webnovel

Dua Belas

Ini baru awal. Aku akan masuk ke tahap yang lebih tinggi lagi, dimana aku harus memasuki dunia baru. Aku akan menjadi bagian masyarakat. Bukan lagi pelajar seperti yang telah aku alami dari TK, SD, SMP, SMA, hingga sekarang di Universitas. Aku amat sangat bahagia. 😄

Semoga aku tak pernah melupakan segala pengalaman yang telah aku alami di Minang. Semoga aku tak pernah lupa dengan segala nasihat orang-orang yang sayang dan care padaku. Semoga aku juga tak lupa dengan semua orang yang aku kenal di Minang. Mulai dari saudaraku, temanku, dosenku, murid SMA-ku saat aku Paktek Lapangan (PL), serta semua orang yang tak bisa aku sebutkan satu persatu, dan bahkan termasuk juga orang-orang yang menyukaiku. Hehe.

Walaupun tak ada lagi sosok mama. Serta Baliana yang tak bisa menghadiri acara wisudaku karena ia sekolah. Tak apalah. Papa sudah sangat mewakili semuanya. Karena papa adalah sosok motivator terhebatku. Walaupun aku akui, papa itu keras dan juga menyebalkan. Tapi, papa tak pernah menyuruhku untuk lalai terhadap segala pekerjaan, bahkan untuk urusan ibadah terutama shalat. Papa selalu ingin aku menjadi orang pintar, berani, luwes, dan berguna bagi banyak orang. Papa selalu menasihatiku ini-itu tanpa menyudutkan dan menjelek-jelekkan orang lain. Malah, aku yang sering disudutkannya jika ia sedang menasihatiku. Padahal aku tak pernah berlaku seperti yang ia katakan. Kadang ia juga suka lebay sih. Aku tahu, papa seperti itu hanya ingin aku berpikir dan bersikap lebih dewasa. Serta, papa hanya ingin aku berpasrah diri pada yang Kuasa. Berdoa, berzikir, mengaji, dan tawakal hanya kepada Allah. Itu yang selalu menjadi pesan papa kepadaku setiap di telepon.

Aku sayang semuanya. Semua orang yang mengenalku, dari yang menyayangiku hingga yang membenciku. Terimakasih atas segala warna yang kalian berikan pada hidupku. Ini kado terindahku untuk kusampaikan pada Allah, bahwa aku mampu menjadi manusia yang bisa membanggakan orangtua. Aku bisa walau tanpa sosok mama. Aku bisa walau hidup berjauhan dari papa dan adikku. Aku bisa melewati ini dengan segala perjuanganku sendiri. Tangisku, tawaku, keluh kesahku, serta candaku. Aku bisa! Karena aku punya Kamu, ya Rabb, Allahku cintaku. Terimakasih. Alhamdulillah. 😄

***

Persembahanku untuk Minang

Tuhan menciptakan memori bagi manusia berupa otak yang mampu mengingat segala kejadian yang telah terjadi. Kejadian terekam dari yang menyenangkan maupun yang menyakitkan hingga puluhan tahun yang lalu sekalipun. Sayangnya, kita tak mampu untuk menghapusnya. Tak seperti komputer yang bisa kapan saja kita delete jika keberadaannya tak dibutuhkan lagi.

Terlalu banyak kenangan yang terukir indah selama empat tahun masa pendidikanku di Sumbar, khususnya di Padangpanjang. Tapi, tak kalah banyak kenangan pahit yang kualami selama di bumi Minang ini. Yang dengannya menjadikanku semakin kuat, tegar, ikhlas, dan bijak dalam menghadapi setiap kejadian yang bahkan tak diinginkan oleh setiap orang sekalipun.

Sedih rasanya jika harus meninggalkan ranah Minang yang sangat berperan besar dalam rangka mendidikku menuju tahap kedewasaanku. Akankah aku tetap tinggal di sini atau di bagian bumi yang lain untuk masa depanku nanti, aku pun tak tahu?

Yang pasti, terimakasih teman-teman yang telah memarahiku ketika etikaku tak sesuai dengan adat di Minang.

Terimakasih keluargaku di Padangpanjang yang telah menasihatiku banyak hal tentang bagaimana bersikap dan berperilaku.

Terimakasih saudaraku yang banyak mendukungku hingga gelar Sarjana telah kuraih.

Terimakasih dosen-dosenku yang telah memberi banyak ilmu, inspirasi, dan gaya mengajar yang kelak bisa ku teladani.

Terimakasih untuk semua orang yang telah membantuku hingga aku tetap bertahan dan berhasil di sini tanpa adanya orangtuaku sekalipun.

Terakhir, terimakasih cinta yang tak terganti.

***

Ilmu psikologi dan penerapan yang konkret, aku dapat dari Minang. Istilah yang tak hanya simbol, selain bermakna mendalam, nasihat terselip di sana. Itu pun menjadi ciri khas pribadi masyarakatnya, seperti;

Alam takambang jadi guru¹,

Dima bumi dipijak di situ langik dijunjuang²,

Batanam tabu di tapi bibia³,

Capek kaki ringan tangan⁴,

Lancar kaji dek baulang5,

Adaik basandi sarak, sarak basandi kitabullah6, dll.

***

Dua hari sebelum akhirnya aku kembali ke Tangerang, yang mungkin akan selamanya menetap di sana. Aku berusaha menatap lekat-lekat langit malam yang dipenuhi bintang-bintang terang dari rumah nenek. Merasakan dinginnya udara malam tanpa menggunakan jaket. Lalu menuju ke dalam rumah dengan kembali menatap seluruh ruang kamar yang telah aku tempati selama empat tahun lamanya. Serta mengingat kembali setiap kenangan yang telah aku lalui bersama semua orang yang menyayangiku, pun yang membenciku di Minang.

Seketika aku pun menatap seikat bunga edelwis yang sengaja aku letakkan di dinding kamarku. Walaupun memang sudah kering karena sudah cukup lama, dimana itu merupakan pemberian dari anak didikku saat aku melakukan praktek lapangan di tahun ketiga perkuliahanku.

Waktu itu malam hari selepas magrib, ia sengaja datang ke rumahku hanya untuk mengantarkan bunga edelwis yang ia petik dari gunung Singgalang. Ia memang anak gunung. Aku pun tak mengerti mengapa dia rela mengambilnya untukku. Aku amat terkesima dengan perlakuannya.

"Nad, ada yang mencari kamu tuh!" sahut nenek setelah melihat adanya tamu yang datang dengan sepeda motor.

Aku yang baru saja melaksanakan shalat magrib, belum sempat aku melepaskan mukenaku, langsung kutemui karena penasaran. Karena memang jarang sekali aku memiliki tamu, apalagi jika sudah malam seperti ini.

"Ya ampun, Ilham! Ada apa?" aku terkejut dari balik pintu rumah. Lalu aku temui ia di teras rumah.

"Ini untuk kakak. Aku sengaja ambil untuk kakak. Aku baru sampai dari mendaki nih kak." jelasnya.

"Ya, Allah.. Serius Ilham ambil untuk kakak? Makasih banyak ya, Am." sahutku tak percaya.

"Sama-sama. Aku langsung pulang ya, kak?" katanya sambil menghidupkan mesin sepeda motonya.

"Hah? Kok langsung pulang? Gak mau mampir dulu?" tahanku padanya yang tak enak rasanya, jika ia langsung pulang begitu saja setelah memberiku "hadiah".

"Gak apa-apa kak. Udah malam juga. Lain kali aja Ilham mainnya, ya? Yuk, kak! Assalamu'alaikum." pamitnya sambil tersenyum lebar ke arahku.

"'Alaikumsalam. Ok deh. Makasih banyak ya, Ilham. Hati-hati!" seraya melambaikan tangan ke arahnya.

Hingga nenek pun terkejut, mengapa tamuku langsung pulang dan tidak mampir dahulu. Aku pun mengatakan bahwa ia hanya mengantarkan bunga tersebut kepadaku. Ketika itu jua nenek bertanya yang bukan-bukan,

"Hah? Cuma mengantar bunga? Suka dia ke Nanad mungkin tuh, ya?" sahut nenek seraya meledekku dengan tawa kekehnya.

"Nggak mungkinlah, Nek. Dia itu murid Nanad dulu waktu PL. Entahlah kenapa dia cuma mau kasih bunga itu. Mungkin Nad spesial kali di hatinya, ya?" candaku pada nenek sehingga membuat kami tertawa bersama.

***

Aku pun heran. Mengapa aku bisa bertemu lagi dengan nama Ilham, namun dengan orang yang berbeda. Tetapi, mungkin aku adalah orang yang selalu spesial di hati para Ilham di luar sana. Maafkan narsisku yang mulai lagi, ya? 😉

***

Memang, sosok bang Ilham tak pernah semudah itu aku lupakan. Karena selama kami jadian hingga sudah putus pun, kami selalu bertemu. Karena memang satu kampus, juga satu kelas. Dia banyak mengulang mata kuliah di semesterku. Tak hanya itu. Dia pun sering sekali mengajakku jalan dengan menjemputku di rumah. Padahal ia tahu kalau kami sudah putus. Hanya saja, kedekatan kami itu tak bisa begitu saja dilenyapkan. Rasa nyaman serta kasih sayang yang mungkin saat itu telah berubah menjadi sahabat, bahkan saudara, membuat kami seolah saling membutuhkan. Layaknya kakak beradik saja.

Namun, sayangnya saat aku akan kembali ke Tangerang, ia tak hadir untuk sekedar mengantarku ke bandara. Karena memang hari itu adalah hari kerjanya. Jadi, aku pun hanya pamit melalui sms. Dia pun membalas dengan mengucapkan maaf karena tidak bisa mengantarku untuk pertemuan yang terakhir kalinya itu.

***

Keberadaanku di Minang ternyata bukan takdir. Melainkan merupakan sebuah kesengajaan yang diizinkan oleh Tuhan.

Thanks to Minang. Will miss you so much.

***

5 Januari 2015. "Selamat datang di Bandara Internasional Soekarno-Hatta". Selamat datang di Tangerang. Selamat tinggal Minang. Sampai jumpa lagi.

***

¹ Alam yang terhampar luas (bisa) jadi guru,

² Dimana bumi dipijak di situ langit di junjung,

³ Bertanam tebu di tepi bibir,

⁴ Cepat kaki ringan tangan,

5 Lancar ngaji (baca Qur'an) karena diulang-ulang,

6 Adat bersendi pada syari'at, syari'at bersendi pada kitabullah (Qur'an).

Daynutzcreators' thoughts