Beberapa minggu setelah rapat orang tua murid, suasana sekolah mulai sedikit lebih tenang. Bisikan tentang "telinga kelinci" Liora masih ada, tapi tidak lagi setajam sebelumnya. Liora mulai berani berjalan tanpa terlalu sering memeriksa topinya. Di sampingnya, Mika dan Rani tetap menjadi sahabat yang setia, seakan tidak pernah bosan mengangkat semangat Liora dengan komentar-komentar mereka yang kadang absurd.
Suatu pagi, ketika mereka sedang berjalan menuju kelas, Mika tiba-tiba berhenti dan menatap Liora serius.
"Liora, aku punya ide gila!" kata Mika sambil mengangkat telunjuknya dramatis.
Sejak kejadian hujan-hujanan itu, persahabatan Liora dan Mika semakin kuat. Mika selalu punya cara untuk menghibur Liora, membuatnya merasa bahwa dunia ini masih penuh dengan kehangatan meski ada tatapan-tatapan aneh dari teman-teman lainnya.
Namun, konflik di sekolah belum sepenuhnya usai. Meski sebagian siswa sudah mulai menerima keberadaan Liora, masih ada segelintir anak yang memandangnya sebagai "makhluk aneh"—dan salah satu dari mereka adalah Fikri.
Fikri yang merasa kalah saat Mika membela Liora di depan banyak orang tidak berhenti mencari celah. Ia sering sengaja melempar komentar tajam di koridor atau di kelas. Misalnya, saat Liora berjalan melewati meja Fikri, ia berbisik keras pada temannya.
"Jangan-jangan dia bisa denger lebih jauh dari kita. Telinganya aja spesial," ujarnya sambil melirik Liora.
Mika yang kebetulan mendengar itu langsung memutar tubuhnya. "Fikri, kapan sih kamu berhenti nyinyir? Kalau ngomongin orang nggak bikin kamu lebih keren, tau!"
Fikri mendengus tapi tidak membalas. Ia hanya diam dan menatap Mika tajam, seolah menyimpan dendam yang belum selesai.
---
Di tengah berbagai tantangan, sekolah mengadakan ekstrakurikuler day, di mana setiap siswa bisa memilih klub yang mereka minati. Mika tentu saja langsung mendaftar di Klub Fotografi, alasan utamanya adalah agar ia bisa membawa kamera ke mana-mana dan "mengabadikan semua momen keren Liora."
"Kamu ikut klub apa, Liora?" tanya Mika sambil memegang brosur ekstrakurikuler.
Liora mengangkat bahu. "Belum tahu. Tapi kayaknya Klub Seni menarik deh."
Mika mengangguk bersemangat. "Bagus tuh! Kamu kan suka gambar, iya 'kan?"
"Kayaknya... iya." Liora tersenyum tipis. Ia sebenarnya merasa ragu, takut jika berada di klub itu ia malah mendapat lebih banyak perhatian. Namun, Nadira—ibunya—selalu bilang bahwa ia harus berani keluar dari bayang-bayang ketakutan.
Pada hari pertama bergabung di Klub Seni, Liora disambut oleh Kak Sarah, kakak kelas yang membimbing klub tersebut.
"Selamat datang di Klub Seni! Di sini nggak ada yang namanya aneh, semua karya punya keunikannya masing-masing," kata Kak Sarah ramah.
Liora merasa lega. Namun, hari itu Fikri ternyata juga muncul—bukan sebagai anggota klub, melainkan untuk mengambil tugasnya yang tertinggal di ruang seni. Saat melihat Liora duduk di pojokan dengan pensil warna di tangan, Fikri mendekat.
"Wow, Liora ikut Klub Seni. Kira-kira dia gambar apa ya? Telinganya sendiri?" ujar Fikri sambil tertawa kecil.
Liora terdiam. Ia menunduk, meremas pensilnya, tetapi Kak Sarah tiba-tiba muncul dari balik rak.
"Fikri, ada perlu apa di sini?" tanyanya tegas.
"Eh, nggak, Kak. Cuma ambil tugas," jawab Fikri cepat.
Kak Sarah menatapnya tajam. "Kalau sudah selesai, keluar ya. Klub Seni bukan tempat buat komentar-komentar nggak penting."
Fikri terpaksa pergi, sementara Liora hanya bisa menghela napas lega. Setelah itu, Kak Sarah mendekat dan menepuk bahu Liora.
"Nggak usah dengerin omongan orang yang nggak ngerti. Kamu di sini buat berkarya, bukan buat bikin orang lain puas."
Liora menatap Kak Sarah dengan mata berbinar. Hari itu, untuk pertama kalinya, ia menggambar sesuatu yang spesial—potret pohon besar tempat ia dan Mika sering menghabiskan waktu.
---
Meskipun Liora mulai merasa lebih nyaman, suatu hari terjadi kejadian tak terduga. Salah satu karya Liora—gambar pohon besar dengan detail kecil berupa dua kelinci di bawahnya—dipajang di ruang seni untuk pameran kecil.
Tanpa sengaja, Dina (anak yang dulu sering penasaran) melihat gambar itu saat istirahat.
"Eh, ini kayak Liora sama Mika deh. Lihat kelincinya," ujar Dina pada temannya.
"Aduh, iya! Itu 'kan kayak simbol telinganya Liora," sahut teman Dina.
Bisikan itu cepat menyebar di antara siswa lain. Meski awalnya hanya komentar biasa, ada beberapa anak yang mulai menggunakannya untuk menyindir Liora secara diam-diam.
"Eh, Liora, kok gambarmu bagus sih? Emang kamu sering main sama kelinci beneran?" tanya salah satu anak dengan nada menyindir.
Liora tidak menjawab. Ia hanya menunduk dan bergegas keluar dari ruang seni, merasa kecewa. Mika yang mendengar tentang kejadian itu langsung menghampirinya.
"Liora, udah jangan dipikirin. Itu cuma mulut orang yang nggak ada kerjaan," kata Mika sambil berjalan di sebelahnya.
"Tapi mereka tetap ngomongin aku, Mika. Sampai kapan?" balas Liora lirih.
Mika berhenti dan menatap Liora dengan serius. "Sampai kamu berhenti peduli apa kata mereka."
Liora mendongak, menatap Mika yang selalu penuh semangat. Kata-kata itu menancap di hatinya. Mika benar. Mungkin sudah waktunya ia menerima dirinya sendiri sebelum meminta orang lain menerimanya.
---
Beberapa minggu kemudian, sekolah mengadakan acara Pentas Seni yang melibatkan semua klub, termasuk Klub Seni. Kak Sarah memberi kesempatan pada Liora untuk memajang karyanya di panggung pameran.
Awalnya, Liora ragu. Namun, dengan dorongan Mika, Rani, dan Kak Sarah, ia akhirnya berani membawa gambar terbaiknya—potret pohon besar dengan detail indah, kali ini tanpa simbol "kelinci" di bawahnya. Gambar itu menggambarkan persahabatan, dedaunan yang saling berpegangan seperti dua tangan yang menyatu.
Pada hari acara, orang-orang melihat karyanya dan banyak yang terkesan. Bahkan Dina, yang dulu sering penasaran, mendekatinya.
"Liora, gambarmu keren banget. Maaf ya kalau aku pernah gangguin kamu."
Liora tersenyum kecil. "Makasih, Dina."
Di sisi lain, Mika berdiri dengan kamera di tangannya, sibuk memotret karya Liora. "Lihat 'kan, aku udah bilang kamu itu hebat. Harus percaya sama diri sendiri!" teriaknya dari jauh.
Liora tertawa kecil. Dalam hatinya, ia merasa lega. Hari itu bukan sekadar pameran seni, melainkan langkah kecilnya untuk berdamai dengan dirinya sendiri.
Ketika acara selesai, Mika menghampirinya sambil menyerahkan foto karyanya yang sudah dicetak cepat.
"Ini buat kenang-kenangan," ujar Mika.
Liora memandang foto itu dengan senyum bahagia. "Makasih, Mika. Tanpa kamu, aku nggak akan bisa sekuat ini."
Mika nyengir lebar. "Sahabat 'kan emang buat itu."
di suatu sore, di bawah pohon besar favorit mereka, Mika berkata sambil melihat langit, "Liora, nanti kalau kita lulus, kita bikin klub sendiri yuk. Klub Anak Beda Tapi Keren."
Liora tertawa. "Setuju. Kamu ketuanya ya!"
"Siap! Anggotanya kamu dan aku. Kita keren berdua aja udah cukup!" jawab Mika sambil tertawa keras.
Liora mendesah sambil mengikat tali sepatunya. "Idemu biasanya memang gila, Mik. Apa lagi kali ini?"
"Bagaimana kalau kita bikin 'hari kebebasan topi'? Semua orang di sekolah harus pakai topi seharian biar kamu nggak sendirian!"
Rani tertawa terbahak-bahak mendengar ide itu. "Mika, kalau topinya harus kayak punya Liora, itu sama saja bikin parade telinga kelinci."
"Nah! Itu keren, kan?" Mika menyeringai puas seakan menemukan solusi paling jenius di dunia.
Liora hanya bisa menggeleng sambil tertawa kecil. "Nggak perlu parade topi, Mik. Cukup kamu jadi teman baik aja, itu udah lebih dari cukup."
Suatu siang di hari Sabtu, Mika mengajak Liora dan Rani untuk piknik kecil di taman belakang sekolah. Mereka membawa bekal seadanya—nasi kepal buatan Rani yang sedikit miring bentuknya, roti isi buatan Mika yang isinya terlalu banyak keju, dan apel dari Liora.
"Ini bukan piknik," komentar Liora sambil menatap keranjang Mika yang berisi bola sepak. "Ini latihan olahraga."
Mika tertawa lebar. "Ya udah, abis makan kita main bola!"
Rani memutar bola matanya. "Kita bertiga aja main bola? Kucing liar aja nggak bakal mau jadi pemain cadangan kita."
Namun, mereka tetap bermain bola. Mika—dengan sikap terlalu percaya dirinya—berhasil membuat bola nyangkut di pohon besar. Usaha mereka untuk mengambil bola, Rani mencoba melemparkan sandal, tapi sandalnya ikut nyangkut. Mika memanjat pohon, hanya untuk terjebak di atas ranting sambil berteriak minta tolong.
Liora duduk di bawah pohon, tertawa sampai perutnya sakit. "Kalian itu bencana berjalan!"
Akhirnya, mereka pulang dengan bola yang tersangkut, sandal hilang, dan Mika yang berjalan pincang karena jatuh dari pohon. Namun, di tengah kekacauan itu, Liora merasa bahagia. Itu adalah hari pertama ia tertawa lepas sejak insiden topinya.
Beberapa hari kemudian, Dina—yang mulai berteman dengan Liora—mengundangnya ke pesta ulang tahunnya. Undangan itu disambut dengan penuh kebingungan oleh Liora.
"Harusnya aku datang nggak ya?" tanyanya pada Mika di kantin sekolah.
Mika mengunyah donat sambil berpikir keras. "Tentu aja! Gratisan, Liora! Tapi syaratnya, kita datang bareng. Kalau ada yang rese, biar aku yang tanggung jawab."
Rani menambahkan sambil menyeruput es teh. "Tapi jangan lupa bawa hadiah. Dina kan sekarang temen baik kamu. Nggak enak kalau datang tangan kosong."
Akhirnya, hari pesta pun tiba. Mika dan Rani datang ke rumah Dina bersama Liora. Dina menyambut mereka dengan wajah ceria. Rumahnya dihias dengan balon warna-warni dan meja penuh makanan. Semua berjalan lancar sampai Fikri muncul—lagi.
"Eh, telinga kelinci datang juga ya," ucap Fikri dengan senyum miring.
Liora merasa canggung, tapi Mika segera menarik perhatiannya. "Fikri, makan dulu deh. Mulut kamu kebanyakan ngomong kosong, butuh diisi nasi biar pinter!"
Suasana canggung langsung pecah dengan tawa dari anak-anak lain. Bahkan Dina ikut tertawa, membuat Fikri cemberut dan memilih menyendiri di pojokan.
Malam itu, Dina memotong kue ulang tahunnya, dan di akhir pesta, ia berbisik kepada Liora, "Aku senang kamu datang. Aku dulu penasaran, tapi sekarang aku tahu kamu teman yang baik."
Liora pulang dengan hati ringan. Untuk pertama kalinya, ia merasa kehadirannya diterima oleh banyak orang.
Beberapa minggu setelah pesta Dina, Mika mengundang Liora dan Rani menginap di rumahnya untuk "petualangan malam." Namun, petualangan versi Mika ternyata berarti menyelinap ke dapur tengah malam untuk mencari camilan.
"Ini kayak jadi detektif, Liora!" bisik Mika sambil memegang senter kecil.
Liora menahan tawa. "Mik, ini bukan detektif. Ini cuma kamu lapar tengah malam."
Namun, petualangan itu berujung kacau ketika Mika menabrak vas bunga. Suara pecahan itu membuat ibu Mika keluar dengan wajah mengantuk.
"Mika, ngapain jam segini?" tanya ibunya sambil memicingkan mata.
Mika dengan wajah polos menjawab, "Aku... aku cuma ngajarin Liora sama Rani cara jadi ninja, Bu."
Liora dan Rani langsung meledak tertawa, sementara ibu Mika hanya bisa geleng-geleng kepala.
Dengan berbagai momen menyenangkan bersama Mika dan Rani, Liora mulai memahami satu hal: meskipun tidak semua orang bisa menerima perbedaannya, ia tidak perlu hidup dalam ketakutan.
Suatu pagi, Liora melepas topinya saat masuk kelas, mengejutkan teman-temannya. Namun kali ini, ia melakukannya dengan senyuman.
Mika berbisik pelan, "Keren, Liora. Akhirnya kamu jadi pahlawan tanpa topi."
Liora menatap Mika dengan senyum lebar. "Terima kasih, Mika."
Mika membalas dengan anggukan puas. "Selalu ada buat kamu, temanku yang luar biasa."
Pagi yang cerah, ketika bel masuk baru saja berbunyi, Mika tiba-tiba muncul di kelas dengan wajah panik.
"Liora ! Rani! Kalian harus bantuin gue !" serunya sambil menjatuhkan tasnya di lantai.
Liora dan Rani saling berpandangan bingung. "Kenapa, Mika?" tanya Rani.
"Gue lupa bikin tugas biologi tentang tanaman, padahal hari ini harus dikumpulin! Kalau gue dapat nilai jelek, nyokap gue bakal confiscate kamera gue!" kata Mika dramatis, seolah hidupnya berakhir di hari itu.
Liora memutar mata. "Ya ampun, Mika. Itu tugas dua minggu lalu, lho."
"Udah, udah, jangan ngomel. Tolongin gue, dong! Gue punya ide…" Mika menyeringai sambil membuka kotak makanannya. Di dalamnya ada nasi goreng dan beberapa sayur hijau.
"Kita bikin eksperimen tanaman dari sini," lanjut Mika dengan percaya diri.
Rani menatap Mika seperti melihat alien. "Maksud lo, dari sisa sayur lo ini?"
"Iya ! Kita bilang aja ini 'tanaman unik dengan kandungan gizi tinggi hasil uji coba pribadi.' Siapa tahu Bu Nisa bakal kagum!" ujar Mika sambil mengacungkan brokoli kecil.
Liora menutup wajahnya dengan tangan. "Mika, lo tuh bener-bener nggak ada serius-seriusnya, ya."
Namun, karena waktu yang mendesak, akhirnya Liora dan Rani membantu Mika. Mereka mengambil beberapa daun bayam dan brokoli dari kotak makanannya, menempelkan ke karton seadanya, lalu menuliskan judul: "Eksperimen Nutrisi pada Tanaman Mikro."
Saat tiba di kelas Biologi, Mika dengan percaya diri maju ke depan kelas membawa "karya besar"-nya.
"Bu Nisa, ini eksperimen gue. Tanaman ini…"—Mika mengangkat brokoli kecil dengan khidmat—"adalah tanaman berprotein tinggi hasil rekayasa nutrisi."
Seluruh kelas tertawa terbahak-bahak, termasuk Bu Nisa.
"Mika, itu namanya lauk makan siang, bukan tanaman eksperimen," kata Bu Nisa sambil menahan senyum.
Mika kembali ke meja dengan wajah pasrah. "Yah, setidaknya gue berusaha…"
Liora dan Rani tertawa sampai perut mereka sakit. "Gue nggak akan lupa ini seumur hidup, Mika. Lo bikin eksperimen dari sayur makan siang!" kata Rani sambil menyeka air matanya.
"Setidaknya kamera gue belum diambil… untuk sekarang," balas Mika dengan wajah puas.
---
Beberapa minggu kemudian, sekolah mengadakan Hari Seni dan Budaya, di mana semua siswa diwajibkan tampil dengan kostum tradisional atau kreatif.
Rani, yang selalu penuh semangat, datang ke sekolah dengan kebaya merah cantik. Sementara Liora mengenakan dress putih sederhana, dihiasi pita kecil yang disematkan oleh ibunya.
Namun, Mika… datang dengan kostum yang membuat semua orang terdiam sejenak.
"MIKA! Itu kostum apaan?!" seru Rani ketika melihat Mika berdiri di gerbang sekolah dengan pakaian serba hijau daun dan topi besar berbentuk batang pohon.
Mika tersenyum lebar. "Gue jadi pohon, dong! Kreatif, kan? Bu Nisa bakal bangga."
Liora menutup mulutnya, mencoba menahan tawa. "Lo serius jadi pohon? Ini Hari Seni dan Budaya, Mika, bukan Hari Lingkungan Hidup."
"Tapi pohon kan bagian dari seni alam," jawab Mika tanpa rasa bersalah. "Lagi pula, nggak ada yang bakal seunik gue hari ini."
Mereka bertiga berjalan menuju aula, dan benar saja, Mika langsung menjadi pusat perhatian. Bahkan beberapa anak dan guru tidak bisa menahan tawa.
"Mika, lo bikin hari ini bersejarah," bisik Liora sambil terkikik.
Namun, momen puncak terjadi ketika Mika diminta maju ke panggung untuk berpartisipasi dalam lomba kostum. Alih-alih melakukan pose keren, Mika malah berdiri kaku seperti pohon sungguhan.
"Ssst, gue lagi jadi pohon. Pohon nggak boleh bergerak!" katanya pelan sambil menahan tawa.
Semua orang di aula langsung tertawa riuh, bahkan kepala sekolah pun ikut bertepuk tangan sambil tertawa kecil.
"Kalau ada lomba kostum tergokil, gue yakin lo menang, Mika," ujar Rani sambil menepuk bahunya.
"Yah, gue kan cuma berusaha jadi anak kreatif. Apa salahnya?" balas Mika sambil berjalan dengan gaya pohon yang kaku.
---
Setelah acara seni berakhir, Mika, Liora, dan Rani kembali ke pohon besar di belakang sekolah—tempat favorit mereka untuk menghabiskan waktu bersama.
"Jadi, apa gue pohon terbaik hari ini?" tanya Mika sambil menjatuhkan diri di bawah pohon itu.
"Lo bukan pohon terbaik, tapi lo pohon paling bikin ngakak," balas Rani sambil menggigit cemilan.
Liora tertawa kecil, melihat kedua sahabatnya itu. "Kalian berdua bikin hari-hari gue di sekolah lebih mudah."
Mika mendongak, memandang Liora dengan serius. "Lo tahu nggak, Liora? Kita semua punya sesuatu yang bikin kita beda. Kalau lo punya telinga spesial, gue punya otak 'spesial' yang selalu bikin ide aneh."
Rani menyambung sambil tertawa, "Dan gue? Gue spesial karena harus sabar ngurusin dua anak ajaib kayak kalian."
Mereka bertiga tertawa bersama, tertiup angin sepoi-sepoi di bawah pohon besar itu.
---
Beberapa hari setelah acara seni, Mika muncul di kelas sambil membawa sesuatu.
"Liora, ini buat lo," katanya sambil menyodorkan bingkisan kecil.
Liora mengernyit heran. "Apa ini?"
"Buka aja."
Liora membuka bingkisan itu dan menemukan sebuah topi rajutan baru—warna biru lembut dengan aksen pita kecil di sampingnya.
"Gue tahu lo nggak selalu suka pakai topi, tapi… gue pikir ini bikin lo lebih keren. Dan tenang, ini cukup lebar buat nutup telinga ajaib lo," ujar Mika sambil menyeringai.
Liora tersenyum hangat. "Makasih, Mika. Ini… manis banget."
"Ah, udah jangan terharu gitu. Gue 'kan sahabat spesial lo," balas Mika.
Rani yang duduk di sebelah mereka berkomentar, "Kalau Mika kasih hadiah ke gue, isinya pasti brokoli. Lo beruntung, Liora."
Tawa mereka bertiga memenuhi ruangan.
Hari hari mulai berjalan seperti biasa, Di kelas, Bu Sinta memperkenalkan sebuah pengumuman baru.
"Kalian akan mengikuti kegiatan Festival Kreativitas Sekolah bulan depan. Setiap kelas harus menampilkan sesuatu yang kreatif. Bisa drama, musik, atau karya seni apa pun. Kalian bisa mulai berdiskusi dari sekarang."
Sontak seluruh kelas menjadi gaduh. Beberapa anak mulai melemberikan ide-ide kreative, sementara yang lain sibuk bermain sendiri.
"Drama aja !" seru Mika tiba-tiba, membuat semua mata tertuju padanya.
Rani langsung menyahut, "Mik, kamu mau jadi sutradara ? Drama kayak gimana ?, Jangan-jangan kamu mau bikin cerita ninja lagi."
Mika nyengir.
"Kenapa enggak ? Tapi... mungkin kali ini drama tentang seseorang yang 'berbeda' tapi justru jadi pahlawan."
Saat itu, Liora merasa semua mata mengarah padanya. Ia menunduk sedikit, merasa tidak nyaman. Namun, Mika dengan cepat memotong suasana canggung.
"Bukan Liora, kok! Ini cuma ide. Tapi siapa pun bisa jadi pahlawan di sini, kan?" katanya sambil melirik ke semua teman sekelas.
Setelah kelas selesai, Mika mendekati Liora.
"Liora, dengerin dulu... Aku tahu mungkin ini aneh buat kamu, tapi gimana kalau kita ikut drama bareng? Kamu nggak perlu jadi pemeran utama. Kita bisa bikin sesuatu yang keren."
Liora diam sejenak. Dalam hatinya, ia merasa takut akan jadi pusat perhatian lagi. Namun, senyum optimis Mika membuatnya berpikir ulang.
"Drama kayak gimana?" tanya Liora pelan.
Mika tersenyum lebar. "Tentang seorang anak yang berani jadi dirinya sendiri. Dan pastinya kita bikin ending-nya bahagia!"
---
Hari demi hari, persiapan untuk Festival Kreativitas Sekolah dimulai. Mika menjadi ketua tim, dengan Rani sebagai asisten sutradara.
Liora akhirnya ikut membantu, tapi memilih menjadi bagian dari tim kostum dan dekorasi agar tidak terlalu mencolok.
Namun, masalah datang ketika Fikri kembali dengan sikap usilnya.
"Kalian serius mau bikin drama tentang orang yang berbeda ? Itu kan kayak—" Fikri berhenti bicara, tapi lirikan matanya jelas ditujukan ke Liora.
Beberapa anak yang mendengarnya langsung saling berbisik. Liora merasa nyalinya menciut. Seketika, rasa takut lama itu kembali.
Malam itu, Liora duduk di meja belajar sambil melipat kertas kosong. Nadira memperhatikan dari jauh dan mendekatinya.
"Kenapa, sayang? Kamu kelihatan murung."
"Ma... aku takut ikut festival ini. Semua orang bakal ngomongin aku lagi," jawab Liora lirih.
Nadira memegang pundak Liora dengan lembut. "Kamu tahu, Liora? Kadang orang akan selalu bicara apa pun yang kita lakukan. Tapi Mama lihat, kamu sudah berani sejauh ini. Kamu nggak perlu menyenangkan semua orang—cukup jadi dirimu sendiri."
Kata-kata ibunya membuat Liora sedikit tenang.
---
Hari Festival Kreativitas Sekolah tiba. Semua kelas sibuk mempersiapkan penampilan mereka. Drama dari kelas Liora menjadi salah satu yang paling dinanti karena Mika, dengan gaya kepemimpinannya yang kocak, sudah berhasil membuatnya terdengar seru.
Saat berada di balik panggung, Mika tiba-tiba mendekati Liora.
"Liora, aku ada masalah."
Liora menatapnya dengan khawatir. "Apa?"
"Pemeran utamanya sakit perut... gara-gara kebanyakan makan bakso."
Liora nyaris tertawa, tetapi Mika justru memandangnya serius. "Jadi, kamu mau nggak..., gantiin dia?"
"APA ?! Aku nggak bisa, Mik!" Liora panik.
"Kamu bisa, Liora. Ini cuma cerita tentang anak pemberani, sama kayak kamu. Kita nggak perlu akting—kita cuma perlu jujur."
Setelah perdebatan singkat, Liora akhirnya setuju dengan berat hati.
Liora mengenakan kostum sederhana, ia berdiri di panggung di bawah sorotan lampu, di hadapan seluruh siswa dan orang tua.
Napasnya gemetar, tetapi dari balik panggung, Mika berbisik, "Liora, kamu hebat. Jalan aja pelan-pelan."
Di panggung, cerita berjalan sederhana. Drama itu menceritakan seorang anak yang merasa berbeda dari teman-temannya, tetapi akhirnya menemukan keberanian untuk menerima dirinya sendiri. Ketika adegan terakhir selesai, seluruh aula dipenuhi tepuk tangan.
Liora menatap penonton dengan mata berkaca-kaca
---
Keesokan harinya, sekolah dipenuhi ucapan selamat. Bahkan Fikri, meski enggan, akhirnya mendekati Liora di kantin.
"Drama kemarin... ya, lumayan, sih," katanya dengan canggung sambil menatap lantai.
Mika, yang tidak pernah bisa melewatkan momen, langsung menepuk bahunya keras. "Fikri, itu pujian tertinggi dari kamu, ya?"
Fikri mendengus, tetapi akhirnya ikut tertawa bersama mereka.
Di hari itu, Liora menyadari sesuatu: mungkin tidak semua orang akan berubah seketika, tetapi langkah kecil bisa membuat perbedaan besar.
Saat pulang sekolah, Mika berjalan di sampingnya sambil membawa tas yang hampir jatuh.
"Kamu tahu nggak, Liora? Kamu pahlawan beneran kemarin."
Liora tersenyum kecil. "Aku cuma ngikutin saran kamu, Mik."
"Berarti aku juga pahlawan, dong!" Mika menyeringai lebar.
Liora tertawa. "Iya, pahlawan sok tahu."
Mereka tertawa bersama, suara mereka menggema di jalanan sore itu.
Beberapa minggu setelah Festival Kreativitas Sekolah, suasana di sekolah mulai terasa lebih ringan, meskipun liora masih menjadi pusat perhatian sesekali, kini Liora lebih berani menghadapi tatapan teman-temannya.
Suatu pagi, Bu Sinta mengumumkan sebuah berita yang langsung membuat kelas ribut.
"Minggu depan, kita akan pergi karya wisata ke Taman Rekreasi Sejuta Pesona!" katanya penuh semangat.
Murid-murid langsung bersorak gembira. Bahkan Mika, yang biasanya paling malas mendengar pengumuman, tiba-tiba melompat dari bangkunya.
"Ini serius, Bu ? Ada kolam renang nggak?" tanyanya sambil berseri-seri.
"Ya, Mika. Ada kolam renang, taman bunga, dan wahana permainan."
Mika langsung menatap Liora dengan senyum penuh rencana. "Liora, ini kesempatan emas ! Kita bisa bersantai, main, dan—"
"Jangan bikin masalah, Mik," potong Liora dengan tatapan curiga.
Namun, Mika hanya nyengir misterius. "Aku nggak janji."
---
Hari karya wisata pun tiba. Semua murid berkumpul di halaman sekolah dengan tas penuh bekal, pakaian ganti, dan topi lebar. Mika datang dengan sebuah koper besar—sesuatu yang sama sekali tidak wajar untuk perjalanan satu hari.
"Loh, kamu bawa apa itu, Mik?" tanya Rani, menatap koper Mika dengan bingung.
"Peralatan bertahan hidup!" jawab Mika sambil membuka kopernya. Isinya? Camilan berbagai jenis, kacamata renang, dua handuk besar, dan sebuah semprotan air mainan.
"Ini karya wisata, bukan pindahan rumah," ujar Liora sambil menepuk dahinya.
Dalam bus, Mika, Rani, dan Liora duduk bersebelahan di bangku paling belakang. Suasana riang karena Mika tidak berhenti membuat lelucon. Ketika Fikri melewati mereka, Mika sengaja menyemprotkan air ke arah Fikri.
"WOY!" Fikri berteriak.
Mika tertawa puas. "Itu cuma pemanasan, Fikri. Nanti kita main air beneran!"
Liora dan Rani hanya bisa tertawa sambil menggelengkan kepala.
---
Setibanya di Taman Rekreasi Sejuta Pesona, rombongan sekolah disambut oleh taman bunga berwarna-warni yang indah. Bu Sinta memandu mereka untuk berkeliling taman sebelum bebas bermain.
Liora berjalan bersama Mika dan Rani sambil menikmati pemandangan bunga yang bermekaran. Namun, Mika, dengan kebiasaannya yang selalu iseng, melihat peluang baru.
"Rani, coba lihat bunga itu," bisik Mika sambil menunjuk bunga matahari tinggi. "Kalau kita foto dari bawah, kayaknya kamu bakal kelihatan setinggi tiang listrik."
"Ngaco, Mik!" Rani menjawab sambil tertawa.
Liora hanya memutar bola matanya. "Kalian ini nggak bisa serius sebentar, ya?"
Namun, sebelum mereka bisa berjalan lebih jauh, Mika tersandung sesuatu. Ia jatuh telentang dengan dramatis sambil berteriak, "Tolong! Aku diserang rumput liar!"
Seluruh kelas menoleh dan melihat Mika terbaring di tengah bunga-bunga sambil memegangi kakinya. Bu Sinta datang menghampiri dengan wajah khawatir.
"Mika! Kamu baik-baik saja?"
Mika langsung duduk dengan wajah serius. "Saya baik-baik saja, Bu. Tapi rumput ini... punya dendam pribadi sama saya."
Liora dan Rani langsung tertawa terbahak-bahak. Bahkan Fikri yang mencoba menahan tawa akhirnya ikut cekikikan.
---
Setelah makan siang, mereka diarahkan ke kolam renang. Semua anak-anak langsung bersemangat ganti baju dan bermain air. Liora, yang biasanya memilih untuk duduk di pinggir, kali ini ikut turun ke air karena Mika terus menyeretnya.
"Jangan jadi penonton, Liora! Ayo main air!" seru Mika sambil mencipratkan air ke arah Liora.
"Awas kamu, Mika!" balas Liora sambil mencipratkan air balik.
Sementara itu, Rani sibuk bermain pelampung berbentuk donat, dan Fikri terlihat mencoba bersikap "keren" di tepi kolam. Namun, kejadian lucu terjadi ketika Mika sengaja menyemprotkan air dari botolnya ke arah Fikri.
"Awas, Fik!" teriak Mika.
Fikri, yang kaget, malah terpeleset dan tercebur ke kolam dengan suara "BYUR!" besar. Semua anak yang melihat langsung tertawa terbahak-bahak. Fikri muncul dengan wajah cemberut, rambutnya menutupi wajah seperti rumput laut.
Mika mendekatinya sambil menahan tawa. "Fikri, itu tadi keren banget. Kamu kayak pahlawan film laga yang jatuh dari langit."
"BODOH!" geram Fikri sambil menyiram Mika balik.
Liora tertawa sampai perutnya sakit. Untuk pertama kalinya, ia merasa bebas, benar-benar menikmati hari tanpa harus khawatir tentang apa yang dipikirkan orang lain.
---
Dalam perjalanan pulang, suasana bus lebih tenang karena semua anak kelelahan setelah seharian bermain. Mika, yang duduk di tengah-tengah, mengusulkan sesuatu.
"Kita main cerita-cerita, yuk. Ceritanya harus tentang kejadian konyol hari ini!"
Beberapa anak setuju. Fikri, meskipun kesal, ikut mendengarkan dengan cemberut.
Rani memulai. "Kejadian paling lucu hari ini? Waktu Mika diserang rumput liar!"
Semua anak tertawa. Mika pura-pura cemberut. "Itu bukan lucu, itu tragis!"
Liora menambahkan sambil tersenyum, "Dan waktu Fikri nyebur kolam, itu kayak adegan di kartun."
Fikri mendengus, tetapi sudut bibirnya ikut tersenyum. "Kalian ini nggak ada yang lebih kreatif, ya?"
---
Saat turun dari bus, Mika menatap Liora dengan puas.
"Gimana, Liora? Seru, kan? Kamu udah nggak perlu khawatir lagi soal jadi berbeda. Hari ini, kamu malah jadi terkenal !"
Liora tersenyum hangat. "Makasih, Mika. Kamu emang tukang bikin onar, tapi... dunia bakal lebih membosankan tanpa kamu."
Mika tertawa puas. "Tuh kan, aku bilang juga apa !"
Mereka bertiga berjalan pulang dengan langkah ringan, diiringi matahari senja yang perlahan tenggelam.
Beberapa minggu setelah karya wisata yang penuh tawa, Mika, Rani, dan Liora mulai punya kebiasaan baru: menghabiskan akhir pekan bersama. Mereka sepakat untuk tidak hanya bertemu di sekolah, tetapi juga mencari petualangan baru di luar. Dan seperti biasa, Mika selalu punya ide aneh yang entah bagaimana berakhir menyenangkan.
---
Sabtu pagi yang sangat cersh, Mika datang ke rumah Liora dengan wajah bahagia. Ia membawa sebuah peta besar yang dilipat asal-asalan.
"Liora, Rani, kita hari ini pergi ke... TAMAN KOTA! Aku udah bikin peta harta karun!" serunya sambil menyodorkan peta.
"Peta harta karun?" tanya Rani sambil menyipitkan mata, mencoba memahami coretan aneh yang ada di kertas itu. "Ini peta atau gambar cacing, Mik?"
Mika bersungut-sungut. "Ini peta kreatif! Nih lihat, ada petunjuk pohon gede, kolam ikan, dan warung bakso spesial di ujung taman!"
Liora menghela napas sambil tertawa kecil. "Kamu bikin petualangan sendiri, ya? Oke, ayo berangkat sebelum kamu tambah banyak alasan."
---
Di taman kota, Mika langsung bertindak sebagai "kapten petualangan," lengkap dengan ranting kecil yang ia pakai sebagai tongkat penunjuk arah.
"Baiklah, teman-teman! Kita harus mencari pohon terbesar di taman ini!" serunya sambil melangkah dengan gaya berlebihan.
"Kenapa sih harus pohon?" tanya Liora sambil mengikuti dari belakang.
"Karena di bawah pohon itu mungkin ada harta karun yang terkubur... atau mungkin aja semut raksasa," jawab Mika, membuat Rani tertawa terbahak-bahak.
Mereka akhirnya menemukan pohon besar di tengah taman. Mika langsung berjongkok, memandangi tanah dengan serius.
"Kamu lagi ngapain, Mik ?" tanya Liora sambil mengangkat alis.
"Memeriksa apakah ada tanda-tanda harta karun," jawabnya sambil mengetuk tanah pelan. Namun tiba-tiba... BYUR! Air dari atas jatuh mengenai kepala Mika.
Liora dan Rani langsung menoleh ke atas dan menemukan seorang anak kecil sedang menyiram bunga dari atas pohon, tetapi malah "menghujani" Mika.
"Maaf, Kakak!" teriak anak kecil itu polos.
Rani tertawa sampai terjatuh duduk di bawah pohon. "Mik, harta karun kamu ternyata air yang turun dari atas !"
Mika berdiri dengan rambut basah kuyup sambil mengusap wajahnya. "Ini ujian petualang sejati. Cuma orang tangguh yang bisa melewatinya!"
Liora tak tahan untuk tidak tertawa. "Kita belum nemu harta karun, tapi kayaknya kita nemu kejutan basah buat kamu, Mik."
Setelah kejadian "harta karun" yang berakhir basah, mereka memutuskan untuk makan di warung bakso yang ada di peta Mika. Di sana, Mika, Liora, dan Rani langsung duduk dengan semangat dan memesan bakso.
"Kak, bakso pedas spesial tiga mangkuk, ya!" seru Mika dengan percaya diri.
"Pedas?" tanya Liora. "Mik, kamu kuat makan pedas?"
Mika menepuk dadanya. "Tenang aja! Aku ini legenda dalam urusan makan pedas."
Beberapa menit kemudian, bakso pedas spesial mereka datang. Uap panas dengan aroma sambal langsung naik ke udara. Mika memandangi mangkuknya dengan ekspresi yakin.
"Kalian saksikan, ini hari di mana Mika menjadi pahlawan bakso pedas!" katanya sambil menyendok bakso pertama.
Namun, setelah satu suapan... Mika langsung terdiam. Matanya melebar, wajahnya memerah, dan ia mulai terbatuk-batuk.
"Minum ! Air ! Air !" seru Mika sambil melompat-lompat kecil.
Rani tertawa sampai nyaris jatuh dari bangkunya. "Katanya legenda, Mik! Ini malah kayak kebakaran!"
Liora cepat-cepat menyerahkan segelas air, tapi malah menambah kekacauan. Mika buru-buru minum, namun terlalu cepat sehingga airnya tumpah ke bajunya.
"Aduh, MIKAAA!" Liora dan Rani tertawa terpingkal-pingkal. Mika akhirnya duduk sambil menyeka air mata akibat kepedasan.
"Baiklah, aku menyerah. Tapi ini cuma pemanasan. Pedasnya cuma sepuluh persen dari yang aku bisa hadapi!" ujarnya sambil pura-pura serius.
"Sepuluh persen aja kayak gini? Gimana seratus persen? Harus panggil pemadam kebakaran," ledek Rani.
---
Setelah makan bakso dengan segala kekacauannya, mereka bertiga duduk di tepi danau kecil yang ada di taman. Matahari mulai turun perlahan, menciptakan pemandangan senja yang indah.
"Seru juga, ya, hari ini," ujar Liora sambil memandang ke danau.
"Ya, meskipun aku jadi korban air dan sambal," tambah Mika sambil tersenyum.
Rani menyahut sambil menyandarkan kepalanya di bahu Liora. "Kalian tahu nggak? Kalau kita sering-sering kayak gini, aku bakal lupa kalau hidup ini kadang bikin stres."
Liora tersenyum. "Aku juga. Dulu, aku selalu takut ketemu banyak orang. Tapi sekarang... rasanya lebih mudah. Karena ada kalian."
Mika langsung berdiri dan menatap mereka dengan dramatis. "Itu karena kita ini tim legendaris! Tim... Mik-Li-Ran! Petualang tanpa batas!"
Rani mendengus sambil tertawa. "Nama apaan itu, Mik? Kayak mie instan aja."
"Terserah kalian! Yang penting, kita selalu ada buat satu sama lain," jawab Mika sambil melebarkan tangannya, seakan sedang memberikan pidato penting.
Liora tersenyum hangat, merasa bersyukur memiliki dua sahabat seperti mereka. Senja itu menjadi momen yang tidak akan ia lupakan—sederhana, penuh tawa, dan begitu berarti.
---
Saat pulang, Mika dan Rani mengantar Liora ke depan rumahnya.
"Besok kita ngapain lagi?" tanya Mika. "Mungkin kita bisa eksplor rumah hantu di pasar malam!"
"Jangan ngajak yang aneh-aneh, Mik," jawab Rani sambil mendorong kepala Mika pelan.
Liora tertawa kecil. "Apa pun itu, yang penting jangan sampai kamu tersangkut di pohon lagi."
Mika tertawa sambil melambai ke Liora. "Tenang aja! Aku udah punya banyak rencana buat kita!"
Liora masuk ke rumah dengan senyum lebar di wajahnya.
Hari Minggu tiba dengan langit cerah.
Pagi itu, Mika dan Rani tiba di rumah Liora dengan penuh semangat. Mereka membawa konsol PlayStation 2 (PS2) lengkap dengan beberapa kaset game. Mika, seperti biasa, datang dengan ekspresi penuh kemenangan.
"Li ! Hari ini kamu harus siap-siap kalah!" seru Mika sambil mengacungkan satu kaset game ke udara. "Kita bakal main Ultraman Nexus. Ini game paling keren sepanjang masa!"
Liora, yang baru keluar dari kamarnya dengan rambut sedikit berantakan, mengangkat alis. "Mik, kamu pagi-pagi udah berisik banget. Emangnya aku pernah bilang mau kalah?"
Rani datang membawa setumpuk keripik dan minuman kaleng. "Jangan berdebat dulu, kalian! Hari ini kita main santai aja. Nggak usah jadi pertandingan internasional."
---
Setelah semua kabel tersambung dan konsol PS2 dinyalakan, mereka duduk lesehan di ruang tamu Liora. Layar TV menampilkan logo PlayStation klasik yang membuat Mika bertepuk tangan seperti anak kecil.
"Inilah peradaban modern zaman kita, teman-teman!" seru Mika sambil memeluk stik kontroler PS2 dengan dramatis.
Rani mencibir. "Kalau gitu, kamu pasti kalah duluan, Mik. Hati-hati kaget kena serangan Liora."
"Tenang, tenang. Aku ini pro player Ultraman!" jawab Mika percaya diri.
Awalnya, Mika memainkan mode cerita terlebih dahulu. Ia memilih karakter Ultraman Nexus Junis Anphas dan mulai melewati misi demi misi sambil sesekali berteriak, "AMBIL ITU, MONSTER! RASAKAN KEKUATAN NEXUS!"
Liora, yang duduk di sampingnya sambil memakan keripik, hanya bisa menggeleng. "Mik, kamu berisik banget. Kasihan tetangga."
Mika tertawa sambil tetap fokus. "Kalau suara aku aja nggak bisa ngalahin monster, mana bisa Nexus jadi pahlawan?"
Setelah beberapa lama, Mika berhasil membuka Ultraman Noa dan akhirnya Ultraman The Next—karakter legenda dalam game tersebut.
Rani bertepuk tangan pelan. "Akhirnya! Setelah tiga jam teriak-teriak, kamu berhasil juga, Mik."
---
Setelah membuka semua karakter, Mika menoleh ke Liora dengan tatapan penuh tantangan.
"Baiklah, Liora. Sekarang saatnya kita 1 vs 1! Kamu berani, kan?" katanya sambil memberikan stik kedua ke Liora.
Liora mengambil stik dengan senyum kecil. "Kamu yakin mau lawan aku? Jangan nyesel, ya."
"Aku ini pemain Ultraman tingkat dewa. Silakan pilih karakter kamu," jawab Mika angkuh.
Liora berpikir sejenak lalu memilih Dark Mephisto, karakter antagonis dengan desain keren dan jurus mematikan. Mika, tentu saja, memilih Ultraman The Next dengan keyakinan bahwa ia akan menang.
Pertarungan dimulai.
Di ronde pertama, Mika langsung menyerang dengan gaya agresif sambil berteriak, "RASAKAN INI, DARK MEPHISTO!"
Namun, Liora dengan tenang mempelajari pola serangan Mika dan menghindari semua serangan dengan elegan.
"Mik, kamu terlalu gampang ditebak," ujar Liora santai sambil memukul karakter Mika dengan kombo mematikan.
Rani yang duduk di sebelah mereka sudah tertawa terbahak-bahak. "Mik, apa katanya tadi? Tingkat dewa? Ini malah tingkat pemula!"
Mika mulai panik. "Nggak, nggak! Ini cuma pemanasan. Tenang aja!"
Namun, sebelum ia sempat melakukan serangan balasan, karakter Ultraman The Next miliknya jatuh kalah dengan efek suara dramatis.
"KO!" muncul di layar TV, diiringi suara kemenangan Dark Mephisto.
Liora menaruh stik dengan tenang sambil menyeringai. "Gimana, dewa? Kalah, ya?"
Mika terdiam sejenak, lalu tiba-tiba menjatuhkan dirinya ke lantai dengan dramatis. "AKU TERKHIANATI! PS2 INI NGGAK BERPIHAK PADA AKU!"
Rani hampir tersedak minumannya. "Mik, itu bukan salah PS2! Kamu aja yang jago ngebual."
"Tenang aja, Mik," tambah Liora sambil tertawa kecil. "Kamu bisa minta ulang di ronde kedua... kalau siap kalah lagi."
Mika menatap Liora penuh tekad. "Besok aku latihan seharian. Kemenangan ini belum final!"
---
Setelah bermain cukup lama dan tertawa sampai perut sakit, mereka bertiga akhirnya memutuskan istirahat. Mika memegang perutnya sambil mengeluh, "Aku lapar. Kita harus makan sesuatu.
Liora, masak apa di rumah?"
"Ada mie instan," jawab Liora.
Rani bersemangat. "Ayo bikin mie instan rame-rame! Tapi Mika nggak boleh pegang kompor. Trauma aku lihat dia masak dulu."
Mereka bertiga pun menuju dapur. Liora dengan sabar memasak mie instan sementara Mika bertugas mengambil piring, dan Rani bertugas menyiapkan telur.
Namun, seperti biasa, Mika selalu punya cara untuk membuat kekacauan. Ketika Liora tidak memperhatikan, Mika diam-diam menuangkan saus sambal ekstra ke dalam mangkuk mie miliknya.
Rani langsung menyadarinya. "Mik, jangan nyalahin diri sendiri cuma gara-gara kalah main PS2. Itu mie bakal bikin kamu nangis lagi!"
Mika tertawa jahat. "Aku ini sudah siap menghadapi apapun, termasuk pedasnya hidup."
Ketika mereka duduk dan mulai makan, Mika langsung menyesali keputusannya. Dalam dua suapan, wajahnya merah lagi, matanya berair, dan ia mulai melompat-lompat kecil.
"MINUM! AIR! TOLONG!" Mika berteriak panik.
Liora dan Rani tertawa terbahak-bahak.
"Kayaknya Ultraman The Next emang nggak bisa tahan sambal," ledek Liora sambil menyuap mie dengan santai.
---
Setelah makan, mereka kembali ke ruang tamu dan duduk bersandar sambil menikmati suasana sore.
"Seru juga, ya, hari ini," ujar Rani sambil tersenyum.
"Seru buat kalian ! Aku kalah main game dan kalah lawan sambal," jawab Mika sambil pura-pura cemberut.
Liora tersenyum kecil. "Tapi kita semua menang hari ini, Mik. Kita punya kenangan yang nggak bakal dilupain."
Mika menatap mereka berdua dan tertawa kecil. "Ya, sih. Kalau hidup kayak game, mungkin aku kalah banyak. Tapi kalau punya kalian berdua di sampingku, rasanya aku udah menang besar."
Mereka bertiga tertawa bersama, suara mereka mengisi seluruh ruangan. Di luar, matahari mulai tenggelam, memberikan nuansa hangat pada akhir hari yang menyenangkan.
Mika dengan berat hati membawa console PS2 nya akibat kekalahan melawan Liora
Akan tetapi Rani berusaha untuk memberi semangat ke mika, akhirnya pun tersenyum dengan samar.
Beberapa saat kemudian, Mika dan Rani pun berpamitan ke liora untuk pulang...