webnovel

Game Over-System

Tivo_Alexia · อะนิเมะ&มังงะ
เรตติ้งไม่พอ
1 Chs

Bug System

Chapter 1

Hidup ini membosankan. Semua orang hanya berfokus pada seberapa mampu kamu untuk menang. Mereka berjuang begitu tinggi demi mencapainya. Aku sama sekali tidak tertarik dengan semua itu. Memangnya setelah menjadi yang terkuat dan menang, apa lagi yang akan kau dapatkan?

Jika kau bertanya padaku tentang di mana aku tinggal, maka percayalah. Tempat tinggalku teramat kejam. Semua orang selalu merendahkan orang yang lemah. Selalu berlomba untuk menjadi pemenang teratas. Sekali lagi, aku muak jika harus bergabung dengan mereka yang kuat ataupun yang lemah. Jadi, di posisi ini lebih baik. Menjadi seseorang yang netral dan menjauh dari mereka semua.

"Oi, apa yang kau lihat?"

"Tidak ada. Aku hanya ingin lewat."

"Tidak semudah itu, Kawan. Bertarunglah denganku jika ingin melewati jalan ini."

Aku menatap lekat wajah pemuda yang lebih tinggi. Mengukur kemampuannya hanya membuang waktu. Akan tetapi, aku harus bisa lewat jalan ini karena jalan ini adalah akses satu-satunya menuju rumahku. Ketika bibir hendak terbuka, pemuda kurus yang duduk di tanah menggeleng padaku.

"Jangan! Kau ... kau akan kalah! Ability-nya sangat bagus! Dia ... penguasa terkuat di jalan ini!"

Si penguasa jalan menunduk ke tempat pemuda kurus berada. Mata menyipit seolah mengancamnya untuk diam. Suasana berubah menjadi sunyi. Ketika si penguasa jalan menghadapku untuk berbicara, ada yang datang menyela kami.

"Hey, Sob! Ada apa di sini? Dan ... oh! Apakah kau yang namanya Tivo Alexia?!" Pemuda mohawk menjerit ria mengherankan mereka berempat, kecuali diriku. Ah, sudah pasti orang baru ini tahu akan julukan itu.

"Ya, itu aku. Sekarang, aku ingin lewat jalan ini. Rumahku tak jauh dari sini. Tapi sialnya si penguasa jalan tidak mengizinkanku pergi," ucapku lelah.

Pemuda mohawk langsung menarik lengan si penguasa jalan. Dua pengikutnya ikut mendekati mereka berdua. Lingkaran kecil terbentuk, lalu terdengar suara gumaman khas orang berbisik. Entah apa yang mereka bicarakan. Sejurus kemudian, si penguasa jalan berganti wajah. Kesangaran penuh intimidasi berubah menjadi kelembutan dan keramahan yang terlalu hangat.

"Silakan lewat, Kawan! Hati-hati di jalan!" ucapnya sembari tersenyum.

Aku mengernyit bingung. "Ya, terima kasih."

Tivo Alexia, itulah namaku. Aku hanya anak yang suka menyendiri. Bukan karena lemah, melainkan menghindari dua kaum di dunia ini. Seperti kataku di awal. Aku netral, tidak berada di posisi kedua kaum. Namun, ada satu sebenarnya yang belum kuberitahu.

"Oh, selamat datang, Tivo! Sepupumu datang mencarimu. Katanya, ada hal penting yang harus dibicarakan. Temuilah! Dia sekarang ada di kamarmu," jelas seorang wanita berambut pirang panjang yang memiliki iris ruby sepertiku. Ya, dialah ibuku.

"Baik, Bu." Aku menaiki tangga ke lantai dua menuju kamar. Pas pintu dibuka, sosok pemuda berkacamata yang sedang duduk bersila melihatku. Komik di pegangan ditaruh di atas ranjang. Dia menghampiriku dengan senyuman.

"Tivo, raut wajahmu masih sama seperti waktu sekolah dasar. Terlihat bosan," ujarnya.

"Ya. Aku memang sudah lama bosan tinggal di dunia rasa neraka ini. Beruntungnya, komik superhero bisa mengatasi sedikit kebosananku," balasku.

Dia tertawa terbahak. "Maafkan aku, Tivo. Tapi kurasa, kau ada benarnya. Aku juga bosan dengan dunia ini. Maka dari itu, aku kemari untuk menawarkan kehidupan penuh tantangan."

"Hah?"

"Ayahku baru saja selesai membuat video game terbaru yang bisa membuat manusia masuk ke dalamnya!" serunya bersemangat.

"Lalu, kau ingin aku memainkannya, begitu? Sebagai beta-tester?" tanyaku dan segera dibalas anggukan kuat.

Aku meletakkan kantung kertas cokelat berisi komik superhero terbaru di atas meja belajar. Jawabannya sudah pasti. "Tidak. Aku tidak suka video game."

"Aku tahu itu, Tivo! Tapi, tolong coba kali ini! Aku juga mendaftarkan diri sebagai beta-tester, kok! Ayahku bilang, game ini tidak harus mengalahkan musuh! Kau bisa keluar dari game kalau sudah tidak mau bermain!���

Keras kepala. Aku selalu tahu watak sepupuku. Namanya Kouta. Dia adalah anak dari pemilik perusahaan video game tersohor, O-Rion. Dia penggila video game yang selalu datang tiap minggu ke rumahku. Membujuk dan terkadang memaksaku bermain video game ciptaan ayahnya. Sekalipun aku bermain, tetap saja dia yang akan gigih sampai akhirnya menang. Semua itu tidak menjadi masalah.

Namun, kali ini berbeda. Entah mengapa video game terbaru itu membuatku penasaran. Bukan ingin menang—tentu saja—. Hanya ingin tahu bagaimana nasib sepupuku ketika bermain di video game secara nyata. Akankah dia juga menang?

"Oke. Aku akan ikut mendaftar," putusku.

"Oh! Akhirnya! Terima kasih, Tivo! Aku ingin kita menjadi satu tim dan mengalahkan bos terakhir dalam game!" teriak Kouta penuh semangat.

"Jika itu terjadi, aku akan keluar dari game, Kouta."

***

"Tivo! Tivo! Buka pintunya! Ini sudah pukul setengah delapan pagi! Kau lupa, kita akan pergi ke dunia game?!"

Seketika, mimpi indahku buyar karena ketukan pintu yang kejam. Ah ... aku jelas melupakan hari ini. Dengan malas, kaki ini melangkah ke kamar mandi. Hanya untuk mencuci muka, gosok gigi, dan berganti pakaian. Aku segera keluar menghampirinya.

"Maaf, aku lupa tentang hari ini, Kouta," ucapku sambil menguap.

"Kau ini! Apa, sih, yang kau lakukan tadi malam sampai bangun kesiangan?!" berang Kouta marah.

"Streaming ASMR vtuber 4 jam," jawabku, berjalan melintasinya menuruni tangga.

"Dasar wibu!" umpat Kouta.

Setelah sarapan dan tentunya menjelaskan kepada kedua orang tuaku tentang game itu, kami pun bergegas ke gedung O-Rion. Sesampainya di sana, kami dipersilakan memasuki ruangan berbentuk kubus berwarna orange. Di tempat itu, ada enam orang asing. Dari penjelasan Kouta, aku akhirnya tahu kalau mereka berenam adalah player beta-tester juga.

Penjelasan dari hologram pemandu berbentuk manusia kucing terdengar jelas. Dia mengatakan kalau dalam game ini, 8-Beta Tester akan diberikan delapan senjata dengan jenis dan tingkat kekuatan berbeda. Kekuatan terus ditingkatkan seiring berjalannya waktu. Kami akan dibagi menjadi empat kelompok berisi dua orang. Tujuan kami hanya satu, yakni membunuh bos terakhir di video game. Dalam game itu nantinya ada musuh yang harus diwaspadai. Crown. Naga merah berkepala tiga itu musuh teratas kedua setelah bos besar. Jika bertemu dengan dia, maka seluruh kelompok harus bergabung untuk membunuhnya. Ucapan terakhir dari si hologram manusia kucing menjadi hal yang paling kutunggu. Dia mengatakan ada empat kali dalam satu bulan bantuan bagi kami untuk keluar dari game.

"Apakah sudah jelas?" Kami mengangguk kepada si pemandu. Dia kemudian menekan layar yang ada di depannya. Sebuah monitor hologram cukup besar hadir memunculkan beberapa nama serta kelompok.

"Empat kelompok akan kami beri nama Light Sun, Red Blood, Navy Tech, dan Black Crow."

"Light Sun adalah Melia Fransiska dan Ovit Alicia. Red Blood: Agata Ryego dan Tivo Alexia, Navy Tech: Ram Faresta dan Kouta, dan terakhir Black Crow: Rigel dan Quella Starva. Dimohon bergabung dengan orang yang tadi kusebutkan!"

Dengan malas, kulangkahkan kaki menuju pasanganku. Tepat di samping kiri, Kouta menunduk lesu. Aku kira, dia pasti kecewa dan keberatan dengan susunan kelompok ini. Dia terlalu ingin satu kelompok denganku.

"Ketika kalian sampai di dunia game, kalian akan dihampiri seekor elang putih raksasa yang membawa barang di punggungnya. Barang-barang itu berisi bahan makanan untuk tujuh hari, obat-obatan untuk empat belas hari, dua kantung tidur, dan sebuah peta."

Pemuda yang sekelompok denganku mengacungkan tangan bertanya. "Tuan Kucing, katamu kami akan diberikan senjata. Lalu, mengapa tidak ada senjata di antara barang yang dibawa elang itu?"

"Tentu saja senjata untuk kalian bertarung sudah kami sediakan. Senjata akan muncul ketika kalian diserang monster atau merasakan sebuah ancaman berbahaya. Tata cara penggunaan akan masuk ke otak kalian jika ingin menggunakan senjata tersebut. Tidak perlu khawatir," terangnya.

Speaker yang ada di sudut ruangan berbunyi. Suara yang akrab di telingaku terdengar. Itu ayah Kouta, Oliver Rion.

[ Bersiaplah, Eight-Beta Tester! Petualangan akan segera dimulai! Dan untuk putraku tercinta, Kouta, buktikan pada yang lainnya kalau kaulah yang terhebat! Kaulah pemenangnya! Sekian dan selamat jalan! ]

Aku jengah mendengar pidatonya. Kouta juga sama persis, dia terlihat menggerutu dengan wajah kesal. Dari dulu aku tahu, Kouta hanya kagum pada game ciptaan ayahnya, tidak pada sosok sang ayah.

***

Hari pertama, aku dan Ryego tiba di pinggir pantai. Pantai di sini mempunyai warna yang unik, kuning kemerahan. Pohon kelapa di sini juga berbeda dari pohon kelapa di dunia nyata. Pendek, tetapi buahnya bisa mencapai setengah dari batang pohon tersebut.

Jauh masuk ke dalam pepohonan, kami mulai mencari tempat yang cocok untuk berkemah. Setelah menemukan tempat itu, elang putih raksasa datang dari atas langit. Kicauannya menggelegar seakan mengirim sinyal pada kelompok lain. Demi apa pun! Elang ini sangat keren! Sama seperti di komik superhero. Di mana sang pahlawan punya peliharaan seekor elang raksasa yang bisa membuat angin tornado. Apakah elang ini juga bisa melakukannya? Aku jadi penasaran.

"Terima kasih, Elang Putih!" ucap Ryego. Aku sedari tadi hanya menatap intens tanpa mengucapkan sepatah kata kepada makhluk itu. Sampai akhirnya, elang putih raksasa mendekat dan menggosokkan kepalanya ke wajahku.

"Hei, hentikan tolong!"

"Hahaha! Sepertinya elang itu menyukaimu, Tivo."

Usai memeriksa barang perbekalan, kami memutuskan pergi mencari kayu bakar. Kemudian, membuat api unggun dan beberapa jebakan agar hewan buas tidak masuk ke wilayah berkemah kami. Malam pertama di dunia game sangat aman. Musuh belum terlihat sejauh ini.

Sinar matahari yang mengintip dari pepohonan memaksaku untuk bangun. Kutengok sekitar demi mencari jam weker. Ah! Aku lupa kalau sekarang ini sedang ada di dalam dunia game. Sekarang, waktu tidak bisa ditentukan dengan pasti. Hanya bisa menebak dengan cara mengamati gerak matahari.

"Hoamm~ sudah pagi rupanya. Selamat pagi, Tivo!" ucap Ryego sambil menguap.

"Pagi! Sekarang, kita mau ke mana?"

"Sebentar ...." Ryego membentangkan peta. Aku ikut memperhatikan. Ternyata, posisi kami ada di ujung pulau yang bernama Flionder. Untuk mencapai ke markas bos terakhir, kami hanya perlu pergi ke arah selatan. Tentu tidak segampang itu karena jarak dari sini ke sana sangat jauh. Bisa tiga minggu baru sampai ke sana.

"Kita harus pergi ke Selatan, Tivo. Melewati Mine Forest, Trickster Savanna, Poison Bridge, dan Mountain of Bones barulah kita sampai di markas bos besar."

"Kenapa harus sebanyak itu tempat yang akan kita lewati ...? Huh ... coba saja ada kendaraan ... misalnya ... sapu terbang seperti di film Harry Potter."

"Ini sudah di program, Tivo. Terimalah apa yang ada pada sistem."

Kami melanjutkan perjalanan setelah sarapan ke kawasan Mine Forest. Sekitar tiga meter sebelum menginjak kawasan hutan, kami mendengar suara tembakan dan sabetan. Kami berlari tanpa pikir panjang dan mengerem mendadak saat hampir diserang berbagai macam mine. Ada misil, panah, dan di tempat kami berpijak, ratusan ranjau muncul siap meledak jika terinjak.

"Sial! Baru pertama main sudah sesulit ini!" umpatku, bersembunyi di balik pohon pinus.

"Keren! Luar biasa! Game ini lebih mantap dari game yang sebelumnya kumainkan! Nah, Tivo, apakah kau merasakan sesuatu pada tubuh kita?" Aku yang tadi melongo, kini menetralkan ekspresi menjawab Ryego. "Hmm ... entahlah. Tubuhku tiba-tiba gerah dan aku ingin muntah. Apa jangan-jangan makanan dari elang itu beracun?"

"Itu tidak mungkin!"

Slassh!

Sinar terang perak dan merah keemasan terpancar dari perutku dan Ryego. Sinar mulai redup bersamaan dengan munculnya dua senjata. Kulihat, Ryego mendapatkan senjata tongkat dengan kepala palu yang salah satu ujungnya runcing seperti pasak. Sedangkan diriku mendapatkan dua belati tajam Sekejap, aku terkesiap ketika semua informasi senjata tertanam otomatis di otak. Mataku melihat hologram transparan yang mengambang di depan wajah. Berbagai menu tergelar di sana.

"Tivo! Senjataku keren sekali! Namanya Hammer! Kekuatannya sangat menakjubkan menurut informasinya! Bagaimana denganmu?" tanya Ryego dari seberang pohon pinus tempatku bersembunyi.

Aku keluar sambil menggaruk tengkuk, lalu memperlihatkan senjata itu. "Dagger? Aku hanya mendapatkan informasi cara penggunaannya. Di menuku, tidak ada rincian besarnya kekuatan atau pilihan modifikasi?"

"Eh? Itu aneh sekali. Ah, tidak perlu khawatir! Aku akan membantumu menyerang mine itu. Akan kuurus ranjau di tanah dengan Hammer, sedang kau jadi seorang attacker. Oke?"

"Ya, baiklah."

Tidak kusangka Ryego benar-benar seorang pro. Padahal, kami sama-sama baru memakai senjata ini untuk pertama kali. Perbedaan pengalaman membuat hatiku iri. Aku mengembuskan napas, mencoba mengusahakan yang terbaik untuk Red Blood. Aku memang tidak peduli soal menang atau kalah, tetapi aku tidak ingin merepotkan orang lain. Aku harus menjadi kuat demi membantu Ryego.

"Awas! Tivo!"

Teriakan Ryego mengalihkan atensiku. Di samping kanan, ada dua misil melesat cepat ke arahku. Belati yang ada di tanganku tiba-tiba terlepas. Hidupku akan berakhir sebentar lagi. Mata ini tertutup rapat dalam kepasrahan. Sampai akhirnya, sebuah ledakan kuat tercipta.

"Itu yang ke-1.507!"

Aku segera membuka mata. Suara seorang gadis terdengar, tetapi tidak menampakkan wujudnya. Semua misil yang melesat mengepungku hancur oleh bola seukuran kasti bercahaya kuning. Sangat membingungkan dan menakjubkan sehingga fokusku berkurang. Sehabis misil hancur, ratusan panah melesat ke arahku.

Belati yang terjatuh tadi, aku mengambilnya dengan gemetar. Jujur saja, seumur hidup baru kali ini aku memegang belati. Api merah berkobar meluas di ujung tajam anak panah. Dan terjadi lagi, aku gagal untuk kelima kali dalam menyerang.

"Sial! Sial! Sial!" umpatku seraya melihat musuh yang kembali menyerang dari segala sisi.

Ryego tiba-tiba berteriak kembali. "Jangan, Tivo! Kamu sudah berkali-kali gagal! Anak panahmu itu terbatas! Pasak di ujung Hammer-ku saja hanya bisa diisi sekitar sepuluh buah."

"Aku tidak peduli lagi. Toh, jika gagal lagi. aku tidak akan mati karena Power Stone Up ku masih penuh."

Tak bosan aku coba berkali-kali untuk menghancurkan kumpulan panah itu. Apakah ini yang dinamakan rasa tidak mau kalah? Aku tidak pernah berpikir kalau pada akhirnya, jiwaku menginginkan sebuah kemenangan, bukan sekadar membantu teman. Namun akhirnya, tetap saja seranganku ampas.

String! Stakk! Stakk!

Ada pusaran angin yang datang menerjang ratusan anak panah. Aku terkejut, semua anak panah itu patah menjadi dua dan tergeletak di tanah. Dari dalam pusaran, terlihat seorang gadis pendek berambut seleher. Dia memegang senjata unik seperti tongkat kecil, tetapi bergelombang.

"Aku menang, Melia! Itu panah yang ke-1.600!" serunya lantang.

"Sial! Aku yang akan menang lain kali!" Gadis lain berambut hitam sebahu jatuh ke tanah dari atas pohon. Tidak kusangka ternyata suara tadi adalah miliknya. Melia Fransiska dari Light Sun. Berarti, gadis yang satunya adalah rekannya, Ovit Alicia. Senjata mereka luar biasa, semakin membuatku tidak percaya diri.

"Wow! Aku tidak percaya seorang gadis bisa mengangkat basoka sebesar pilar!" Ryego mengomentari antusias. Oh, rekanku ini sepertinya sangat mengagumi semua senjata di dunia game.

Melia mengibaskan rambut sambil tersenyum angkuh. "Mengapa tidak? Kau tidak tahu siapa Melia sebenarnya."

"Ya, dia seorang pecundang," celetuk Ovit, mengeluarkan permen lolipop dari saku celananya. Dia mengemut, lalu menyeringai padaku. Untuk apa itu? Apakah untuk mengejek kemampuanku? Cih!

"Dasar loli! Aku ini benar-benar kuat! Aku bisa mengangkat basoka sebesar itu karena aku adalah pelatih angkat beban! Dengar itu!" teriak Melia.

"Begitu. Lalu, apa kau juga sedang menuju ke markas bos terakhir?" tanyaku.

"Tentu saja. Dan lagi, dari atas pohon, aku sudah melihat kemampuan bertarungmu dan senjatamu. Aku sungguh merasa kasihan karena Agata Ryego mendapatkan rekan tidak berguna sepertimu. Boy, you are a LOSER," jawab Melia.

Untuk sesaat, hatiku terasa seperti dicubit. Sangat sakit hingga tidak sadar aku menggeram pada Melia. Seumur hidup, belum pernah sekalipun diriku direndahkan seperti ini.

"I don't a Loser! Kau lihat, bukan? Tadi aku sudah berusaha menghancurkan anak panah itu! Aku hanya belum bisa menggunakan senjataku!" geramku.

"Yakin? Saranku, daripada menyusahkan orang lain, lebih baik minggu ini kau keluar dari game saja. Ini bukanlah tempat seorang pemula penyuka komik sepertimu," sahut Ovit.

Mengapa dia bisa tahu kalau aku penyuka komik? batinku.

"Wajahmu itu mudah ditebak, Tivo. Aku tahu karena aku pernah melihatmu membeli sepuluh tumpuk komik di toko buku. Saat itu, aku sedang mengantar adikku membeli sebuah buku. Kami mengantri di belakangmu, ingat?"

Aku baru mengingat kejadian itu. Rasa kesal dalam dada semakin menyakitkan. "Yeah."

"Teman-teman, sudahlah! Bagaimana kalau kita bergabung saja menuju ke tempat berikutnya?" usul Ryego. Oh, aku tidak yakin gadis seperti mereka mau bergabung dengan kita. Tidak, mereka pasti akan menerima Ryego dan tentu saja membuangku.

Senyuman lebar melekat di kedua bibir gadis itu. Mereka serentak menjawab, "Tentu saja, Ryego! Asalkan kau membuang rekan tidak bergunamu."

Ryego menatapku sejenak, lalu kembali menatap mereka. Aku sudah pasrah. Memang benar apa kata mereka. Orang sepertiku hanya merepotkan. Semua keputusan kuserahkan pada Ryego. Sepertinya, aku harus menyerah dan keluar dari dunia game ini.

"Tidak. Aku tidak ingin meninggalkan Tivo. Jika kalian menolak Tivo, itu artinya kalian menolakku juga. Tim adalah satu kesatuan. Jika satu orang berbuat salah, maka rekannya juga salah. Aku bersalah dalam kerjasama ini. Aku seharusnya yang bertugas melindungi, bukan Tivo."

Senyum itu malah membuatku sungkan menjawab. Aku tidak menyangka Ryego masih mempertahankanku sebagai rekan satu timnya. Aku merasa tidak pantas disandingkan bersama pemuda sebaik dan sekuat dia.

"Ya. Kupikir memang begitu. Terima kasih mau menjadi rekanku, Ryego," ucapku tersenyum tulus.

"Tidak masalah, Tivo. Ayo, kita lanjutkan perjalanan!" ajak Ryego. Aku mengangguk antusias. Semangat yang hancur kembali dibangun ulang. Jika selama ini aku hanya menginginkan posisi netral, maka sekarang, aku sangat menginginkan kemenangan bersama rekanku, Ryego.

***

Perlu sekitar sembilan hari untuk mencapai tempat kedua, Trickster Savanna. Kesempatan keluar dari game di hari keenam sudah diumumkan lewat pesan suara, tetapi aku tidak mengambilnya. Aku masih ingin berjuang untuk memenangkan game ini bersama Ryego. Omong-omong soal kemenangan, Ryego ini setali tiga uang dengan sepupuku Kouta. Sama-sama berambisi untuk menang.

"Tivo, kenapa kau tersenyum padaku? Apa ada yang salah dengan wajahku?"

"Ah! Tidak, Ryego. Aku hanya ... merindukan sepupuku."

"Kouta maksudmu?"

"Ya. Kira-kira, dia sedang ada di kawasan apa, ya?"

Ryego ikut terdiam sambil menopang dagu dengan jari. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Kini, sejauh mata memandang hanya ada hamparan padang rumput nan hijau. Aku memejamkan mata, merentangkan kedua tangan demi menghirup wangi angin. Bau Savanna di dunia ini sangat harum, persis seperti angin di musim sakura. Wanginya sangat memikat, mengingatkanku pada rumah nenek.

Kubuka kedua mata, lalu syok melanda. Aku menatap ke sekitar dan tidak menemukan Ryego. Padang rumput itu juga menghilang digantikan tanah lempung. Ketika pandangan kualihkan lurus ke depan, di sana berdiri tegak rumah nenek.

"Ini ... tidak mungkin!"

Berkali-kali kugosok mata, tetap saja hanya itu yang terlihat. Kaki ini melangkah ragu memasuki rumah bergaya jepang. Kumasuki setiap ruangan, tetapi tidak menemukan satu orang pun. Nenek, kakek, dan anjing mereka—Mahiro—bahkan tidak nampak.

Sadar ada yang tidak beres, kuputuskan untuk pergi dari tempat itu. Jalan setapak penuh pepohonan rindang kulalui. Namun, aku malah kembali ke rumah nenek lagi.

"Ini bohong! Aku ... tidak bisa keluar dari tempat ini?!"

Aku lelah terus mondar-mandir ke segala penjuru untuk keluar dari tempat ini. Sudah aku coba memanggil Dagger, tetapi ia tidak merespon. Dengan kata lain, saat ini aku tidak dalam posisi bahaya. Sial memang!

Sebuah lingkaran hijau tercipta di kambium pohon mangga di seberang. Aku terus mengamati, ingin tahu apa yang selanjutnya muncul. Kepala belakangku terantuk kusen pintu karena melihat ada kepala orang muncul dari dalam lingkaran. Kepala itu mendongak dan kami sama-sama berteriak kaget.

"Eh? Kouta?"

"Tivo! Kau sudah keluar dari dunia game, ya? Eh ...! Tapi ... seharusnya kekuatanku tidak bisa mencapai dunia real!"

Aku berdecih, menyambanginya sembari menjitak kepalanya. "Ini masih di dunia game, bodoh! Aku terjebak di ilusi rumah nenek dan tidak bisa keluar. Kau sendiri sedang apa?"

"Ughh ... aku dan Ram sedang menggali lubang untuk melewati Trickster Savanna," gerutu Kouta.

"Menggali lubang? Tunggu ... apa maksudmu!"

"Kita--" Suara lain datang dari belakang Kouta. "Bro! Kenapa kau lama sekali di sana!"

"Ram! Aku salah menggali lagi! Tapi aku menemukan sepupuku Tivo! Dia terjebak di ilusi Trickster Savanna!" balas Kouta.

"Ajak dia kemari, Bro!" serunya.

Kouta menarik kepala, lalu lingkaran hijau bertambah lebar. Di dalam sana, dapat kulihat Kouta yang melambai menyuruh masuk. Di belakangnya, ada Ram yang berdiri tegak sambil memegang trisula. Aku masuk dan setelah itu, Kouta menutup lubang itu.

"Halo, Tivo! Salam kenal!" sapa pemuda itu tersenyum sambil menepuk keras punggungku. Aku pernah bertemu sosok yang perilakunya mirip seperti dia. Seorang pemuda yang terlalu ramah dan menjunjung tinggi persahabatan.

"Halo juga, Ram! Btw, dari tadi ada yang mengganjal di hatiku. Kalian ... kenapa harus membuat galian di bawah tanah untuk melewati Trickster Savanna? Itu sangat merepotkan," tanyaku penuh selidik.

"Merepotkan, tapi itu adalah jalan teraman, Bro," jawabnya.

Kouta mengambil alih menjelaskan padaku. "Tivo, aku hanya ingin mengatakan sesuatu yang ... sebenarnya adalah rahasia antara aku, ayah, dan rekan setimku. Aku adalah seorang Support. Aku tidak bisa bertarung di dunia game ini, tapi bisa membantu rekanku yang dalam kesulitan. Seperti membuat lubang galian, mengeluarkan kompas sihir, dan lainnya. Aku juga tahu informasi setiap lokasi yang akan kita lewati. Kekuatan, ancaman tersembunyi, dan kelemahan tempat itu. Aku juga tahu di mana dan kapan persisnya bos besar dan Crown datang menyerang."

Aku yakin wajahku terlihat bodoh sekarang. Kalau Kouta sudah tahu semua itu, mengapa ... mengapa dia merahasiakannya padaku? Mengapa tidak dia jelaskan sedari awal sebelum aku menyetujui menjadi beta-tester?

"Aku ... tidak percaya kau membohongiku, Kouta," ucapku lemah.

"Bu-bukan begitu, Tivo! Aku hanya ... harus menjaga rahasia dan tidak menyebarkan ke sembarang orang. Ayah bilang, dia masih kurang yakin mempercayaimu. Makanya, dia memasangkanku dengan Ram," jelasnya menunduk dengan wajah kusut.

"Kalau begitu, bisakah kau mengembalikanku ke tempat Ryego berada?" Aku meminta, memandang sinis Kouta.

Kouta menelengkan kepala. "Ryego? Maksudmu ... kau terpisah dari rekanmu?! Ini gawat! Kenapa tidak bilang dari tadi!"

"Kenapa?" Aku semakin bingung saat mereka berdua malah memelototiku.

Ram akhirnya menjawab, "Trickster Savanna berisi monster ilusi yang mengincar orang yang sendirian. Dia akan memberikan ilusi lebih buruk. Monster itu akan menyamar menjadi dirimu."

"Arrgh! Sial! Kita harus segera menolongnya! Cepat, Kouta!" suruhku panik.

"Sabar sebentar, Tivo! Aku sedang berusaha mencari lewat pendeteksi senjata!" omel Kouta. Sibuk mengotak-atik keyboard hologram. Mengetik simbol unik gabungan angka dan huruf abjad yang membuatku pusing tak bisa membacanya.

"Ketemu!" Kouta menjerit tiba-tiba, lalu dengan cepat dia menggali tanah di depan Ram.

Lingkaran besar terbuka. Dari depan sana, Ryego sedang duduk di kursi menghadap Tivo palsu. Kouta menyuruhku untuk menutup hidung dengan saputangan hijau yang dia ciptakan. Dia menyuruhku menjemput Ryego ketika si monster ilusi lengah.

Aku merangkak keluar dari lingkaran. Pelan-pelan, kulangkahkan kaki menuju Ryego yang tampak sibuk menyeruput sesuatu dalam cangkir kayu. Dari belakang, kubungkam mulut dan hidungnya dengan satu tangan. Menyeretnya pergi ke lingkaran hijau. Sayang, si monster ilusi melihatku. Tubuh manusia terbelah jadi dua, berganti dengan sosok marimo raksasa berwarna hitam. Ryego tiba-tiba melepaskan tanganku dari mulutnya dan menjerit ketakutan.

"Diam, bodoh! Ayo kita pergi dari sini!"

Dia menoleh ke arahku. "Eh? Tivo? Aku ... tidak percaya telah dibodohi monster menyeramkan itu."

Kouta berteriak dari dalam lingkaran. "Cepatlah!"

Aku mengangguk. Kami berlari sekuat tenaga demi mencapai lingkaran hijau. Serentak, kami melompat masuk ke dalam lingkaran. Secepat kilat, Kouta menggerakkan kedua tangannya. Lingkaran hijau itu pun tertutup rapat.

Setelah melewati penjelasan yang panjang untuk Ryego, kami berempat melanjutkan menggali tanah untuk keluar dari wilayah Trickster Savanna. Cukup lama menggali, Kouta pun bersorak ketika kompas sihirnya menemukan wilayah berikutnya, Poison Bridge. Kami berempat berhasil keluar dari Trickster Savanna tanpa menghadapi monster ilusi.

"Heeh~ kupikir kalian habis dimakan monster ilusi."

"Sial! Beruntung sekali Red Blood bertemu dengan Navy Tech!"

"Black Crow dan Light Sun! Ah, Rigel, kenapa kau ada di sini?"

Aku menunggu pertanyaan Kouta dijawab pemuda ber-hoodie hitam. Dia hanya menyeringai sombong. Rekannya sendiri diam saja, malah terlihat seperti takut pada sesuatu

Tim Light Sun penampilannya agak kacau. Banyak luka lecet di sekujur tubuh mereka. Mungkinkah mereka bertemu dengan si monster ilusi?

Seekor burung gereja terlihat bertengger di atas dahan. Burung itu mengeluarkan suara si pemandu.

[ Kepada para 8-Beta Tester, kami menginfokan kalau sistem game mengalami bug karena suatu virus yang tidak terdeteksi. Untuk sementara, kalian tidak bisa melanjutkan permainan dan juga tidak bisa keluar dari game ini. ]

Flip!

Cuaca cerah berganti gelap. Membuat kami berteriak panik. Informasi senjata dalam otak tiba-tiba hilang. Tanah yang kami pijak bergoyang dan terkoyak menjadi empat. Kemudian, bola kristal bercahaya hijau muncul dari perut Kouta. Bola kristal itu bersuara.

[ Kouta, bawa bola ini dan pergi ke Timur. Hanya kau yang bisa ayah keluarkan dari game ini! ]

Aku tersentak memandangi Kouta yang ada di seberang kanan. Semua orang juga terperangah menatapnya. Light Sun dan Black Crow menggeram. Mereka melesat ke arah Kouta untuk merebut bola kristal hijau. Aku sangat tidak percaya tim yang seharusnya bersatu, kini terpecah belah demi keluar dari dunia ini.

Kepalaku tertunduk seiring tubuh jatuh berlutut. Jika ... jika jalan keluarnya harus merebut bola kristal hijau milik Kouta, maka aku tidak akan bisa. Aku tidak bisa meninggalkan sepupuku sendirian di dunia ini, dibunuh oleh monster.

Saat kembali melihat ke arah Kouta, situasinya semakin buruk. Ram ikut egois dan berusaha merebut bola kristal dari rekannya. Kouta mati-matian menghindari serangan Trisula petir Ram. Rigel, Ovit, dan Melia ikut menyerang Kouta. Aku sudah bersiap untuk menolongnya, tetapi terkejut mendapati Ryego menusuk pahaku dengan Hammer-nya.

Jika informasi senjata telah hilang, tapi ... mengapa mereka masih bisa mengeluarkan dan menggunakan senjata itu? batinku baru menyadarinya.

Aku melompat menghindari serangan brutal Ryego. ���Ryego! Ada apa denganmu?! Kenapa kau menyerangku?! Bukankah kita adalah rekan setim?!"

Dia menangis ketika menatapku. "Aku terpaksa, Tivo! Aku masih ingin keluar dari sini hidup-hidup! Aku belum meraih impianku!"

"Jika ... itu harus membunuhmu dan Kouta agar bisa mendapatkan bola kristal, maka ... AKAN KULAKUKAN! AKU AKAN MEMBUNUH SIAPA PUN DEMI MENDAPATKAN BOLA ITU!" teriaknya.

Teriakan Ryego mengalihkan atensi semua orang. Rigel menyeringai. Pedang bertabur berlian hitam langsung diayunkannya ke kepala Ryego. Aku tidak tahu bagaimana caranya dia bisa melompat dari seberang ke tempat ini.

Darah. Hanya cairan itu yang menyadarkanku kembali. Bahwasanya aku harus fokus agar tidak menjadi sasaran Rigel selanjutnya. Aku tidak menyangka kalau Rigel bisa sekuat ini. Lebih kuat dari Ryego.

"Nah, kalau begitu, mari kita mulai perburuan."

Rigel hendak menyerang, tetapi aku sigap menghindar dan melesat ke arah Kouta. Aku mengeluarkan Dagger. Sambil menutup mata, kuarahkan belati ke Ram, Ovit, dan Melia. Mereka terhempas jauh jatuh ke tanah. Ketika mata ini terbuka, tangan serta seluruh tubuhku diselimuti api merah keemasan. Apinya tidak membakar pakaianku, tetapi rasanya sangat nyaman. Seolah senjata itu memperkuat tubuhku.

Ovit dan Melia melototiku. Mungkin mereka terkejut dengan kekuatan sebenarnya dari Dagger. Yah, bug sepertinya menguntungkanku di sisi ini. Dengan itu, dua gadis menyerang lagi yang langsung kubalas dengan gerakan cepat seraya mengarahkan belati pada mereka. Melia berhasil terkena tusukan belati tersebut. Dia menggeram, memilih pergi ke dalam hutan. Tersisa Rigel dan Ovit. Ram? Entah ke mana pemuda itu pergi.

"Brengsek! Kau menghalangiku!"

Brassh!

Lagi, kulihat darah muncrat menyembur keluar dari tubuh manusia. Ovit, gadis loli itu terpotong menjadi dua. Seharusnya, manusia membunuh monster dalam game ini. Ini bisa kukatakan sebagai pembantaian antar 8-Beta Tester. Sial! Kakiku jadi keram setelah melihat keberingasan Rigel. Ketika Rigel melesat ke arahku, Kouta menarikku masuk ke dalam lingkaran hijaunya. Dia langsung menutup lingkaran, sedang diriku masih mematung syok.

"Aku ... sialan! Mengapa ayahku hanya menyelamatkanku! Tidak ... seharusnya ayahku tidak membuat video game real ini!"

Tangisan Kouta menyadarkanku kembali. Aku ikut menangis, memeluk sepupu yang kusayangi. Sekarang, aku hanya perlu melindungi Kouta. Tidak peduli kalau nantinya hanya dia yang akan keluar dari sini.

Sudah empat hari kami tinggal di bawah tanah. Kami lapar karena persediaan makanan milik Kouta sudah habis. Kami terpaksa keluar dari bawah tanah menuju hutan dekat Poison Bridge. Mencari buah atau berburu kelinci untuk mengisi perut.

"Tetap waspada dan di belakangku, Kouta!"

Cukup lama mencari, kami pun menemukan pohon apel. Aku memanjat pohon untuk memetiknya, sedang Kouta menangkap apel dari bawah. Karena sistem pendeteksi bahaya hilang, kami jadi tidak tahu kalau akan ada sesuatu yang muncul. Saat mendengar bunyi kerosak dari pohon seberang, sosok monster serigala berkepala hiu langsung melesat ke arah Kouta.

"Kouta!"

Di bawah sana, Kouta ditindih oleh monster tersebut. Gigi tajamnya menyobek tangan kiri Kouta. Aku panik, telat menyerang monster tersebut dengan Dagger. Begitu monster berhasil kubunuh, Kouta sudah sekarat.

"Kouta, bertahanlah! Aku akan mengobati lukamu--"

"Tivo ... aku senang bisa ... bermain di dunia game ini bersamamu. Tolong ..., bawa bola kristal ini dan keluarlah dari tempat ini. Sampaikan salamku untuk ... a ... yah ...."

"Tidak ... Kouta! Bangunlah kumohon!"

Ironi ini sangat menyesakkan. Aku ingin Kouta keluar dari sini, tetapi mengapa jadi terbalik. Malah aku yang diminta olehnya untuk keluar dari sini. Kouta tiada karena kecerobohanku. Akan tetapi, permintaan itu harus segera kukabulkan.

Kaki ini berlari menuju arah Timur sambil mengantongi bola kristal hijau dalam saku jaket. Di sekitar jamur raksasa, aku berhenti dan bersembunyi. Tubuh ini membeku lagi setelah melihat dengan jelas bagaimana Rigel menusuk Melia sebanyak empat kali di jantung, bahu, leher, dan perut. Pemuda itu tumbuh liar menjadi seorang psikopat.

Ketika dia pergi, aku melihat Ram datang dari semak-semak. Dia berlutut di depan mayat Melia dan menangis sesegukan. Entah apa hubungannya dengan Melia. Aku hanya bisa menebak, mungkin di dunia real mereka adalah sepasang kekasih. Ram ikut pergi ke arah yang sama dengan Rigel.

Kembali kulari demi mengejar Ram. Biarpun dia berubah menjadi jahat, tetapi aku tahu kalau dia cuma terpaksa. Firasatku mengatakan akan terjadi hal buruk jika Ram pergi mendekati Rigel.

"BERHENTI, RIGEL!" teriak Ram.

"Apa?" balas Rigel menoleh padanya.

"Mengapa kau membunuh Melia?!" Ram tampak menggeram menahan tangis.

Rigel tertawa terbahak. "Sudah jelas, bukan? Aku membunuh untuk bertahan hidup dan mencapai tujuanku. Keluar dari tempat ini."

Aku masih mengintip mereka dari balik pohon. Mencoba untuk mengamati dan mendengarkan.

"Melia itu adikku, sialan! Aku ... akan membunuhmu!"

Rasa cemas melanda begitu melihat mereka bertarung. Dugaanku sedikit meleset rupanya. Akan tetapi, aku sangat mengerti bagaimana perasaan Ram. Kehilangan saudara itu sangat menyakitkan.

Pertarungan sudah ditentukan sejak awal. Rigel adalah pemain terkuat. Kouta sempat menceritakanku tentangnya sebelum hari kematiannya. Pemuda itu menjadi juara satu esport selama lima tahun berturut-turut di kompetisi O-Rion. Pantas, dia begitu ahli menggunakan senjatanya. Sekarang, Ram telah berakhir dengan tusukan di dada kiri sampai menembus ke punggung.

"Tuhan ... apa yang harus kulakukan sekarang? Aku tidak mungkin bisa mengalahkan Rigel, apalagi membunuhnya. Kekuatanku saja baru terbangun dan baru bisa kukuasai," pikirku frustasi.

Tidak mau terus bergelut dengan pikiran, kuputuskan melanjutkan perjalanan ke arah timur. Tempat yang ini sangat berbeda. Bukit terjal dengan jurang tak berdasar di sisi kanan-kirinya. Fokusku buyar melihat Rigel berada lima meter di depan.

"Final Battle, Tivo. Aku tahu, kau membawa kristal itu dan membunuhnya. Oh ... betapa tidak manusiawinya!"

"Tidak! Aku tidak pernah dan tidak akan membunuh Kouta! Dia ... dia ...."

"Apa? Bunuh diri seperti rekanku, Quella?"

Sungguh, manusia macam apa Rigel ini hingga membuat rekannya bunuh diri? Aku tidak punya informasi tentang kelompok mereka. Menurut data yang waktu itu ditampilkan oleh si pemandu, Quella tipe penyendiri sepertiku. Dari itu, aku berasumsi kalau Quella bunuh diri karena tertekan melihat Rigel membunuh kelompok lain.

"Kouta tidak selemah itu! Dia orang yang tegar! Dia mati karena kesalahanku! Dan aku di sini untuk kembali ke dunia real! Menyampaikan salam terakhirnya untuk ayahnya!" pekikku.

Rigel tertawa. "Pencipta game ini tidak perlu titipan salam, Tivo. Berikan saja bola kristal itu agar aku bisa keluar dari sini. Dan setelah keluar nanti, aku akan membunuh orang tua itu! Aku akan membalaskan dendam tujuh Beta Tester lainnya!"

"Dendam tidak akan terbalas karena kaulah penyebab kematian mereka semua!"

Belatiku pegang langsung melesat ke arah Rigel. Reflek pemuda itu luar biasa. Dia menghindar dengan mudahnya. Dia balas menyerang dengan berlari mengayunkan pedang ke arahku. Agak terlambat menghindar, lengan kiriku tergores pedangnya yang tajam.

"Meskipun kekuatanmu terbangun dan bertambah, tetap saja aku lebih kuat dibandingkan denganmu atau si Ram. Bersiaplah untuk mati!"

Rigel berlari kencang mendorongku untuk jatuh ke dalam jurang di belakang. Saling sikut, akhirnya aku bisa mengelak. Rigel terpeleset jatuh ke dalam jurang. Akan tetapi, pemuda itu dapat bertahan. Berpegangan dengan satu tangan di bibir jurang.

"Tidak! Tidak! Tivo! Tolong aku! Maafkan aku! Aku ... tidak akan merebut bola kristal itu! Aku bersumpah!" teriak Rigel seraya menangis melihatku.

Tatapan tidak berdaya itu mengingatkan diriku pada Kouta. Aku terbawa suasana hati. Tanpa curiga, tangan kuulurkan ke arah Rigel. Ketika tangan kami berhasil terjalin, Rigel menyeringai. Dia langsung menusuk dadaku dengan Diamond Sword. Perkataan itu sungguh menusuk jiwa.

"Dunia game dan dunia nyata itu sama saja, Tivo. Manusia pada akhirnya akan mencoba untuk selalu menang. Jadi, lebih baik tidak ada yang menang, bukan?"

Wajah Rigel menjauh dan menjauh dari pandangan. Tubuhku jatuh tertelungkup menatap buram jurang tanpa dasar. Hanya ada warna hitam di sana. Napasku tersengal, tubuh mendadak mendingin. Dalam keadaan lemah, tangan kanan kupakai merogoh kantung jaket. Bola kristal hijau sekarang menyala menampilkan dua tombol.

Ø Game Over (Status pemain telah mati)

Ø Log Out (Keluar dari game)

Aku tersenyum, menekan tombol yang kupilih. Game Over adalah pilihan terakhirku. Maaf, Kouta ....

•END•