webnovel

Garis Depan

Saat dunia di terjang invasi zombie, mereka yang tertinggal harus bertahan di garis depan. Di dunia yang semakin mengila, siapakah yang terakhir tertawa?

Minasi_01 · ไซไฟ
Not enough ratings
7 Chs

Berapa lama aku tidur?

Dinginnya cuaca pagi membangunkan Rei dari tidurnya. Mengusap matanya, dia menguap "Hoaaaa.... Sudah berapa lama ya aku tidur?"

Melihat ruangannya yang berserak, Rei menggaruk kepalanya dan berjalan menuju komputernya.

Membuka siaran cctv di komputernya, kembali Rei tidak melihat makanan dari katering langgananya. "Haa... Sudah dua minggu mereka tidak mengirim makanan. Kelihatannya aku sudah di tipu perusahaan katering itu."

Sebagai seorang NEET professional, berinteraksi dengan orang-orang adalah hal terakhir yang akan dia lakukan. Oleh karena itu, dia membangun sebuah ruang bawah tanah di rumahnya untuk bersembunyi dari orang-orang.

"Persediaan mie instanku sudah habis, mau tidak mau aku harus keluar mencari makan. Aku juga bisa sekalian mencari tempat katering baru dan memasok mie instanku."

Dia memakai celana kodok dan jaket bertudung yang ada di ranjangnya, kemudian dia mengambil tas bahunya dan berjalan keluar ruangan untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan.

Sesaat setelah Rei mengunci pintu ruang bawah tanahnya, dan mendorong kembali rak buku yang menutupi pintunya. Dia melihat ruang belajar rumahnya berantakan seperti habis dijarah perampok.

"Apa... Apa yang terjadi? Jangan-jangan rumahku kerampokan! Aku harus mengecek keberadaan ayah dan ibu!"

Rei berlari sekuat tenaga menuju kamar tidur utama di rumahnya, dan dia tetap tidak melihat keberadaan kedua orang tuanya.

Tidak mau menyerah begitu saja, Rei merogoh ponsel di tasnya dan mencoba menelpon kedua orang tuanya.

"Aduh nggak ada sinyal lagi, bagaimana ya? Apa aku coba tanya tetangga, barang kali mereka tahu dimana orang tuaku berada?"

"Tapi... Akukan jarang bicara sama mereka? Nanti kalau mereka enggak kenal sama aku gimana? Udah aku enggak pernah ikut gotong royong di RT ini lagi, nanti kalau mereka nggak mau bantu gimana?"

"Enggak, enggak, enggak! Aku enggak bisa, mau taruh dimana muka ku nanti!"

"Ibu dan ayah pasti lagi di luar kota! Iya! Mereka pasti lagi di luar kota seperti biasa! Rei kamu harus tenang, rumah kamu Cuma kerampokan. Orang tua kamu pasti baik-baik saja!"

"Lebih baik kamu cari makan, istirahat, lalu coba telpon mereka lagi nanti. Iya.. Iya... Lebih baik aku makan dulu."

Rei menarik dan mengembuskan napas berkali-kali untuk menenangkan pikirannya. Bermodalkan keyakinan tanpa bukti bahwa orang tuanya baik-baik saja, dia melanjutkan perjalanannya untuk mencari makan.

Rei bersepeda menyusuri lorong komplek perumahan Arah Tunggal tempat tinggalnya. Entah mengapa jalan komplek yang dulu dia takuti, terasa lebih menyeramkan sekarang.

"Kenapa sepi sekali ya? Dari tadi aku tidak melihat satu orang pun, kemana semua orang?"

Memacu sepedanya lebih cepat, Rei akhirnya tiba di persimpangan jalan utama yang menghubungkan kabupaten Langkat dengan kabupaten dan kota lain.

Saat melihat kondisi jalan raya di depannya, Rei akhirnya sadar ada sesuatu yang salah pagi ini.

Mobil dan truk yang telah di tinggalkan memadati jalan raya di depannya, melihata dari kondisinya seperti sudah ditinggal selama dua minggu.

"Ada apa ini? Kemana semua orang ini mau pergi? Eh tunggu dulu, memang apa yang membuat mereka mau pergi!?"

"Aku harus mencari tahu lebih lanjut sebelum menarik kesimpulan."

Rei berjalan mendekat mengamati beberapa kendaraan di jalan raya. Mulai dari muatan mereka, keadaan fisik, dan seberapa jauh kira-kira kemacetan ini terjadi, tidak luput dari pengamatan Rei.

"Gawat, rata-rata kendaraan ini dipenuhi dengan pakaian dan kebutuhan sehari-hari. Tidak salah lagi, mereka bukan sedang bepergian tapi sedang mengungsi! Mengungsi dari apa? Apa karena erupsi Sinabung?"

"Enggak, enggak, enggak! Kalau erupsi Sinabung mustahil kemacetannya sampai sepanjang ini. Ini hampir satu propinsi yang ngungsi!"

"Lecet dan penyok di badan kendaraan juga menunjukkan kalau mereka sedang panik. Jarak jalan ini dan Sinabung sudah cukup jauh, mustahil mereka masih panik kalau penyebanya adalah Sinabung."

"Panik satu provinsi... Setahuku hanya perang yang bisa mengakibatkan kepanikan sebesar ini. Tapi aku tidak melihat tentara musuh ataupun TNI dari tadi."

"Jadi apa ya penyebabnya?"

Rei mengerutkan keningnya, berusaha memecahkan misteri penyebab kepergian orang-orang. Mata Rei terbuka lebar saat dia menyadari ada satu fakta yang dia lewatkan.

"Tu...tunggu dulu! Orang-orang ini keluar dari mobilnya, dan meninggalkan semua barang bawaan mereka. Artinya apapun yang menyebabkan mereka mengungsi sudah berada sangat dekat, dan tidak ada pilihan lain selain turun dan berlari."

Menoleh ke lorong tempat tinggalnya, bulu kuduk Rei tiba-tiba merinding saat mengetahui satu hal.

"Itu artinya..."

Tanpa pikir panjang Rei berlari menuju sepedanya, saat itu hanya ada satu kata di kepalanya.

Pulang!

Apapun yang menakuti orang-orang itu, ada kemungkinan masih berada di sini. Dan sebagai seorang NEET, tidak ada tempat yang Rei anggap lebih aman selain di rumah.

"Persetan dengan makanan, kalau orang-orang ini saja ketakutan apalagi aku!"

Memacu sepedanya secepat mungkin, Rei tidak pernah merasa lebih takut dari sekarang saat keluar dari rumahnya. Oleh karena itu, dia ingin segera pulang dan memikirkan baik-baik apa yang akan dia lakukan.

Sesampainya di rumah, Rei mengunci semua pintu dan jendela yang bisa dia kunci. Berbaring di ranjang ruang bawah tanahnya, Rei mencoba menarik dan mengembuskan napasnya secara perlahan untuk menenangkan dirinya.

"Oke, Oke, tengang Rei, tengang! Ingat Rei, kalau kamu panik cuma bawa masalah!"

"Pertama-tama, kamu harus menilai keadaan kamu dulu. Kamu harus tahu situasi apa yang kamu hadapi!"

"Iya.. Iya aku nggak boleh panik... Aku harus tengan kalau menghadapi masalah."

Rei bangkit dari ranjangnya dan mengambil sebuah kapur di laci dari meja dekat kasurnya. Membersihkan papan tulis yang ada di ruangan bawah tanahnya, Rei berisap menjabarkan situasinya.

"Oke, jadi ada kemungkinan sesuatu yang membuat satu provinsi atau mungkin satu negara panik sedang berkeliaran di luar sana. Dan aku bahkan enggak tahu apa itu."

"Belum lagi fakta kalau aku enggak punya senjata apapun untuk bertahan diri, bahkan pisau dapur saja aku tidak punya. Para perampok yang menjarah rumahku tidak meninggalkan apapun yang bisa aku pakai."

"Oh iya aku lupa, aku juga tidak memiliki pasokan untuk makanan. Sebutir beras pun, tidak ada bersamaku."

Menulis kata 'Monster', 'Senjata', dan 'Makanan' di papan tulisnya, Rei menulis tanda silang di samping masing-masing kata itu.

"Tenang Rei, walau situasinya kelihatan buruk aku yakin kamu akan baik-baik saja. Sekarang aku mau kamu duduk, dan coba untuk pecahkan masalahmu satu persatu."

Rei duduk di pinggir ranjangnya, berusaha memikirkan solusi dari masalahnya. Hal pertama yang harus dia lakukan adalah mencari tahu bahaya yang ada di luar sana.

Berdasarkan pengalamannya bermain gim selama ini sebagi NEET, Rei tahu pasti bertarung tanpa mengetahui apapun tentang musuh adalah kebodohan.

"Tapi bagaimana caraku mencari tahu tanpa harus bertaruh nyawa di luar sana?"

"Dengan kemampuan bertarung ku yang sama dengan nol, mungkin aku langsung tamat jika bertemu bahaya di luar."

"Andai saja aku langsung keluar dan mengecek keadaan waktu katering itu berhenti mengirim makanan. Bukannya bermalas-malasan di sini!"

"Sekarang aku bisa apa coba?"

Menghela napasnya, Rei merasa menyesal dengan kebiasaannya yang suka menunda-nunda sesuatu. Jika dia langsung keluar hari itu dan bukannya mengecek dari cctv di komputernya mungkin dia sudah lama pergi dari sini.

" Eh... Tunggu dulu! Bukannya aku punya cctv? Bodohnya kok enggak kepikiran ya?"

Secepat kilat Rei berlari untuk menghidupkan komputernya, membuka folder berisikan rekaman cctv beberapa hari yang lalu.

"Kejadiannya pasti bermula dua minggu yang lalu, kalau aku melihat rekaman cctv hari itu pasti aku akan dapat petunjuknya."

Membuka rekaman dua minggu yang lalu, Rei mulai mengamati apapun yang terlihat dari rekaman cctv gerbang rumahnya.

Setelah melewakan beberapa bagian yang tidak terlihat mencurigakan, Rei akhirnya sampai direkaman pukul 07:00 pagi.

Awalnya semua tampak baik-baik saja, anak-anak pergi sekolah, para orang dewasa memanaskan kendaraan mereka sebelum pergi bekerja, dan para lansia yang berolah raga di tepi jalan.

Tapi di pukul 07:28, Rei melihat sesosok pria berusia sekitar 28 tahun berjalan sempoyongan layaknya orang mabuk. Banyak bercak darah dan robekan di pakaiannya, badannya yang pucat dan penuh luka juga membuat pria itu tampak lebih mengerikan.

Tampak warga sekitar juga mulai risau melihat pria itu, sampai salah seorang pemuda memutuskan untuk jalan mendekati pria itu, mungkin untuk menghusirnya.

Tapi belum sempat pemuda itu berjalan lebih dekat, pria yang dia coba usir berlari mengejarnya. Malang bagi pemuda itu dia tidak bisa berlari lebih cepat dari pria yang mengejarnya.

Pria gila itu menerkam dan menggigit pemuda tadi di lehernya, suara teriakan pemuda yang meminta pertolongan membuat keringat dingin jatuh dari wajah Rei.

Pemuda itu meronta-ronta, berusaha lepas dari cengkraman pria gila yang menggigitnya. Tapi sampai akhir hayatnya, pemuda itu tidak mampu melepaskan diri.

Tidak berhenti sampai di sana, pria gila itu mulai memakan pemuda yang telah dia habisi. Layaknya seekor singa kelaparan, pria gila itu mengabaikan teriakan warga lain di sekitarnya.

Satu hal yang paling mengejutkan Rei, tidak lama setelah orang gila itu selesai makan. Pemuda yang seharusnya sudah mati, mulai berdiri dan berjalan sempoyangan seperti dia tidak mati sebelumnya.

Melihat pemandangan di depannya hanya satu kata yang terpikir oleh Rei.

"Zombie!!"