webnovel

Dua Puluh Satu

Aku sudah tidak lagi bekerja di PT. Patco. Ketika habis masa kontrakku, aku memutuskan untuk memasukkan lamaran ke sekolah-sekolah sekitar Tangerang. Baik sekolah negeri maupun swasta. Baik jenjang SD, SMP, maupun SMA. Aku pun bergegas membuka kembali surat lamaran yang pernah aku buat di notebookku. Aku perbaharui kembali, aku tambahkan pengalaman pekerjaanku bahwa aku pernah bekerja di beberapa perusahaan selama satu tahun lamanya.

Suatu ketika teman SMA-ku, Irma, yang sebenarnya sudah lama sekali kami tak pernah berkomunikasi. Paling tidak kami hanya saling memberikan like dan komen di setiap status kami di Facebook. Saat itu, Ia menghubungiku melalui Facebook untuk mengajakku memasukkan lamaran ke salah satu SD swasta di Tangerang. Irma yang aku tahu sebelumnya mengajar di SMP swasta, ternyata sudah lama resign dan mendapat panggilan untuk menjadi guru IPA di SD tersebut. Ia mengatakan bahwa kepala sekolah di SD itu sedang membutuhkan guru Bahasa Indonesia. Aku yang tak berpikir panjang langsung mengiyakan tawarannya. Hingga akhirnya aku datang menemui kepala sekolah di hari yang sama. Di sana ada Irma yang masih menungguku. Kemudian aku menyerahkan lamaran yang telah aku buat secara mendadak hari itu. Kemudian kepala sekolah pun serta merta membicarakan waktu mengajar kepada kami. Bahkan, tanpa mempermasalahkan pengalaman kerjaku yang sama sekali nihil dalam hal mengajar.

Aku tercengang karena dengan melihat berkas lamaranku, aku langsung saja diterima untuk mengajar di sana. Aku cukup senang dan berterima kasih pada Irma. Karenanya, aku tak mengganggur terlalu lama. Irma pun menjawab bahwa sebenarnya ia pun ingin ada teman yang telah ia kenal untuk mengajar bersama di sana, agar ia tak lagi kikuk ketika beradaptasi di lingkungan baru nantinya.

***

Irma adalah temanku dari masa SMP. Ia adalah anak tunggal. Yang aku tahu, anak tunggal terkesan manja. Namun, tidak dengan Irma. Di usia yang sama denganku, aku merasa Irma lebih dewasa dan keibuan. Aku kagum dengannya yang jika berbicara pun sangat lembut dan santun. Mungkin karena ia berasal dari keturunan Jawa, sehingga pembawaannya selalu ayu dan anggun.

Sebenarnya aku tidak terlalu dekat dengan Irma saat sekolah dulu. Tapi, kami suka berbincang-bincang. Karena sejak SMP dan SMA kami selalu bertemu. Serta selama sekolah, Ia memiliki sahabat yang juga bersahabat denganku, mungkin itu yang membuat Irma ingin mengajakku menjadi rekan mengajar di sekolah yang sama. Kami pun tak percaya ketika dunia ini terlalu sempit karena telah mempertemukan kami kembali di dunia kerja dengan profesi yang sama, yakni seorang Guru.

***

Aku pun hanya tertawa mendengar alasannya. Tak lama kemudian akhirnya kami bertukar nomor WhatsApp dan kembali pulang ke rumah dengan hati gembira karena telah mendapat kemudahan dari Yang Maha Kuasa.

Karena seperti yang kita tahu, mencari pekerjaan di zaman ini sangatlah sulit, jika tidak ada kenalan orang dalam. Katanya. Bahkan, bukan rahasia umum lagi, jika bekerja di perusahan kini memaksa kita untuk mengeluarkan sejumlah uang untuk dapat masuk tanpa jalur tes. Bahkan ada pula yang sampai diiming-imingi sebagai karyawan tetap di sebuah perusahaan, jika mampu membayar sekian juta pada orang dalam tersebut. Padahal banyak oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang bertujuan untuk mendapatkan uang secara instan. Namun, pekerjaan yang dijanjikan sebelumnya hanya seperti fiktif belaka.

***

Akhir November 2016, aku keluar dari PT. Patco. Januari 2017, aku mulai mengajar di SD Jasutdi. Hanya dalam rentang waktu kurang lebih dua bulan itu aku sudah kembali memiliki kesibukan dalam karirku.

***

Gedung yang berlantai tiga, dengan AC yang terpasang di setiap kelasnya, loker yang dimiliki masing-masing anak di setiap kelasnya, serta lantai yang selalu bersih, dimana sepatu anak-anak pun diletakkan di luar kelas, menggambarkan betapa elitnya sekolah ini daripada sekolah dasarku dulu. Memang iya, biaya SPP perbulan mereka pun sekitar kurang lebih lima ratus ribu rupiah.

Awalnya aku menikmati, bahkan mencoba belajar memahami karakter murid-muridku yang menurutku semuanya sulit diatur. Bagaimana tidak, aku yang memiliki background pengajar untuk pendidikan menengah harus belajar dari nol untuk memahami anak-anak sekolah dasar. Bercanda, berlarian, tertawa, teriak, bahkan ada yang menangis tiba-tiba, membuatku pusing bukan kepalang.

Aku ditugaskan mengajar siswa-siswi kelas 4,5, dan 6. Anak-anak yang menurutku sedang aktif-aktifnya dalam hal bermain. Sehingga, keanekaragaman karakter masing-masing siswa masih harus aku dalami agar mereka mau memperhatikanku ketika belajar. Seringkali aku mengadukan ketidakmampuanku dalam hal menegur anak-anak yang hiperaktif itu kepada Irma, bahkan guru-guru yang lebih senior di sana. Namun, mereka hanya menasihatiku untuk bersikap tegas dan bersabar saja.

Di salah satu kelas 4, misalnya. Mereka berisikan anak-anak yang pintar sekaligus aktif. Ketika aku memulai untuk belajar, mereka malah asik dengan slime atau bahkan candaan bersama temannya. Aku yang baru pertama kali mengajar itu benar-benar tak mengerti harus berbuat apa. Sedangkan di setiap sudut kelas terpasang CCTV yang mengawasi dari ruang piket. Aku ingin memarahi mereka pun tak tega karena aku berpikir mereka masih anak-anak. Namun, di sisi lain aku juga khawatir, jika ini terjadi setiap hari, bisa jadi materi pembelajaran akan tertinggal jauh karena aku hanya sibuk membuat mereka untuk tetap diam di tempat duduknya masing-masing. Aku benar-benar merasa seperti baby sitter yang berada di tempat penitipan anak.

***

Setiap hari aku lalui, bukan perasaan bahagia yang kudapatkan. Tetapi, semuanya menjadi beban dan seolah tanggung jawab ini tak mampu aku jalankan. Saat itu aku benar-benar tertekan karena anak didikku yang keluar dari kendaliku. Suatu hari di kelas, mereka tak mendengarkan perintahku untuk tenang. Malah karenanya, sampai ada yang bertengkar hebat hingga membuat suasana kelas makin kacau. Mereka adalah dua bocah lelaki kelas 4C. Mereka tak lagi bertengkar mulut, tetapi sudah saling pukul memukul satu sama lain. Teman-teman sekitarnya sudah berusaha melerai, namun tak mampu. Saat itu aku yang tak mampu melerai mereka, kupanggilkan saja wali kelasnya. Aku pun keluar kelas dengan emosi dan perasaan tertekan hebat dengan tanggung jawab sebagai seorang Guru. Di sisi lain, aku merasa telah gagal menjadi seorang Guru.

Di meja piket, di lantai yang sama dengan kelas itu, aku curhat dengan seorang guru yang juga sedang duduk di sana. Sehingga, Irma pun menemuiku karena terdengar ada keributan dari kelas sebelahnya. Aku yang tak mampu membendung rasa kecewa terhadap diriku sendiri, langsung mencurahkan semuanya kepada guru-guru di sekitarku dengan luapan emosi dan tangis yang pecah yang selama ini sudah kubendung.

Aku mengatakan bahwa aku tak mampu mengahadapi anak kecil. Aku tak mampu mengendalikan kelas, terutama kelas 4 yang bermasalah tadi. Aku merasa gagal. Semua uneg-uneg telah kusampaikan pada rekan guru lainnya. Mereka tetap menasihatiku untuk sabar dan memaklumi bahwa mereka masih anak-anak.

***

Hari demi hari kulewati dengan pola yang tak jauh berbeda selama satu bulan lamanya. Suatu hari, entah aku yang norak atau memang lingkungan mengajar yang lembab karena setiap kelas terpasang AC. Sedangkan, aku selalu berpindah dari lantai satu sampai lantai tiga. Rasa lelah dan keringat yang seharusnya keluar untuk menetralisir kondisi tubuh, malah masuk kembali ke dalam dikarenakan ruangan kelas yang ber-AC. Mungkin karena setiap hari seperti itu, apalagi kondisi mentalku yang menekan kondisi fisikku hingga menjadi lemah, aku pun mengalami meriang tiba-tiba saat sedang mengajar di kelas 5.

Saat itu tiba-tiba saja kepalaku pusing dan badanku terasa panas dingin. Aku meminta minyak kayu putih kepada anak didikku. Ternyata mereka memilikinya. Akhirnya, aku hanya menugaskan mereka untuk mengerjakan tugas di buku LKS-nya. Anak-anak perempuan di sana malah mendatangiku dan bersikap care ketika aku mengatakan sedang kurang sehat. Bahkan, aku diminta untuk pulang dan beristirahat saja di rumah oleh mereka. Di sisi lain, mereka itu anak-anak yang manis, ucapku dalam hati.

***