Donya yang saya liburkan sementara dari kegiatan sekolah usai kejadian itu, kutinggalkan di Hotel bersama pengasuh yang sengaja kusewa untuk beberapa waktu, sementara Bhre di rumah bersama Bapaknya.
Tiba-tiba, Aron berdiri tegak dari yang semula membungkukkan badannya dengan mata berada di atas mikroskop dan jemari kiri memegang kepala mikroskop sementara jemari kanannya memegang peralatan seperti jepit pencabut bulu mata namun lebih panjang. Aron menelengkan kepalanya kepadaku dengan bibir bergerak mencoba mengatakan sesuatu.
"Seandainya ada hubungannya dengan Ken, bukankah itu mustahil?! Donya kan anaknya Bantar, tow?!"
"Bagaimana jika anak mereka berdua?! maksudku ada gen kami bertiga."
"Masih dengan pikiran gilamu itu, ya?!"
"Energi, Ron. Bisa tidak jika genetik itu tidak selalu tentang fisik?! Bagaimana jika energi juga mampu mempengaruhi Gen dan memberikan keturunannya juga?!"
Aku mengikuti gerak-gerik Aron mempermainkan kedua jemarinya, saling mengait, saling mengetuk antara satu dengan yang lain. Bola matanya bergerak kesana kemari seakan hendak berlarian keluar dan ingin mengekspresikan pikirannya yang juga sedang berlarian kemana-mana.
"Bukankah ada kesamaan sifat antara energi dan materi, bahwa keduanya sama-sama tidak diciptakan dan tidak bisa dimusnahkan namun hanya berubah bentuk dan keduanya merupakan unsur yang menghidupkan manusia. Jika materi butuh regenerasi, tentu tidak ada bedanya dengan energi."
"Artinya, kamu ingin mengatakan bahwa secara unsur energi, Donya merupakan anak ketururnan Ken, begitu?!"
"Yahhh... semua serba mungkin kan?! Kamu sendiri yang bilang bahwa segala hal memiliki kemungkinan berupa misteri yang kita tidak pernah tahu."
Kulihat ada keraguan di mimik wajah Aron, antara setuju dan tidak.
"Jika diteliti lebih mendalam, bukankah ini akan memberikan kemajuan yang luar biasa dalam sains?! Membawa manusia melesat maju ke depan."
"Jika Ide dan teorimu terbukti benar?!"
"Kenapa?! apa karena aku hanya seorang penulis fiksi dan kauanggap aku berkhayal?! Bahkan bacaanku mungkin jauh lebih banyak darimu."
"Dhuhhhh!!! Malahan jadi baper begitu."
Aku hanya mengangkat tangan, agak kesal dengan arah diskusi kami yang mulai meragukan banyak hal tanpa ada keinginan dari Aron untuk mencoba meneliti labih jauh setiap ide-ide kami. Ahhhh!!! Atau aku-nya yang memang mulai emosional karena terlalu banyak yang berjubel di otakku seakan turun ke perut minta dimuntahkan melalui kemarahan entah pada apa dan siapa.
"Kita perlu berkonsultasi lebih jauh pada ahlinya." sela Aron mencoba menurunkan hawa yang mulai memanas. tidak ingin berlama-lama dalam kecanggungan suasana karena emosi yang mulai tidak terkendali, akupun mencoba mengimbangi apa yang dilakukan Aron.
"Pak Ery! Ery Amanda! Ahli Fisika yang hampir sebagian hidupnya dia habiskan untuk membantu NASA memecahkan misteri alam semesta."
"Tidak cukup, mbak! Kita perlu lebih dari itu. ini bukan soal energi saja, bukan?!"
"Lalu?! kamu ada Ide?!"
"Wa Welia."
"Apa?!" Aku bingung dengan apa yang diucapkan Aron terakhir itu. Apakah itu nama orang atau kota? atau mungkin tentang hal lain. Ternyata saat aku mengklaim bahwa bacaan lebih banyak dari Aron tadi adalah salah. Aku mulai merasa malu sadar bahwa ada hal-hal yang tidak aku pahami dan itu tampak dalam rona wajahku yang kurasakan memerah dan sedikit panas. Namun kulihat Aron tidak mempedulikan perubahan wajahku, atau dia sengaja tidak membuatku malu dengan pura-pura tidak peduli. Satu pelajaran berharga untuk sikap sombongku.
"Wa Welia gadis cantik bermata biru abu-abu dari pedalaman kepulauan Buton. Setelah terbuang dari sukunya sendiri karena keliaran jalan pikiran mudanya yang sulit dikendalikan, dia tinggal di Bali. Namun, kebetulan sudah sebulan ini dia ada Yogyakarta untuk sebuah misi yang tidak dia ceritakan."
"Kenapa harus dia?!"
"Karena dia memiliki keistimewaan. Sudah bukan rahasia lagi, manusia bermata biru abu-abu memiliki kekuatan misteri."
"Jika setiap saat dia bisa balik ke Bali, bukankah lebih baik kita temui sekarang?!"
"Tidak bisa!"
"Kenapa?!"
"Dia hanya bisa ditemui di malam hari, karena di siang hari dia istirahat."
"Apakah dia vampir?" Aron tertawa terbahak demi mendapati pertanyaan serius dariku, terbahak karena isi pertanyaan seperti itu seharusnya hanya banyolan, bukan keseriusan.
"ha ha ha ha... Kamu kebanyakan nonto film fiksi atau kebanyakan nulis fiksi sehingga tidak tahu batas antara khayalan dan kenyataan?"
"lebay kamu Ron!" sanggahku kesal.
"Banyak pendapat ilmiah mengatakan bahwa mata biru merupakan kesalahan genetik, padahal pendapat ilmiah itu sendiri juga mengatakan bahwa kelainan genetik seperti itu memiliki kemampuan penglihatan dalam gelap seterang siang hari, namun matanya tidak berfungsi dengan baik di siang hari.'
"Sedikit ada benarnya saat kubilang dia vampir!"
"Wa Welia tidak minum darah dan tidak mati oleh sinar matahari.. ha ha ha ha!"
"Makanya aku bilang sedikit ada benarnya." kataku tidak mau kalah. Dan kemudian kami memutuskan untuk menemui Wa Welia malam nanti.