webnovel

ARDI : Bertemu Bunga Malam

Ada yang janggal pada malam pertama aku menyentuh istriku. Kenapa ada yang beda? Tidak seperti Desi, mantan istriku dulu. Mungkinkah?

Aku turun dari tubuh Suci Batrisyia. Wanita yang baru saja kuboyong dari Surakarta untuk kujadikan teman hidup di Semarang. Kunyalakan lampu kamar untuk menelusuri ekspresinya. "Kamu sudah tidak perawan?" pelan-pelan aku tanyakan. Sesungguhnya aku khawatir jika pertanyaanku menyinggungnya. Sebab setahuku, tak semua wanita perawan mengeluarkan darah kala berhubungan untuk pertama kalinya.

Namun, astaga! Wanita itu hanya diam. Matanya menunduk, tak berani memandang. Suci tak mengelak, apalagi marah dengan tuduhanku. Jadi benar dia sudah tidak perawan? Brengsek! Aku tertipu penampilan syar'i-nya!

"Kepada siapa kau serahkan keperawanan yang menjadi kehormatan seorang gadis?  Sungguh aku  tak  percaya  ini, namamu Suci tapi kamu sudah tak suci lagi," kataku menahan gemuruh amarah yang memadamkan seluruh gairah.

Bukannya merasa bersalah atau meminta maaf. Suci, wanita yang kudapatkan lewat proses ta'aruf, malah menyandingkan posisinya yang sudah tak perawan dengan statusku yang sudah tak perjaka. Bagaimana bisa?

Dia gadis tak perawan, sedangkan aku duda! Apakah itu perbandingan yang seimbang? Kecuali dia janda, tentu akan beda. Dan aku tak pernah keberatan jika menikah dengan janda, asal jujur!

Ingin kulontarkan seribu kata makian. Dasar munafik!

Wanita itu berlindung di balik jilbabnya yang lebar. Berlindung di balik gamisnya yang besar. Bahkan perasaan kagum melihatnya mengenakan kaos kaki saat aku berkunjung ke rumahnya, seolah sirna berganti muak yang luar biasa.

Wanita seperti Suci, yang membuat citra wanita saliha ternoda. Berhijab hanya untuk menyembunyikan kebobrokannya saja.

Tak bisa begini, aku terlalu emosi. Sebaiknya aku pergi. Kusudahi malam pertama kami, yang entah menjadi malam keberapa baginya.

***

Tak tahu harus pergi ke mana. Di malam pertama. Malam yang kunantikan sekian lama setelah aku menduda. Tiga tahun aku menahan diri. Tapi apa ini? Aku melepas kucing liar dan mendapatkan kucing belang sebagai gantinya.

Ah, bodohnya. Sudah bersikap hati-hati selama ini tapi masih tertipu juga.

Aku memilih ke kantor, padahal aku sedang ambil cuti menikah seminggu lamanya. Aku berencana mengajak Suci ke Pulau Dewata. Sudah mengambil paket honeymoon di Denpasar-Bali.

Ingin kubahagiakan dia dengan berbagai moment istimewa. Sebagai kado pernikahan karena gadis itu sudah mau menerima pria duda apa adanya. Huh, gadis tapi tak perawan! Sesak di dada, dihimpit gunungan kecewa.

Pantas ia tak banyak bertanya saat proses ta'aruf. Pantas dia langsung menerima lamaranku. Rupanya ada rahasia yang ia sembunyikan. Aib bagi setiap gadis yang gagal menjaga kehormatannya.

***

Terkecoh, lagi-lagi aku terkecoh oleh wanita. Aku teringat kenangan menyakitkan bersama mantan istriku dulu.

Desi, istri yang kunikahi atas dasar suka sama suka. Aku banting tulang kerja, liputan ke sana kemari untuk menyejahterakannya. Lalu apa? Ia malah mendua. Bahkan ketahuan dengan sangat menjijikkan.

Kala  itu,  camera  recorder-ku  ketinggalan. Masih  posisi menyala. Aku kembali untuk mengambilnya sebelum pergi ke Papua bertugas meliput tambang emas. Namun saat kembali, aku mendapati kamar tidur terbuka dengan istriku yang tengah bercinta.

Bahkan, kenangan itu masih tersimpan di camera recorder. Video kala dia bermesra-mesraan dengan selingkuhannya di ruang tamu. Begitu lama ia mengecohku dengan sandiwara sebagai istri yang setia. Jalang benar!

Pria mana tidak terluka dikhianati pasangannya sedemikian rupa. Terlebih Desi, sudah ketahuan malah masih sempat-sempatnya membela selingkuhannya yang babak belur kuhajar.

Alih-alih minta maaf, wanita yang kupercaya itu justru menyalahkanku yang sibuk di luar. Hey, sadarlah! Aku seorang jurnalis. Bukankah sudah jadi resikomu memilih jurnalis handal sepertiku? Kuteriakan itu, tetapi Desi tak peduli. Ia merasa tak bersalah sedikit pun.

Persis Suci. Ah, kenapa aku merasa sifat asli Suci seperti Desi. Sama-sama suka membela diri dengan menyalahkan balik suami. Desi membenarkan perselingkuhannya karena suami sibuk kerja, dan Suci membenarkan dirinya yang tak perawan karena menikah dengan duda. Jadi aku yang salah?!

Benar kata orang, sesalah-salahnya wanita, tetap pria yang harus minta maaf. Begitu? Tidak! Aku tak sebodoh itu!

***

Sebagai jurnalis di media nasional yang terkenal, aku memang terkadang harus meninggalkan istri di rumah dalam jangka waktu yang lama. Atau jikalau senggang, aku sering putar-putar, keliling hunting berita. Sekalian memenuhi hobi mengisi content di Youtube Channel yang kukelola.

Tapi sumpah! Aku tak suka bermain wanita. Apalagi bercinta dengan wanita yang haram bagiku. Aku setia. Sangat setia.

Aku terlatih menjaga pergaulan. Apalagi, belum lama ini aku wawancara dengan tokoh nasional mengenai tingginya intensitas free sex pada remaja.

Survei Komnas Anak tahun 2017 di 12 Provinsi terhadap 4500 responden remaja, 93,7 % pernah berciuman hingga bercumbu mesra. Sementara 62,7 % remaja SMP sudah tidak perawan dan ini juga dibenarkan pihak Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak. Jadi bukan berita HOAX.

Sedangkan 21,2% remaja SMA dinyatakan pernah aborsi. Bukankah itu mengerikan? Sebobrok itu moral remaja di negara mayoritas muslim. Seolah tak takut azabnya orang berzina. Ish!

Seorang penulis buku berjudul "Pemerkosaan Atas Nama Cinta", Iip Wijayanto, pernah membeberkan hasil penelitiannya yang mencengangkan, bahwa 97,05% mahasiswi di sebuah kota di Indonesia sudah kehilangan virginitasnya selama melaksanakan studi (kuliah). Mengerikan! Selangka itukah gadis virgin saat ini?

Baru-baru ini, seorang kawan membicarakan hasil liputan pada "Penyuluhan Kesehatan Reproduksi Remaja" di Palembang. Hasilnya mengejutkan! Perilaku seks bebas pada remaja telah tersebar secara masif. Membudaya di masyarakat. Tidak hanya di kota, namun juga di desa pada tingkat ekonomi kaya maupun miskin. Parah!

Anggaplah aku kolot! Konservatif! Tak mengapa. Aku memang mencari wanita yang bisa menjaga kehormatannya. Apa salah jika aku menginginkan wanita Perindu Surga untuk jadi ibu bagi anak-anakku?

Bukan semata memburu keperawanan. Aku hanya mendambakan wanita yang terbiasa menjaga. Itu saja!

Untuk itu aku mencari istri pada komunitas Islami. Tapi akhwat mana yang mau dengan wartawan yang hobi bertualang sepertiku? Mereka takut kalau nanti, justru aku yang mencederai kesucian ikatan pernikahan.

Hingga akhirnya, mama mengenalkan aku pada Suci. Wanita berhijab lebar yang menundukkan pandangan. Aku jatuh cinta padanya, sejak pertama. Tak menunggu waktu lama, dua kali pertemuan saja. Lalu aku melamarnya.

Kukira aku beruntung mendapatkannya, tapi ternyata ....

Ah, gadisku, ke mana kau gadaikan mahkota kehormatanmu?

Fiuf ... rasanya sebatang rokok bisa membantu.

***

"Hey, tumben ngerokok?" tepukan di pundakku terasa mengganggu. Romi datang. Salah satu editor yang akrab denganku. Kami suka berbagai ide apa saja. Kadang kami ngopi berdua hingga pagi.

Wajar, kerja di dunia jurnalistik memang akrab dengan dunia malam. Banyak peristiwa yang bisa kami angkat jadi berita. Juga ada tim redaksi yang bekerja hingga pagi. Kantor berita memang tak pernah tutup, 24 jam buka.

"Bukannya harusnya kamu 'bisbol' malam ini bro? Kok malah ke sini? Ada apa? Tak bisa bangun?" kelakarnya.

Ah, pasti sekantor bakal tahu masalahku kalau lama-lama di sini. Orang kantor, semua tahu trik mengorek informasi.

"Nggaklah, Bro. Lagi lewat, habis beli jamu. Biar jago bisbolnya. Nih, mampir bentar. Udah kebiasaan ngabisin malam di kantor." Aku nyengir. Berusaha menutupi getir.

Bukan bohong, aku memang biasa mampir kantor sampai dini hari. Senang liat redaktur gedebukan ngolah berita. Tapi kali ini beda. Jelas aku tak sudi ketahuan dan jadi korban bully-an  jika  kelamaan  nongkrong di kantor saat harusnya asyik malam pertama.

Kumatikan rokok yang baru beberapa isapan. Merokok bukan gayaku.  Hanya saat-saat tertentu untuk melengkapi penyamaranku di lapangan. Kali ini aku merokok untuk pelampiasan.

"Bro, aku cabut dulu ya. Bojo nunggu di rumah!" kataku pamitan bercampur kebohongan.

***

Kupacu Yamaha R25 Movistar warna biru yang jadi temanku bertualang. Berjalan terus menyusuri semarak malam Kota Lumpia. Lalu motorku berhenti di Kota Tua. Aku memesan kopi di angkringan.

Seorang wanita muda dengan busana kurang bahan mendekatiku. Biasa, banyak kupu-kupu malam mencari mangsa. Model beginian sudah sering kutemui. Sengaja maupun tidak.

Sengaja saat wawancara dia, tak sengaja saat cari berita. Dan sekarang tak sengaja karena paru-paruku sedang butuh udara. Seolah sesak di rumah bisa membunuhku jika tak keluar dari sana.

"Sendirian saja, Mas, mau kutemani?" ia buka penawaran.

Cantik, sih. Mungkin sekitar 20 tahunan. Atau malah belasan. Aku  tahu  banyak  mahasiswa  berprofesi  ganda. Mungkin dia salah satunya.

"Boleh. Duduk sini mau?" Aku menawarkan bangku kosong di dekatku. Mataku mengarah ke bakul angkringan. "Sana pesan dulu!"

Gadis itu memesan ekstra joss dan rokok. Lalu kembali duduk di dekatku. Aku geser badan agar tak sampai bersentuhan kulit. Bagaimanapun aku terlatih jaga jarak dalam bertugas.

"Jual mahal, Mas?" ucapnya santai, sambil merokok.

"Enggak, tapi saya emang enggak murahan!"

Jleb, banget ya? Buktinya dia langsung melotot, bersungut- sungut. Meski tetap terlihat cantik.

"Maksud, Mas, aku perempuan murahan gitu? Emang sejam Rp300.000 Mas sanggup bayar?" tembaknya.

"Butuh duit?" Kukeluarkan tiga lembar uang ratusan. Itu uang sumbangan teman saat aku nikahan. Gapapa jika kusumbangkan lagi ke fakir miskin ini. Fakir miskin moral, maksudku.

"Ini, ambil! Aku ga doyan jajan, takut penyakit. Lagian, dosaku udah banyak. Ga mau numpuk-numpuk lagi."

Mendengarku, gadis malam itu diam. Tak diraihnya uang yang kusodorkan. Entah apa bermain di benaknya. Kemudian ia menatapku tajam, matanya berkaca-kaca.

Hey, kenapa kau Bunga? (Bunga nama yang biasa dipakai dunia jurnalistik untuk menyamarkan nama pekerja seksual maupun korban pelecehan.)

Dia lalu menangis, semakin deras air mata hingga merusak make up-nya. Ia mencondongkan kepalanya hingga menyentuh bahuku. Lalu terisak di situ. Ingin kumenarik diri, tapi rasa iba menghalangi.

Akhirnya. kubiarkan Bunga menumpahkan air mata, meskipun aku tidak ikhlas bahuku menjadi sandarannya.

***