webnovel

Peralatan Baru

"Jangan memaksaku menarik pelatuk." Akiko mengancam dengan moncong senjata, hingga laju pisau di tangan Anna sedikit tertunda. "Sutris! Aris! Lihat, serigala telah kehilangan bulu domba."

Ketika Aris dan Sutris membuka mata, Anna berucap, "Jangan bergerak manis, atau nyawamu bakal melayang."

Diancam begitu Aris terhenyak dengan dada kembang kempis seperti balon bocor dipompa kencang. "A-apa yang mau kau lakukan?"

Anna menekan dada Aris yang hendak bangkit, sembari bola matanya bergerak ke arah kanan, memberi kode.

Sejenak Sutris memandang mereka bergantian, tak perlu dijelaskan dia paham apa yang terjadi. "Anna, kenapa kamu tega melakukan ini pada kami?"

"Turunkan senjatamu, jalang, atau ku buat otak berceceran!" ancam Akiko, bersiap menarik pelatuk. "Aku tidak main-main, turunkan sekarang juga. Kamu tidak bisa kabur--"

"Diam, Nenek tua!" sahut Aris mmebungkam Akiko, lalu mengangguk kecil pada Anna.

Pucuk pisau melesat kencang menembus kepala kalajengking besar di atas batu sebelah Aris.

Kalajengking meronta ketika Anna mengangkat pisau, hingga seluruh mata memandang lega ke arah hewan itu. 

"Bagus, kalajengking hitam kecil nan indah, racun ini akan berguna nanti." Dia menaruh hewan itu ke dalam tabung kaca yang dia ambil dari dalam suit tepat di belahan dada.

Aris mengelus dada lega, duduk menjabat tangan Anna. "Terima kasih."

Akiko memandang datar mereka. Perasaannya campur aduk, senang, lega, kecewa, marah, setelah kejadian ini. Dia memeluk senapan sniper seperti memeluk guling, berbalik memandang arah lain. 

Bukan salahnya jika mencurigai Anna, siapa pula yang bisa menerka jika ada kalajengking di sana. 

"Boleh aku tidur di sini?" Akiko enggan menjawab karena apapun jawabannya, dia yakin Sutris bakal tetap singgah di sebelah. "Kerja bagus, kamu--"

"Mau mengejekku? Aku gagal mencegah kalajengking mendekati Aris, maaf."

Sutris duduk bersandar batu sambil mengasah golok memakai batu alam. "Garam kita habis, jadi lumrah itu terjadi. Anna telah tereliminasi, kita membawanya ke titik aman demi kemanusiaan."

"Ya." Akiko bingung harus apa, tidak mungkin dia jujur jika cemburu, toh status mereka hanya kenalan dalam game.

Sutris berbicara dengan santai. "Aku beruntung bertemu denganmu, jika tidak, mungking nyawaku sudah lama hilang. Kamu gadis istimewaku Akiko."

Seketika senyum manis timbul menghias bibir Akiko, tapi senyum itu tak berumur lama.

"Kamu sahabat spesial, untuk itu aku berterima kasih. Hentikan mencurigai Anna. Yang sudah terjadi biarlah berlalu, fokus pada masa depan."

"Ya sudah, aku ngantuk mau tidur."

Apa setiap lelaki sebodoh Sutris? Apa mereka buta? Kenapa begitu susah melihat tanda apa yang Akiko harapkan.

Suara asahan golok menandingi suara nyala api unggun. Cukup lama situasi ini tercipta hingga Akiko terlelap.

Cahaya Matahari menyusup melalui celah celah dedaunan yang bergerak tertiup angin sepoi. 

Selangkah demi selangkah mereka mendekati desa yang berada di tengah hamparan sawah. 

"Berhenti," ucap Aris, menjadi kode bagi tiga temannya menyandarkan bambu egrang ke pohon sekitar, lalu bertumpu satu lutut. 

"Ada apa Boncel?" bisik Akiko. "Sebentar lagi kita sampai, lihatlah."

Terdengar suara kokok ayam jago dari sana, tapi desa yang berselimut asap tipis minim kehidupan.

Di layar laptop terlihat banyak titik-titik merah di sekitar desa, beberapa bergerak sangat pelan. "Sepertinya banyak hunter," gumam Aris.

Sutris mengamati lahan pertanian, banyak mayat di sana juga lubang-lubang sisa ledakan. "Sepertinya begitu."

"Lalu bagaimana sekarang?" bisik Akiko. "Kita harus ke desa kan?"

"Waktu yang tersisa masih sehari, selain itu lihat di sana." Netra Anna menunjuk kubik digital tinggi berdiri di tengah desa, bertulis 28. "Mungkin baru dua puluh delapan orang yang sukses masuk ke sana.

"Menunduk," perintah Sutris, tak lama nampak tiga lelaki berlari di sebelah mereka menuju desa.

Mereka bicara memakai bahasa Thailand, tertawa-tawa bahagia menenteng egrang.

Tiba-tiba suara letusan sniper membahana, satu dari tiga orang jatuh, sisanya merunduk. Mereka terlindung oleh galengan, mencoba merangkak menuju desa. 

Suara peluru mortal menukik di angkasa terdengar khas di telinga, disusul suara ledakan di sekitar dua pria di sawah. Tiga kali suara yang sama terulang, hingga suara erangan menggantikan semua itu.

"Holly shit," gumam Anna. "Mereka benar-benar menjaga desa."

Akiko melihat sisa asap mortal di langit, memberi kode dengan anggukan kepala ke arah sumber ekor asap. "Di sana mortalnya. Boncel, ada berapa orang?"

"Sekitar tujuh formasi diamond dengan satu titik jauh di belakang. Menurutmu mereka satu regu?" tanya Aris.

"Chinese Liberation Army," Suara seorang lelaki memaksa mereka menoleh sambil mengacung senjata ke belakang.

Titik-tituk laser bergerak-gerak di badan Akiko dan teman-teman, sorot itu berasal dari senjata empat pria berpakaian serba hitam entah sejak kapan berada di sana. 

"Sial," umpat Anna, hanya terdengar oleh Akiko di sebelahnya.

"HelloAnna 'mrachnye zhnets blondinka'." Pria berkaca mata hitam menyeringai sinis.

"Sergei? Aku tidak tahu jika Spetsnaz boleh ikut acara seperti ini. Apa Puttin tahu?" tanya Anna, entah kenapa memakai bahasa Inggris, mungkin ini caranya supaya tidak menimbulkan kecurigaan Akiko dan teman-teman.

"Puttin mengirim kami. Kamu tahu, Russia, China, Amerika, dan Uni Eropa, mengirim masing-masing sepuluh orang terbaik."

"Kenapa?" tanya Aris, sepertinya rasa ingin tahunya mendominasi. 

"Ego." Sergei terkekeh. "Kami tidak mungkin berkonfrontasi dalam perang besar secara langsung, tapi di sini kekuatan militer dan taktik sedang diuji."

"Jadi apq maumu?" tanya Sutris

Sergei memandang jauh tengah sawah. "Ke desa. Berhubung kita bertemu, kenapa tidak saling bantu?" Ajaknya, sambil mengamati Akiko. "Kau punya sniper, sementara sniper kami tewas. Kami butuh support kalian untuk maju."

Akiko tidak suka cara mereka memandang, terlebih mereka kenal Anna. Bisa jadi mereka sama bejatnya seperti wanita murahan itu. Dia menarik Sutris mendekat, berbisik memakai bahasa Indonesia. 

"Lebih baik tolak, aku tidak suka cara mereka memandang kita."

"Tapi kita butuh mereka seperti mereka butuh kita. Tentara China berada di sana, jumlah nya lumayan, dan mereka terlatih juga didukung gadget canggih."

"Markov, bawa senapan sniper terbaik kita ke mari," perintah Sergei. Dia terkekeh ketika senapan hitam mendarat ke rerumputan. 

Mata sipit Akiko membesar hingga gagal berkedip. "DXL-5 'Havoc', senapan sniper berjarak jangkau tujuh kilometer."

"Gadis pintar, baru ada empat di dunia, Russia teknologi terbaik di dunia. Kau bisa memiliki senapan itu jika membantu kami, cantik." Sergei mengamati Sutris sambil menyeringai sombong. "Untukmu, kami punya sesuatu yang pasti kau suka."

Sutris mengangguk puas ketika mendapati senapan serbu AK-12 tergeletak di sebelah sniper.

"Peluru kami siapkan, bagaimana? Aku tahu kau bukan orang biasa, pria tampan."

"Bagaimana denganku?" tanya Anna. "Apa tidak ada senjata untukku?"

"Setahuku kau benci senjata, lebih suka racun dan belati. Jadi tidak ada untukmu." Sergei kembali fokus pada Sutris dan Akiko. "Tentara China terkenal tangguh dalam pertempuran hutan, mereka juga memiliki peralatan  gerilya yang mutakhir, seperti pakaian yang membuat mereka menghilang."

Sutris tertawa kecil. "Jika mereka butuh pakaian untuk menghilang, orang Indonesia bisa menyatu dengan alam."

"Jadi bagaimana?" tanya Sergei.

Sutris mengumpan pandang ke Akiko. "Jika dia setuju, aku ikut saja."

****