Dua tahun sudah kepergian mama. Namun, 2008 adalah tahun yang mengerikan bagi hidupku. Sebelumnya, papa sering memperlihatkan pas foto perempuan yang akan ia nikahi katanya. Sejujurnya, aku tak pernah mengiyakan apa yang menjadi keinginan papa itu.
Kehidupan tanpa seorang ibu, memang membuat rumah menjadi goyah. Tak ada yang mengurus rumah dengan benar. Tak ada yang memenuhi kebutuhan perut dengan benar. Walaupun sebenarnya setiap hari papa dan aku selalu memasak untuk kebutuhan kami sekeluarga, keberadaan seorang istri tetap saja dibutuhkan bagi naluri seorang laki-laki.
***
Suatu ketika perdebatan itu dimulai. Aku yang selalu tak mengindahkan permintaan papa untuk menikah lagi, membuatnya marah besar. Hingga aku pun dipaksa untuk mau menerima keberadaan ibu tiri kelak. Papa memaksaku sambil melotot dan berkata dengan nada tinggi,
"Kamu mau nurut gak sama Papa, hah?! Papa itu udah gak bisa sendirian ngelakuin semuanya! Sadar gak kamu?!"
Aku yang mendengar nada marahnya saat itu hanya mampu menangis dan berkata,
"Mamaaaa... Nad mau ikut mama ajaa... Haaaa... Mamaaaaa...!" 😭
***
Padangpanjang, Agustus 2010 merupakan saat yang tak pernah kubayangkan sebelumnya sehingga aku berada di kampung halaman mamaku untuk melanjutkan studi di salah satu Universitas swasta di sini. Sebelum memutuskan untuk kuliah di Padangpanjang, aku telah mendaftar di berbagai perguruan tinggi negeri di Jakarta. UNJ, Poltekkes, hingga UNAND dan UNP telah kulalui bersama serangkaian tes lewat jalur UMP dan SNMPTN. Tapi, hasilnya nihil. Aku tidak lolos seleksi. Bahkan, aku juga mencoba NR di UNP sebelum akhirnya aku memilih untuk berkuliah di UMSB Padangpanjang, jurusan FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia. Karena lagi-lagi aku tidak termasuk kategori standar nilai di UNP.
***
Sebelum aku memutuskan untuk melanjutkan studi di Minang, papa sudah melakukan nego denganku.
"Gimana sih Nad, sekian banyak tes ga ada satu pun yang lulus? Kamu di sekolah ngapain aja sih?" tanya papa dengan nada sindirannya yang tak pernah aku sukai jika membahas masalah kualitas ilmuku di sekolah.
Aku memiliki kemampuan rata-rata. Di SMAN 2 Tangerang Selatan, aku merupakan anak IPA dengan nilai rata-rata UN 85. Sindiran papa tak pernah jauh dari nilai-nilai dan peringkat di sekolah. Bahkan, aku selalu dibandingkan dengan anak-anak saudaranya yang memiliki prestasi yang jauh lebih baik di atasku.
Menanggapi sindirannya, aku hanya terdiam. Lalu papa melanjutkan,
"Ya, udah kalo gitu mending kamu kerja aja lah di pabrik." Nego dimulai. Karna papa berpikir uang kuliah di Jakarta pasti mahal.
"Gak mau! Nanad gak mau kerja. Nad mau kuliah." Aku menolak dengan tegas.
***
Akhirnya suatu ketika, aku curhat dengan om Aril mengenai masa depanku. Om berkata melalui telepon,
"Gimana kalo Nanad lanjut kuliah di kampung? Kebetulan di sana ada kampus yang dekat sama rumah Nenek. Jadi, Nad masih bisa terpantau juga kan sama Nenek?" penjelasannya memang mendamaikan, namun ada sedih dibaliknya.
Akhirnya, aku menuruti perkataan om Aril. Om Aril pun membujuk papa dan setuju atas sarannya tersebut.
***
Menjalani hari-hari pertama di Minang merupakan hal yang menakutkan. Di antaranya aku takut tidak bisa berbahasa Minang dengan baik, tidak bisa beradaptasi dengan masyarakat Minang. Tidak akan mudah mendapatkan teman baru yang rata-rata pastinya mereka akan berbahasa Minang, dan lain-lain yang mengkhawatirkan pikiranku.
Jelas bahasa Minangkabau adalah hambatan pertamaku karena aku tidak terbiasa berbahasa Minang sejak kecil. Walaupun sebenarnya aku adalah keturunan asli Minangkabau. Beradaptasi dengan kebiasaan adat Minang sangat membuatku tidak betah berada di daerah yang sejuk ini. Begini salah, begitu salah, ini tidak boleh, itu tidak boleh, semuanya serba diatur. Aku muak! Aku yang terbiasa bebas melakukan segala hal sesukaku, bebas berekspresi, ceplas-ceplos terhadap apa yang ingin kukatakan, cuek, tidak peduli dengan apa pun yang akan terjadi. Kini, semua harus dirubah! Oh my God!
Ini baru hari pertamaku di Padangpanjang. Namun, rasanya aku ingin segera kembali ke tanah Jawa bersama keluargaku. Ya, aku terpisah oleh papa dan adikku, Baliana. Ini membuatku semakin ilfeel dengan adat Minang yang kaku dan membosankan. Bahkan, dalam bergaul pun aku tidak bisa sembarangan mendapatkan teman di kampus. Aku hanya dekat dan akrab dengan mereka yang bisa berbahasa Indonesia dan gaul sepertiku. Menurutku, aku tidak akan pernah bisa menjadi seperti orang Minang, karena aku menganggap mereka selalu bertopeng.
Mengapa aku bisa berkata seperti itu? Karena tak hanya saudara-saudaraku, para tetangga di sekitar rumah, serta teman-temanku di kampus pun mereka sangat berbeda antara depan dan belakang. Hanya bisa berkomentar ketidaksukaannya terhadap orang lain dari belakang! Maksudku adalah menggunjingkan kejelekan orang lain di belakang dan selalu bermuka manis di depan orang yang digunjingkan tersebut. Mereka seolah tidak memiliki masalah sedikit pun dengan orang yang mereka gunjingkan tersebut. Oh shit! Aku paling benci dengan orang-orang seperti itu. Bahkan, hal itu pun pernah ku alami dari sikap saudaraku sendiri.
***
Belum seminggu aku berada di Minang, masalah sudah menghampiriku. Lydia, sepupuku, sangat tidak bertanggung jawab menurutku. Sikapnya membuatku semakin tak suka berada di Minang untuk lebih lama lagi. Lydia membuat masalah dengan sepupuku yang lainnya, Yasa, yang jelas usianya lebih muda darinya. Lydia membuatnya menangis sehingga tanteku yang notabene adalah ibu dari Yasa ingin meminta penjelasan mengapa ia pulang ke rumah sambil menangis. Namun, Lydia yang satu rumah denganku malah mengunci diri di rumah, tidak menemui, bahkan berpura-pura tidak mendengarkan ketokan pintu dari luar. Sehingga membuat tanteku menjadi marah besar.
***
Sebelum aku berada di Minang pun, hubungan antar sesama saudaraku itu memang tak harmonis. Ayah Yasa memang asli Minang, sedangkan ibunya asli Banten, Jawa Barat. Ayah Yasa adalah anak satu-satunya dari adik nenekku, Nenek Ida namanya. Ibu Yasa sudah lama ikut suaminya untuk tinggal di Minang. Namun, ia tak pernah beradaptasi untuk menyesuaikan sikap dan tutur katanya dengan orang-orang di lingkungannya saat ini. Maka, perbedaan adatlah yang menjadi alasan utama ketidakcocokan di antara saudaraku tersebut.
***
Aku yang tidak tahu apa-apa pun malas ikut campur, hingga akhirnya kaca jendela kamarku menjadi pelampiasan amarah tanteku. Pada saat itulah aku menjadi turun tangan dan berusaha mempertanyakan, mengapa tante bisa semarah itu.
"Dek a si Tante ko Lyd? Lu manga?"¹, tanyaku dari seberang kamar tidurku yang kebetulan bersebelahan.
"Aniang se lah lu!"² jawab Lydia ketus.
"Kaco jendela gua pacah ko aa! Emang lu manga sih?!"³ tanyaku makin gusar dan ia pun tak menjawab.
Akhirnya aku membersihkan serpihan kaca yang sebagian masuk ke lantai kamarku. Lydia malah keluar rumah ketika tanteku sudah pergi. Ketika ia melihatku menyapu serpihan kaca itu, ia malah membentakku yang membuatku semakin benci dengan sikapnya yang sok itu.
"Manga lu tu? Sok barasiah! Padia se lah kaco tu, beko wak laporan nyo ka polisi!"⁴, bentak Lydia yang emosi dengan sikapku, yang seolah aku tak berpihak dengannya.
Aku hanya diam dan terus memilih satu persatu serpihan kaca itu. Ketika sudah selesai, aku yang lewat di depannya langsung kuutarakan yang memang harus kuutarakan.
"Dasar ndak bertanggung jawab. Manga lu masuak? Manga ndak lu temui nyo tadi?"5 kataku agak ketus.
"Kalo gua temui inyo, abih nah gua beko!"6 Jawabnya.
"Berani berbuat harus berani bertanggung jawab!" tambahku makin kesal.
Aku berlalu masuk ke dalam kamar tanpa peduli apa yang ia pikirkan tentangku. Aku yang darah tinggi terhadap sikapnya yang menurutku pengecut itu makin membuatku tidak ingin berlama-lama di Minang.
Karena hal tersebut menurutku tidak gantle dan hanya berani main belakang. Ternyata perilaku seperti itu kutemukan di setiap tempat, pada setiap orang yang kukenal. Sangat memuakkan!
***
¹ "Kenapa si Tante Lyd? Lu ngapain?"
² "Diam aja deh lu!"
³ "Kaca jendela gua pecah nih! Emang lu ngapain sih?"
⁴ "Ngapain lu tuh? Sok bersih! Biarin aja lah! Nanti kita laporin dia ke polisi!"
5 "Dasar gak bertanggung jawab! Ngapain lu masuk? Ngapain gak lu temui dia tadi?"
6 "Kalo gua temui dia, abis lah gua nanti!"