webnovel

SUCI : Pantauan Jarak Jauh

Pukul 23.55 WIB, telepon kembali berdering. Dengan mata setengah mengantuk, kulihat panggilan video call suami.

Jam segini?

Kuraih jilbabku. Siapa tahu, ada pria lain di sana yang ikut mengintip di balik layar ponsel Ardi. Aku tak mau aurat yang susah-susah kututupi dilihat lelaki lain di ujung sana.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Mas, maaf tadi aku memasang mode silent jadi tidak dengar suara panggilanmu. Baru kuderingkan lagi jam sembilan malam tadi," jawabku segera menerangkan, sebelum ia mulai mencecar dengan berbagai pertanyaan.

Matanya melirik ke kiri dan kanan. Aku yakin, dia sedang mengecek: 'Aku di mana, dengan siapa'. Karena itu sengaja kumiringkan layar ponsel ke kiri dan kanan agar netra Ardi bisa melihat seluruh isi ruangan.

"Aku di kamar, Mas. Sedang tidur sendirian. Mungkin ada hantu di belakang yang hendak ikut menunjukkan penampakan," kataku mencoba mengajaknya bercanda. Kulihat wajahnya sudah mengeras. Aku yakin, ia sedang menahan amarah.

"Tidak lucu! Kenapa tadi seharian tak kirim kabar? Kutelepon juga tak diangkat-angkat. Cek berapa kali aku telepon," ungkapnya kesal.

"Maaf, aku kan sudah bilang, Mas, tadi nada silent. Dan seharian aku sibuk sekali." Sebenarnya lelah menjelaskan. Hampir selalu begitu setiap dia menelepon.

"Sibuk apa sampai mengabaikan panggilanku?" kejarnya.

"Mas tanya Santi aja, seharian aku sama dia mengatur strategi marketing jelang liburan panjang."

Begitulah ... Ardi selalu memonitoring langkahku.

Dia tak mampu memberiku ruang kebebasan. Dalam hatinya penuh curiga. Aneka prasangka merantai hatinya, sehingga sulit percaya, meski aku benar-benar telah menunjukkan sikap sebagai wanita yang berbeda.

Setiap dia ada kesempatan, pasti melakukan panggilan video call. Tak peduli aku di mana dan sedang apa. Jika aku mengabaikan panggilannya karena sedang duduk di kajian, maka dengan enteng dia minta aku kirim foto, share lokasi terkini, dan pesannya selalu, gawai jangan sampai mati.

Bagaimana aku bisa beraktivitas dengan tenang, jika ia terus-menerus mengganggu sewaktu-waktu? Akhirnya sering ku-silent di waktu-waktu tertentu. Itu demi menjagaku tetap waras karena panggilannya selalu dibumbui curiga.

Sifat posesif Ardi sudah sampai taraf paranoid. Sulit percaya. Sangat berbeda denganku yang lebih suka membebaskan dia melakukan apa saja, selama dia suka dan tahu batasannya.

"Sudah selesai belum?" Aku paham apa yang ia tanyakan. Siklusku.

"Sudah, Mas, kemarin. Mas juga besok sudah pulang kan? Insya Allah, kita bisa melepas rindu saat Mas pulang nanti." Aku berusaha membangun harmonisasi dengannya lagi. Walau bagaimana pun, aku tak suka pertengkaran.

Bertengkar itu menghabiskan energi tetapi tak menghasilkan kebaikan. Hanya mengotori hati dan pikiran, menghanguskan keindahan. Menahan diri lebih bijaksana selama tak ada kepentingan yang mendesak.

"Iya. Doakan semua lancar agar tidak diperpanjang. Ini lagi bikin laporan. Jika sudah di-ACC besok bisa pulang."

"Oh, jadi ada kemungkinan diperpanjang ya, Mas?" tanyaku sungguh heran. Bukan karena ada maksud lain.

"Iya. Kenapa? Kamu senang jadi jomblowati? Bisa bebas lepas seperti kupu-kupu di taman? Tebar pesona kesana kemari?" tuduhnya.

"Mas, jangan mulai lagi, tolonglah." Aku mulai kesal. Jam berapa ini? Dan masih saja curiganya dikedepankan. Padahal aku ngantuk sekali, hari ini kegiatannya padat dan membutuhkan pemikiran yang berat. Juga masih banyak agenda lain yang harus dijalani besok pagi. Aku tak punya energi untuk berdebat dengannya di gawai tengah malam begini.

"Kamu sih, membuat aku kesal terus. Cobalah jadi istri yang baik, yang tak membuat suami cemas dan kepikiran. Aku tak bisa tahu apa yang kamu lakukan di sana. setidaknya, beritahu aku, biar aku tak bertanya-tanya," pintanya.

Apakah ia mengira istrinya seorang pengangguran yang tak mempunyai kesibukan sehingga bisa sering-sering bermain gawai. Ada banyak hal yang juga menyita waktu dan pikiranku.

"Maaf, Mas. Aku usahakan, ya. Terkadang aku lupa," kilahku menghindari perdebatan.

"Kamu lupa kalau sekarang sudah menikah?"

Tuh, kan. Ardi selalu saja mengambil sisi negatifnya. Mengambil angel kontroversi.

"Bukan begitu. Mas, tolong dong, jangan negatif thingking terus sama aku. Aku juga punya perasaan, Mas. Tak mungkin kukhianati kepercayaanmu."

Sesaat terdengar suara bising kendaraan melintas. Ia mungkin masih di jalan, belum istirahat. Sesungguhnya, membayangkan kondisi dia, terbit rasa iba. Dia pasti lelah, baik raga maupun jiwa.

"Ya sudah, kembalilah tidur. Jangan lupa kunci pintu. Kalau ada yang tak beres, telepon satpam perumahan. Dan ingat pesanku. Jaga diri, jaga hati. Kini kau seorang istri. Bukan gadis lagi," ungkitnya. Tanpa bosan ia mengingatkan kodratku sebagai istri. Seolah dengan gampang bisa kulupakan.

"Iya, Mas," jawabku pasrah.

"Jangan lupa, besok kirim kabar. Jangan hilang jejak dan sulit dihubungi. Ingat, kalau mau pergi harus izin. Walaupun aku jauh, tetap kamu adalah tanggung jawabku. Mengerti?"

"Iya, Mas." Kalimat itu sudah ia ulang-ulang hingga aku khatam.

"Oke, aku masih ada kerjaan. Assalamualaikum."

"Iya, Mas. Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh."

Klik video call terhenti. Menyebalkan sekali bukan?

Kita berjauhan. Tapi rasanya begitu dekat. Ia bagai bayangan, mengejar ke mana pun aku pergi. Jam-jam teleponnya memang tak menentu. Ia mengaku sulit mencari waktu untuk menghubungiku. Namun, saat kesempatan itu datang, yang ia lakukan hanya mengumbar kecurigaan. Sangat tak dewasa. Kenapa tak memilih kosakata yang mesra? Tentu itu lebih menyenangkan bagi wanita.

Kantukku telah sirna. Entah pergi ke mana. Kuambil air wudu, berusaha meredam gejolak hatiku. Setiap habis salat, gemuruh di dadaku berubah jadi tenang. Aku berusaha mengevaluasi diri, mengapa sampai terjebak pada situasi ini. Lalu jawaban itu datang bagai sebuah ilham.

Astaghfirullah, aku tersadar.

Bukankah ini adalah buah yang kupanen dari benih yang kutanam dahulu? Mungkin ... jika aku gadis perawan, maka lebih mudah bagi suamiku untuk percaya bahwa aku wanita yang mampu menjaga dirinya. Tanpa perlu ia awasi setiap hari.

Teringat dosa-dosaku, mengalir kembali air mataku. Ini belum seberapa. Bagaimana jika Allah mengujiku dengan ujian yang lebih berat lagi nantinya? Apakah aku kuat?

Atau aku akan menyerah dan memilih jalan yang orang biasa pilih? Jalan perpisahan. Jalan kebebasan. Jalan yang kurindukan untuk bisa kembali seperti dulu lagi, saat tak ada pria posesif yang selalu bertanya : kamu di mana, dengan siapa, lagi apa.

***