webnovel

ARDI : Indahnya Nirwana

Aku hanya ingin memastikan ia tidak sedang menyembunyikan kehamilan saat menikah denganku. Proses perkenalan kami begitu singkat. Akan tetapi, dengan cepat dia langsung menyambar lamaranku. Jadi salahnya di mana jika sekarang tumbuh rasa curiga padanya?

Katakan dia tak hamil, lalu kenapa dia marah saat kuberi testpack? Hanya celupkan ke air seni, sebentar, sama sekali tidak menyakitkan. Namun, dia merespon berlebihan dengan melemparkan semua testpack itu ke wajahku. Menurutku, itulah definisi sakit sesungguhnya.

Bukannya minta maaf, dia justru ceramah. Ceramahnya itu panjang lebar. Padahal, tak satu pun kata-katanya yang masuk ke telinga. Sama halnya dia, aku juga sedang dirundung kecewa. Terutama terhadap hubungan kami yang seperti ini.

Aku tidak melihat musuh yang sepadan untuk kulawan. Padahal emosiku sungguh tak tertahan. Ada sakit yang menjalar melihat gadisku menangis kencang. Seolah seluruh ranjang kami bisa berubah jadi lautan jika kubiarkan. Tanpa sadar, aku mengepalkan tangan, menahan emosi yang membakar.

Bug!!! Kulepaskan tinjuku. Berharap rasa sakit di ulu hati berpindah ke buku-buku jemari.

Suci terkejut melihat apa yang terjadi pada pintu kayu jati. Padahal pintu itu tak bergeming, hanya tulang-tulang jemariku rasanya retak parah.

Meski isak masih mewarnai wajahnya, tetapi ia bergegas menghampiri. "Ya Tuhan, Mas apa yang kau lakukan?" tanya Suci.

Ia raih jemariku, namun kutepis. Untuk apa? Ia yang membuatku begini. Aku telah jadi pecundang sejati, yang menyakiti diri sendiri karena tak kuat menahan sakit hati. Memalukan!

"Kau bilang aku bodoh, apa begini cara orang pintar bertindak? Melukai diri sendiri? Senangkah kau jika mamamu curiga padaku karena putranya terluka? Jangan lakukan itu lagi, atau ... aku pulang ke keluargaku." Berondong kalimat Suci membuatku terdiam.

Dia ingin pulang? Cerai?

Aku menggertakkan geraham. Emosi lagi!

Semudah ini hendak kau akhiri? Tidak! Aku bukan sampah daur ulang yang bisa kau manfaatkan sesukamu!

"Aku tak sanggup hidup dengan pria yang tak bisa mengontrol emosinya!" tambah Suci lagi.

Plak, merasa tertampar. Sudah beberapa orang bilang, aku sulit mengontrol emosi. Dan kalimat ini yang membuatku sadar, bahwa aku bisa benar-benar kehilangan Suci jika terus memaksa beradu ego. Akhirnya aku mengalah, pasrah saat dia memutuskan mengobati luka-lukaku. Sebab, aku pun butuh itu.

***

Suci mengobati lukaku sambil mengomel. Ia juga meminta maaf. Ada kecemasan dan penyesalan dalam setiap kalimatnya. Aku yang sudah lebih tenang ikut terbawa suasana.

Semua kata-kata Suci mengandung obat bagiku. Terutama saat dia menyoal kisah Nabi Ayub dan Nabi Nuh. Ia mengingatkanku pada mama, sosok yang telah membekali kisah-kisah kenabian sejak aku belum bisa pakai baju dan celana sendiri. Huh, ke mana semua memori indah itu pergi?

Semua tertutup kabut. Hanya karena sebuah masa lalu yang hitam dan kelam. Lalu, Suci membawa ingatan itu kembali. Semua yang Suci katakan, sangat menentramkan. Aku jadi tersentuh saat dia katakan, "Kalau mau memukul, pukul saja aku. Setidaknya tanganmu tak akan luka. Dan jika itu bisa membuatmu lega, aku rela." Seolah dia rela terluka demi aku. Menyentuh!

Inilah point istimewa pertama, yang membuat dia nampak berbeda dengan mantan istriku. Desi dahulu sangat murka saat aku menampar pipinya, yang jelas-jelas telah tertangkap basah sedang selingkuh.

Wanita jalang itu bilang, aku tak berhak memukulnya karena aku bukan siapa-siapa baginya.

Hey, aku adalah suaminya, yang menafkahinya siang dan malam. Mati-matian berusaha membahagiakannya dan dia bilang bukan siapa-siapa. Apakah semua wanita jalang itu memang gampang amnesia? Sedangkan aku? Aku tak pernah lupa, setiap luka yang digoreskannya padaku.

***

Setelah lukaku dibalutnya dengan perban, Suci menuju ke kamar mandi. Ia menunjukkan hasil testpack itu padaku. Awalnya sudah kukatakan, tidak perlu jika tak mau. Namun, diam-diam ia tetap melakukan. Usahanya untuk meyakinkan aku menjadi point istimewa yang kedua.

Terasa ada beban berat terangkat dari dadaku saat melihat hasil testpack itu. Mata Suci lagi-lagi menunduk, seolah tak suka sudah melakukannya. Padahal hanya sekedar tes kehamilan. Orang-orang yang melamar kerja di perusahaan besar juga dituntut melakukan hal itu. So simple. Tak ada yang berlebihan di sini.

Baiknya aku jadi tahu, istriku dalam keadaan suci saat kunikahi. Sesuai kesepakatan, hasil yang negatif itu merekonstruksi pikiranku agar kembali positif.

Seluruh nafsuku untuk menggali-gali masa lalu Suci sirna. Jika ia berat mengatakannya, mungkin itu juga akan berat untuk kudengar. Dengan sifat emosional ini, bukan tak mungkin cerita Suci justru akan membuatku kembali gempar.

Suci berdiri dengan canggung setelah itu. Apakah ia menyesal menikah denganku? Harus kucari tahu sendiri jawabnya. Jangan sampai apa yang ia katakan, berbeda dengan apa yang ia rasakan. "Suci buktikan padaku bahwa kau mencintaiku," pancingku.

"Seiring waktu, Mas, kau akan melihatku jadi satu-satunya belahan jiwa yang setia dan mendampingimu hingga tua. Bukan hanya sekarang, aku akan gunakan sisa waktuku untuk membuktikannya padamu," jawaban formalitas.

Aku tak suka, bukan begitu caranya menunjukkan cinta.

"Kemari!" Kulambaikan tangan padanya dengan jemari kiri. Biar kali ini, kuajari dia cara mencintai pria.

Dengan patuh istriku mendekat, duduk di sisiku. Di bibir ranjang, yang sebentar lagi akan berubah jadi medan pertempuran kami berikutnya.

Suci nampak gugup. Ah, seolah ini adalah malam pertama kami saja. Padahal aku bukan perjaka dan dia bukan perawan. Namun, demi mendengar kerasnya degup jantungku sendiri, aku meminta ia memejamkan mata.

Butuh waktu menata detak jantung. Jangan sampai ketahuan kalau aku nervous. Malu!

Perlahan-lahan jari ini bekerja. Lupa sudah pada semua luka yang kuderita. Aku seorang pria, harus bisa menunjukkan kuasaku akan dirinya.

Perlahan namun pasti, jemariku merayap naik. Mulai kusentuh jemarinya, lalu .... Jika tidak ia ingatkan, pastilah doa malam zafaf pun aku lupa.

***

Suci Batrisyia, sebuah nama yang kini merasuki hatiku. Berbagai ilusi indah ia tebarkan. Seindah kepasrahan yang ia persembahkan. Jika memang ada bidadari turun ke bumi, mungkinkah wujudnya akan seindah Suci?

Mimpiku penuh dengannya. Saat aku mulai terjaga, mataku menemukan matanya yang tengah memandangiku dengan terpana. Lalu, entah mengapa ia pura-pura memejamkan mata kembali.

Terakhir kuingat, aku sudah membawanya ke nirwana. Jadi kenapa setelah lelah bercinta, ia masih menatap mesra? Aku berasumsi dia mau lagi. Mungkin ketagihan.

Ah wanita, selalu pura-pura malu. Padahal aku tahu dia mau. Apakah aku salah terlalu cepat terlelap di malam pertama kami? Kalau begitu, harus kutebus!

Dan untuk kedua kalinya, Suci kubawa melayang-layang ke nirwana. Di mana hanya ada aku dan dia. Tak ada tempat lagi untuk hal lain. Sepertinya aku benar-benar mabuk kepayang dibuatnya. Yeah, virus asmara ini, kuingin Suci juga merasakannya.

***

Subuh yang dingin. Seluruh tubuhku yang lelah pascabermain masih hendak berbaring. Namun, sebuah tangan yang tak kalah dingin menyentuh pipiku. Wajah bermukena tersenyum manis, tepat berada di depan mata saat aku mulai terjaga.

Spontan kujawab, "Kamu mau lagi?"

"Mas, apaan sih, waktunya sholat Subuh," balasnya dengan pipi merona.

"Ah, Suci .... Jangan begitu kalau membangunkan suami. Aku bisa salah paham," kataku sambil berusaha menegakkan punggung yang menempel mesra di kasur.

"Aku nunggu kamu ya, Mas," kata Suci sambil berlalu. Rona merah di wajahnya kembali memancar. Dia malu? Seperti ABG saja.

Suci lantas pergi untuk memperbaiki wudu, begitupun aku, malas-malasan melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri dari hadas besar.

Ya, ini adalah sebuah awal yang baru. Dengan langkah berat kuseret kaki ke kamar mandi. Tanpa Suci, aku biasa Subuh jam 06.00 bahkan 07.00 pagi. Kesiangan memang, tapi kata Ustad, kita tidak berdosa jika kelewat waktu salat akibat ketiduran, toh bukan faktor kesengajaan.

Sebab telah diangkat pena dari 3 orang, yaitu orang yang tidur hingga terbangun, anak kecil hingga ia baligh, dan orang gila hingga ia waras. (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Tirmidzi). Sayangnya, aku selalu gagal bangun tepat waktu. Nasib jadi bujang yang terbiasa bergadang.

Grogi. Itulah rasanya kali pertama mengimami salat seorang wanita. Apalagi wanita itu yang meminta. Aku ke mana saja dulu? Kenapa aku tak pernah mencoba jadi imam yang baik bagi Desi? Mungkin Desi jadi seliar itu juga karena salahku yang lalai menyirami batinnya. Yang kulakukan hanya memanjakannya dengan berbagai harta benda.

Padahal, hafalan Quran-ku lumayan. Kefasihan bacaanku juga jempolan. Keluargaku adalah keluarga religius. Dari mulai kenal kata, Al Quran adalah bacaan pertama yang mama ajarkan.

Mama selalu bilang, hanya anak soleh sajalah yang mama harapkan sebagai tabungan di akhirat. Bukan anak yang sukses, bukan anak yang kaya, bukan juga anak yang tampan. Doa ibu itu mustajab. Dan biarpun tak soleh-soleh amat, namun aku pernah jadi juara tahfidz Quran saat kelas IV sekolah dasar berkat hafal Juz 30.

Kini sebagian besar hafalanku itu hilang. Mungkin karena jarang diasah, dan seringnya aku lalai beribadah.

Jika kebetulan menginap di rumah mama, aku sering dipaksa membaca Surat Yusuf. Favorit mama. Katanya saat mengandungku, surat Yusuf tak pernah Mama tinggalkan. Mama, aku jadi rindu mama.

Assalamu'alaikum warahmatullah.

Assalamu'alaikum warahmatullah.

Tibalah di tahiyat akhir. Tak terasa air mata menetes di jemariku saat telunjukku menunjuk ke arah kiblat. Benarkah aku sudah menemukan jodohku? Dan jodohku itu seorang wanita salihah yang cantik seperti bidadari. Oh, nikmat manakah yang aku dustakan?

Suci mengambil tangan kananku yang luka. Ditatapnya sendu. Dibelainya perlahan. Lalu dikecupnya satu persatu buku-buku tanganku yang sudah ia perban. Sebutir air bening bergulir dari sudut matanya. "Jangan menangis, dasar cengeng," sergahku.

Wanita ini, adalah tugasku untuk membimbingnya mulai hari ini. Adalah jadi tanggung jawabku untuk mengarahkannya. Aku tak boleh sembarangan lagi. Tak boleh emosian lagi. Tak boleh egois lagi.

"Mas, terima kasih. Ternyata bacaan Quran-mu indah sekali. Aku jadi malu, sebab bacaan Quran-ku masih jelek. Maukah Mas mengajariku?" pintanya tulus.

Lagi-lagi Suci membuatku merasa berharga sebagai seorang pria. Permintaannya sederhana, namun sangat mengena. Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita salihah.

"Oke, mari belajar bersama Suci. Ajarkan padaku tentang kelembutan hati. Dan akan kuajarkan padamu, apapun yang kau butuhkan," janjiku.

Suci lagi-lagi tersenyum manis. Seolah dia diciptakan untuk menggoyahkan prinsipku. Hari ini pertama kalinya aku bolos kerja dan sengaja mematikan gawai. Biarlah orang-orang bingung menghubungi. Aku hanya ingin di rumah hari ini, memadu cinta dengan wanita yang ingin kujadikan ibu sesegera mungkin.

***