webnovel

Friend With(Out) Benefits

Wendy, terjebak dalam hubungan yang sedang digandrungi banyak remaja kekinian. Dengan peraturan di mana keduanya tidak diperbolehkan menaruh hati. Suatu kebodohan membuat dirinya terjerumus dan semakin terperosot. Kesalahan yang sudah pasti berisiko tinggi tetap ia lanjutkan hingga hatinya siap tak siap harus menghadapi kehancuran.

HuskyUsagi · วัยรุ่น
เรตติ้งไม่พอ
11 Chs

#9

Zrassssh!

Hujan deras turun seketika tanpa aba-aba gerimis hujan sebelumnya. Seluruh orang di pinggir jalan berhamburan mencari tempat berteduh. Halte dan teras toko adalah lokasi paling mudah didapat meski kaki masih harus terkena cipratan air hujan yang jatuh.

Wendy bergegas lari ke dalam kantornya setelah turun dan ojek onlinenya. Badannya memang tidak begitu basah, tapi bajunya sudah lepek dan rambutnya yang acak-acakan. Ia meringis ketika Petra mendatanginya.

Pria itu cemas karena Wendy tidak membalas panggilan maupun pesannya.

"Aku kesiangan, Pet. Jadi engga sempet bales. Cepet-cepet pesen ojek, malah ujan," adu Wendy ketika Petra sibuk membawakan tas dan melepas jaket yang dipakai Wendy.

Petra segera membawa Wendy ke toilet wanita lantai bawah lalu memberikan bungkusan berisi pakaian ganti.

"Ini baju di lokerku, gapapa. Pake aja daripada basah gini," jelas Petra kemudian dituruti Wendy. Gadis itu masuk ke salah satu bilik dan mengganti bajunya.

Sementara di luar, Petra sibuk mengemasi jaket Wendy yang basah.

"Loh, Petra ngapain di sini? Nungguin aku, ya?" Irine berjalan mendekat. Sangat kebetulan sekali.

Petra hanya menatapnya. Kemudian tatapan Petra beralih ke sebuah syal yang mengalung di leher Irine. Ada sebuah pikiran jelek di benak Petra, namun pria itu tak mengungkapkannya. Toh, Irine memang sudah terkenal suka bermain banyak pria. Sepertinya bekas itu sudah biasa dia dapat.

Wanita itu masih diam di depan Petra sembari sesekali melirik ke dalam kantong yang di tangan Petra. Tampaknya Irine dapat menyimpulkan sesuatu, tapi entah apa itu. Yang pasti dia sudah tahu siapa yang sedang dinanti Petra di sini.

Tanpa basa-basi, Irine masuk ke dalam toilet. Tak lupa dirinya sedikit memberikan kedipan genit ke arah Petra sebelum mencari bilik yang terisi. Dirinya juga memeriksa bilik lain, memastikan hanya ada mereka berdua di toilet.

Hatinya merasa mantap, sosok yang menjadi saingannya mampu ia tumbangkan kali ini.

Cklak!

Wendy telah usai mengganti bajunya dengan setelan hasil rijek karena klien tidak menyukai desainnya. Tak masalah, desain Wendy ini lumayan bagus. Cocok untuk gadis seukurannya.

"Pagi, Wendy," sapa Irine sembari duduk di wastafel. Wendy menoleh dan tersenyum tipis. "Pagi, Irine."

"Kamu lagi deket sama Petra, ya?" tanya Irine sembari mengikuti Wendy yang sibuk menyisir rambutnya di depan cermin toilet. Gadis itu tak menjawab, hanya diam. Wendy tahu jika Irine menargetkan Petra untuk menjadi korban permainannya.

"Jangan bisu kalau ditanya." Irine menahan tangan kanan Wendy yang memegang sisir, kemudian mengarahkannya ke bawah.

Kedua perempuan itu saling memandang dengan mata yang berbeda. Tatapan kemenangan beradu dengan sorot lelah Wendy.

"Jangan songong, ya. Kamu ga akan seberani ini kalau Petra tahu hubungan kamu sama Roni dulu gimana."

Deg!

Mata Wendy terbuka lebar. Irine puas melihat respon Wendy, ia tertawa kecil lalu melepaskan Wendy yang mematung.

"Kalau ga mau Petra tahu, kamu tahu harus gimana, kan?" tanya Irine menyindir sembari membuka syalnya yang basah. Perempuan itu menyibakkan rambut panjangnya yang menutupi leher.

Ia melihat pantulan di kaca, memeriksa bekas merah. "Anjing, lah. Suka sih suka, ga perlu bikin cupang juga kali," gerutu Irine lalu mengoleskan krim di area tersebut.

Wendy yang kini kembali menyisir rambutnya hanya diam mendengarkan. Ia tak ingin berkomentar apa-apa. Karena sudah jelas, menjadi sebuah rahasia umum jika Irine sudah menjadi primadona di penjuru diskotik Ibukota. Tak heran dirinya sering terlihat memiliki bekas seperti itu.

"Kenapa, Wen? Ga pernah lihat kayak gini? Masa, sih, Roni ga pernah ngeklaim kalau kamu punya dia?"

Kini hati Wendy tergoncang, semakin sesak. Tanpa balasan, ia memilih membereskan alat-alatnya dan meninggalkan toilet.

Dirinya tak pernah dianggap, tak pernah ada ucapan Roni memilikinya dan sebaliknya. Roni tak pernah meninggalkan sebuah tanda untuknya. Selama ini hanya sebuah permainan semata.

Kelamnya masa lalu membuat Wendy semakin tak beraturan. Pikiran dan raungan hati yang selama ini ia kubur mulai beradu nasib. Mereka sama sama hancur akan kenangan, berakhir sama-sama melemah dan memilih menggulirkan air mata lagi.

Kenapa begini? Padahal Wendy sekarang sudah bersama Petra. Meski tak ada kejelasan hubungan, tapi Wendy merasa dirinya sudah cukup.

Nyatanya, hatinya belum sepenuhnya sembuh dan belum siap menerima seseorang untuk kembali mengisi dirinya.

=====

Semenjak pagi, Wendy sudah murung di mejanya. Meski Roni, Sandi, dan Petra membujuknya untuk bercerita, tapi Wendy memilih diam.

Rasa sakit akan kenangan bersama Roni bercampur dengan perasaan takut dan malu. Ketakutannya terhadap Irine dengan rahasianya, malu karena dirinya sudah begitu murahan dan memiliki kenangan buruk.

Hari ini, pekerjaan Wendy tak maksimal. Tidak ada yang mengerti. Termasuk Petra yang dianggap Roni lebih dekat dengan Wendy.

"Surya juga ga masuk. Katanya demam," jelas Roni di tengah pekerjaannya. Lelaki bertubuh tinggi itu berjalan mendekati Wendy yang meringkuk di kursinya sembari mencoret kertas, berusaha membuat pesanan kliennya.

"Mau mekdi ga, Wen?" tanya Roni sembari menarik kertas Wendy. Gadis itu mengangguk pelan bak anak kecil yang menurut karena melakukan kesalahan. Jarinya berhenti bergerak.

"Es krim?"

"Huum."

"Pizza?"

"Huum."

"Tapi habis itu cerita, ya?"

"Aku beli sendiri aja," balas Wendy sebagai penolakan dari sogokan Roni.

Roni menghela napas kemudian kembali ke meja Sandi dengan membawa kertas dan berkas milik Wendy. Ia bermaksud memberikan tugas Wendy ke Sandi, karena sangat tidak mungkin gadis itu menyelesaikan pekerjaannya dengan benar. Itu sama saja mendeklarasikan perang dengan Petra.

=====

Sudah diputuskan, Wendy akan dikembalikan ke apartemennya daripada pekerjaannya sia-sia dan harus menerima banyak revisi dari Petra. Mau bagaimanapun, apapun kondisinya, Petra tak ingin membawa masalah pribadi di pekerjaannya. Meskipun dirinya tak tega, Petra memilih untuk meminta Roni memulangkan Wendy daripada memarahinya habis-habisan.

Menurut, Wendy pun izin untuk pulang dan mengistirahatkan diri.

"Besok kalau belum fit, jangan masuk dulu," pesan Roni ketika mengantar Wendy di depan ruangan. Wendy hanya mengangguk kemudian melangkah pergi.

Beberapa orang dari divisi lain yang melihat kepergian Wendy menyimpan tanda tanya. Namun mereka enggan bertanya karena tak ingin ikut campur urusan divisi desain. Anak desain memang dikenal ramah, tapi sangat galak ketika ditanyai masalah individu atau divisi tersebut padahal tidak ada sangkutpautnya. Contohnya ketika masalah Petra kemarin, divisi desain menutup komentar dan memilih tidak menjawab, mereka terlalu malas dengan manusia yang sekadar kepo atau pengumpul gosip. Maka dari itu, banyak yang enggan terlalu dekat dengan anggota desain karena takut jika salah bicara bisa disemprot. Padahal sebenarnya mereka tidak sesensitif itu, hanya mencoba untuk meminimalisir pertanyaan mengundang gosip. Meski pada akhirnya mereka tetap menjadi bahan perbincangan.

"Wendy? Kamu kenapa, sayang?"

Sosok tinggi bertubuh semok itu berjalan mendekati Wendy yang terhenti langkahnya. Irine, memasang wajah cemasnya. Mendekati gadis yang memilih diam dengan menatapnya malas.

Roni yang masih mampu melihat keduanya bergegas jalan mendekat, agak cepat karena takut Irine membuat suasana hati Wendy semakin rusak—padahal memang dialah biang keroknya.

Derap langkah Roni dan gerakan gesitnya menarik perhatian Petra yang sejak tadi menantinya di dalam ruangan. Lelaki berambut gelap itu segera keluar dan menyusul Roni, khawatir jika Wendy kenapa-napa.

Namun Petra berhenti saat pandangannya menangkap Irine yang berdiri di samping Wendy. Si Pengaruh Negatif. Sejak Wendy keluar dari toilet tadi pagi, Petra sudah menduga jika Irine yang membuat Wendy seperti ini. Siapa lagi, wanita bermasalah dan pembuat onar itulah kunci satu-satunya.

Irine menoleh ke arah Roni, kemudian dengan cepat matanya mampu melihat Petra yang berdiri di belakang sana. Senyumnya melebar puas, ia melambaikan tangan ke arah Petra, seolah memberikan tanda untuk memintanya mendekat. Jika bukan karena Wendy, Petra tak akan mendekat.

"Wen, aku antar pulang, ya," ajak Petra sambil merangkul pundak Wendy. Namun gadis itu menolak halus. Ia menyingkirkan tangan Petra dan tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa pada dirinya.

"Apa, sih, Pet. Berlebihan banget. Aku pulang sendiri bisa, kok. Biasanya pake ojol juga," balas Wendy kemudian segera berpamitan dan meninggalkan ketiganya. Ia tak mau lama-lama di sana dan harus bersikap seperti dulu, di mana Petra dan Wendy tak pernah melakukan apa-apa dan merasakan perasaan yang sama.

Ini sulit baginya. Wendy bukan seorang perempuan yang mudah memalsukan ekspresinya kecuali untuk pekerjaan dan profesionalitas. Ini masalah hati, perasaannya tidak bisa berbohong, begitupun responnya.

=====

Dering ponsel berbunyi sejak sepuluh menit yang lalu. Suara bel terdengar dari lantai bawah berulang-ulang kali. Serta panggilan namanya berseru di balik pintu apartemen. Wendy enggan bangun dari kasurnya meski ia tahu Petra sudah menunggu dan mencarinya.

Pesan terus berdatangan, membuat Wendy semakin tidak tahan. Bukan marah, dirinya tidak tega. Bukan ini yang Wendy mau.

Cklak!

Dengan rasa ibanya, Wendy membukakan pintu. Ia menyambut Petra dengan senyum kecil. "Kenapa, Pet? Maaf hari ini aku ga bisa kelarin kerjaa—"

Petra menghentikan ucapan Wendy dengan sebuah pelukan. Ia mendorong Wendy untuk masuk ke dalam rumah dan menutup pintu, tak lupa menguncinya. Wendy terlihat panik, tetapi dirinya merasa nyaman dengan kehangatan yang dirinya dapatkan.

"Wen, kenapa?" tanya Petra. Wendy diam, lalu berusaha melepaskan pelukan yang dia inginkan. Tapi Petra tak mau, tak ingin melepasnya. Tentu saja, dia tidak mau Wendy jauh darinya.

"Kenapa apanya, Pet? Ngigo, ya? Tumbenan kamu khawatir gini."

"Apa? Tumbenan?" Suara Petra berubah menjadi berat. Dirinya langsung melepaskan pelukan dan menatap Wendy heran. Ada perasaan terkejut dan sedih di sorot matanya.

"Maksudnya apa, Wen? Wajar aku khawatir ke kamu."

"Iya, sih. Wajar sebagai teman boleh, tapi ini berlebihan ga, sih?" tanya Wendy, melangkah mundur karena dia pasti tahu respon Petra kemudian. Suara yang berat itu menandakan Petra kecewa dan marah.

"Teman? Berlebihan? Wen! Kamu anggep kita ini teman?" seru Petra. Wendy hanya memejamkan mata, jemarinya saling meremas, menahan sedih yang ingin ia tunjukkan, menahan segala guncangan di lubuk hatinya.

"Emangnya kita pernah ada hubungan spesial?"

Pertanyaan yang menyakitkan itu tak pernah disangka oleh Petra, dirinya mendengarkan hal itu dari orang yang kini sudah ia mantapkan hati. Begitupun Wendy, dirinya tak pernah berpikir akan berkata demikian, karena selama ia dekat dengan Petra, dirinya sudah mulai menautkan hati dan menganggapnya harapan.

"Selama ini yang kita lakuin, Wen? Kamu sampai tega bilang kayak gitu?"

Tidak. Bukan itu.

Wendy ingin menyangkalnya. Berkecamuk dengan dirinya, Wendy meronta dalam benaknya. Dirinya ingin berhenti menutupi, tapi dirinya tak ingin Petra semakin hancur karena masa lalunya. Tapi apa melakukan hal ini lebih baik daripada Petra tahu semuanya? Tidak, pikiran Wendy tak jernih. Bukan ini yang dia mau, tapi dirinya harus melakukannya.

"Kita, kan, cuma friend with benefits. Engga lebih."

Pandangan kecewa, sedih, marah. Tertuju kepada sosok yang kini berdiri menyender di sofa ruang tamu. Tatap nanar tubuh gadis yang dianggapnya berharga. Badannya mulai melemas, langkah mundurnya gontai untuk mencapai pintu masuk.

Sebelum dirinya membuka kunci dan pergi, Petra merogoh saku coat miliknya kemudian melemparkan sesuatu ke lantai.

Sebuah cincin.

Pria itu tertawa kencang, namun terdengar menyakitkan. Sekali lagi ia menatap Wendy miris.

"Aku kecewa, Wen."

Setelahnya, punggung Petra menghilang di balik pintu. Disambut oleh ambruknya Wendy di lantai dengan air mata berderai. Sakit, hatinya pilu, hingga tangisnya tak bersuara.

== === ==