webnovel

Friend With(Out) Benefits

Wendy, terjebak dalam hubungan yang sedang digandrungi banyak remaja kekinian. Dengan peraturan di mana keduanya tidak diperbolehkan menaruh hati. Suatu kebodohan membuat dirinya terjerumus dan semakin terperosot. Kesalahan yang sudah pasti berisiko tinggi tetap ia lanjutkan hingga hatinya siap tak siap harus menghadapi kehancuran.

HuskyUsagi · วัยรุ่น
เรตติ้งไม่พอ
11 Chs

#7

Di dalam kamar, Wendy dan Chindy saling bercerita. Chindy dengan jiwa keibuannya mencoba menenangkan Wendy yang masih terguncang. Meski ia tidak tahu apa yang terjadi, tapi membuat Wendy rileks lebih penting daripada bertanya.

Tak lupa Chindy memberikan minuman hangat dari meja samping tempat tidur double bed. Mencoba semaksimal mungkin untuk membuat Wendy baik-baik saja.

"Kak Chin. Yang bikin kakak kecewa sama pacar itu apa?" tanya Wendy demgan tatapan kosong memandang kasur.

"Dia engga jujur," jawab Chindy lembut. Wendy mengeratkan genggamannya pada cangkir teh di tangannya. Tangannya mulai tremor.

"Kalau dia nyembunyiin sesuatu yang buruk di masa lalunya, gimana?" Chindy tersenyum ketika mendapat pertanyaan itu dari Wendy.

"Aku percaya dia udah jujur. Roni, kan?"

Wendy mengangkat pandangannya ke Chindy, terkejut.

"Iya, aku tahu maksud kamu ke mana. Hubungan lamamu sama Roni, kan? Aku tahu, Wen. Dan aku engga masalah. Roni jujur semua sebelum kita pacaran."

Gadis itu kaget, juga bingung. Bagaimana bisa? Kapan? Bukankah status Roni dan Wendy usai setelah Roni berpacaran dengan Chindy.

"Ceritanya panjang. Sini." Chindy meraih cangkir dari tangan Wendy dan menaruhnya di tempat aman. Kemudian Chindy mengajak Wendy untuk rebahan di kasur bersama.

Berada di posisi rileks, Chindy kembali memastikan jika Wendy sudah siap mendengarkan ceritanya.

"Malam minggu itu aku nerima Roni. Tapi Roni belum bener-bener kasih kepastian statusku sama dia. Dia baru jelasin ke aku semuanya di minggu sore waktu kita ketemu. Kaget sih pasti, ya. Cuma, yaudah. Dia udah selesai sama urusannya sama kamu. Aku ga masalah, kok. Serius."

Wendy terdiam, tetap mendengarkan. Masih ada rasa takut di hatinya, takut jika hal ini membuat hati Chindy kembali teringat dan merasa sakit.

"Aku juga tahu semenjak Roni ngajak aku kencan di siang itu. Diem-diem aku merhatiin kamu, lho, Wen. Trus selama PDKT, aku pengen tahu kejelasan kamu sama Roni gimana. Ya, simple."

Chindy kemudian memiringkan badannya melihat Wendy yang masih menatap langit-langit kamar. Wanita itu merangkul Wendy lembut, Wendy membalas dan meringkuk di pelukan Chindy. Jemari Chindy mulai mengelus Wendy pelan.

"Aku berterima kasih banget sama kamu karena kamu nahan diri di minggu itu. Kalau engga, mungkin aku bakal kepikiran. Kamu anak baik, pasti bisa ketemu yang baik juga."

Tak ada jawaban, hanya ada isak tangis Wendy di dalam bekapannya. Chindy tersenyum ketika tangan Wendy mempererat dekatnya jarak mereka.

Malam itu keduanya melegakan diri dan mengupas segala sisi kehidupan mereka berdua hingga ufuk timur membangunkan Sang Mentari.

=====

Seluruh barang sudah dimasukkan ke dalam mobil. Waktu liburan telah usai, kini mereka kembali ke Kota Metropolitan yang penuh dan sesak akan penduduk. Huh, kembali ke dunia nyata.

Wendy dan Chindy terlebih dulu memasukkan barangnya dengan bantuan para pria di sana. Kemudian disusul yang lain sampai mereka memasuki mobil dan duduk di tempat masing-masing.

Chindy di depan bersama Roni. Wendy di tengah bersama Surya. Petra dan Sandi seperti biasa berdua di belakang, memang sangat klop dan sejoli.

Dari kaca depan, diam-diam mata Chindy memastikan keadaan Wendy di belakang, terkadang ia iseng menoleh ke belakang untuk menawari permen atau makanan ringan lainnya. Perkara hanya untuk tahu apakah Wendy nyaman atau tidak.

Namun jawaban jelas di raut Wendy yang terlihat kaku serta kurang sreg. Tidak seperti saat berangkat. Wendy berbeda dan banyak diam ketika berada di dekat Surya.

Curiga Chindy meningkat ketika Surya menawarkan permen yang dibelinya ke Wendy. Respon Wendy tampak tidak jelas dan terkesan terpaksa untuk menjawab. Tidak seperti Wendy biasanya. Ada apakah?

"Sayang, nanti berhenti di minimarket dulu, ya. Mau beli sesuatu." Roni mengangguk saja sembari mencari indomaret terdekat.

Tidak jauh, Roni akhirnya menemukan indomaret di kiri jalan.

"Yuk Wen," ajak Chindy langsung diiyakan Wendy. Keduanya segera turun dan bersama-sama masuk ke dalam indomaret untuk berbelanja.

Sandi pun turut mengajak Petra turun untuk berbelanja mainan serta kondom. Ya, pengaman seks. Sandi suka benda itu.

Tidak lama setelah Wendy masuk, Petra dan Sandi turun, membeli barang yang diperlukan. Dan entah apa yang merasuki, Petra diam-diam juga membeli sekotak kondom, entah untuk apa tujuannya. Padahal Petra sendiri bukan seorang player seperti Sandi.

Ketika hendak membayar, Chindy terlebih dulu menyerobot antrean Petra. Dengan cepat pria itu berbalik dan bersikap mencari sesuatu. Namun sayangnya, dengan bodoh dan bloon, Sandi mendekati dan meledeknya karena membeli kondom.

Tentu saja hal itu didengar Wendy yang kebetulan ada di sekitar situ. Gadis itu menoleh ke arah Petra, begitupun sebaliknya.

Gelagapan, Petra menaruh benda itu ke keranjang Sandi. "Ngga, gapapa kok, Pet. Beli aja. Anggep aja aku ga lihat," ucap Wendy kemudian meninggalkan keduanya dan menyusul Chindy.

"Goblok," ucap Petra disambut cekikikan Sandi. Tapi Sandi tetap menyimpan kondom yang dipilih Petra tadi lalu berjalan ke kasir. Dirinya cukup terkejut ketika melihat belanjaan Chindy yang menggunung. Entah apa yang dibelinya.

Tentu saja belanjaan itu memaksa Petra dan Wendy membawa sekantong belanjaan ke arah mobil. Chindy segera membuka pintu mobil dan meminta Surya untuk menaruh barangnya di belakang. Dengan terpaksa, Surya berpindah sebentar ke belakang dan menatanya hingga bagian belakang cukup sempit.

"Duh, Surya. Maaf, ya, kamu bisa jagain barang di belakang ga?" tanya Chindy dengan raut cemasnya, takut Surya marah karena belanjaannya.

"Gapapa, Chin. Aku di belakang aja. Ribet juga kalau mau ke depan lagi," jawab Surya tampak pasrah. Chindy segera masuk ke depan setelah berterima kasih.

Sementara Petra dan Sandi terpaksa berpisah karena salah satunya ada di belakang untuk menemani Surya. Dan Petra lah di belakang, karena Sandi paling tidak suka dengan ruang sempit dan mengganggu tempatnya.

Kini rencana Chindy untuk menjauhkan Surya berhasil. Ia sangat tahu karakter Sandi bagaimana. Sengaja memborong banyak barang dan menaruhnya di tempat duduk belakang akan membuat Sandi otomatis berpindah ke depan. Karena dia juga paham Surya yang pasrah dan Petra suka mengalah. Ya, meski rencananya untuk mendudukkan Petra dengan Wendy gagal, setidaknya ini membuat gadis mungilnya lebih nyaman.

=====

Sudah kembali ke hari suram, menyongsong pagi dengan beban tugas pekerjaan, dan kalut dalam kelelahan. Namun inilah jalan percuanan. Menyerah artinya cuan melayang. Diperbudak duit, ga, sih?

Namun kali ini Wendy memilih untuk lebih tenang. Ia tak banyak ngotot dan melihat Petra. Tampaknya dirinya masih agak kaku karena kejadian di minimarket kemarin. Pikiran buruk hinggap di kepala Wendy sehingga membuat dirinya lebih diam.

"Mmm, Wen? Denger, kan?" tanya Petra bersamaan dengan pintu ruangan terbuka. Irine datang.

Seluruh penghuni ruang divisi langsung menghela napas malas. Sandi segera beranjak dari kursinya, meninggalkan ruangan. Surya turut serta karena malas melihat Irine, sekaligus dirinya merasa tidak nyaman dengan Irine yang sepertinya menyadari akan perasaannya ke Wendy.

"Irine, kita bicara di luar aja, ya," ajak Roni masih mencoba untuk ramah, meski sebenarnya dirinya ingin menghantam wajah Irine dengan semangkanya sendiri. Yaa, buahnya sangat besar.

"Ngga, sekarang aku ada urusan sama yang fix-in desainnya. Kayaknya banyak komplain karena yang kerja kurang serius, ya."

Petra mendengarnya dan merasa disinggung. Pria itu menoleh, begitupun Wendy yang terkejut dengan keberanian Irine. Wanita jalang itu lantas berjalan mendekat dan menaruh desain di tangannya ke meja.

"Kamu yang pertama menyetujui desainnya dan lolos dari pemeriksaan Roni. Kamu ga gitu ngerti soal keinginan klien?" sindir Irine.

Ada perubahan dalam Irine. Bukan karena kesal, tapi dirinya belajar dari Wendy. Seorang Wendy yang galak dan keras ketika beradu argumen mampu lebih dekat pada Petra. Irine menganggap jika Petra menyukai wanita dengan sikap yang sama seperti dirinya.

Tukang sindir, mulut pedas.

"Lu ga ngerti soal desain mending diem aja. Siniin bukti mereka komplain dan seburuk apa gua acc kerjaan Wendy."

"Mereka via telepon semua," jawab Irine ketus dengan tampang songongnya.

Petra mulai mengerti, dirinya semakin menurunkan derajat Irine dan enggan meresponnya lagi.

Irine tampak marah, dia tidak terima dengan respon Petra yang meremehkannya. Dirinya mulai menggebrak meja dan mengejutkan Wendy dan Roni. Sementara Petra hanya melihatnya dalam diam dengan sorot mata tajamnya.

Roni tahu jika hal ini tak akan baik-baik saja. Pria itu segera menarik Irine menjauh, sementara berkas Irine masih ditinggal di meja. Wanita itu meronta dan marah-marah tidak jelas, membuat orang-orang di sekitar ruang divisi penasaran dan kepo.

"Petra..?" tanya Wendy cemas. Dia tahu jika Petra saat ini tidak baik-baik saja. Tidak sedih karena perkataan Irine, tapi amarahnya meluap. Membuat hawa di sekitar Petra terasa panas dan pengap meski sudah menggunakan AC di dalam ruangan.

Wendy hanya diam, memandangnya takut. Tangannya mencoba untuk mengelus bahu Petra. Petra tak menepis atau respon lain, hanya diam saja.

Cukup lama dalam keheningan, Petra lalu menghela napas berat. Ia menoleh ke Wendy. Memandang paras manis dan imut Wendy yang memancarkan rasa cemasnya.

Perlahan, tangan Petra bergerak ke pipi Wendy. Dan dengan hitungan detik dirinya menempelkan bibirnya ke bibir Wendy. Mengecupnya pelan.

Gadis yang dikecupnya diam. Kaget tentunya, tapi tak ada penolakan. Lantas Petra kembali melanjutkan. Menautkan kedua bibir tersebut dan mulai melumatnya pelan. Tak ada dorongan menjauh dari Wendy. Justru dirinya mulai membuka diri untuk dijelajah Petra.

Kini tangan Petra berpindah ke tempat lain. Dirinya menarik Wendy untuk berdiri dan memojokkan gadis itu di tembok tanpa melepaskan sedikitpun ciuman mereka. Semakin ganas, Petra tak segan mulai meraba tubuh Wendy.

Lagi-lagi tak ada penolakan. Hal itu membuat Petra semakin percaya diri jika Wendy menikmatinya. Kini ciumannya mulai turun ke leher jenjang nan putih Wendy. Mengecupnya pelan, senti demi senti. Lembutnya kecupan mengeluarkan lenguhan nikmat gadis di depannya.

"Hhh, Petra-"

Dengan cepat Wendy menahan Petra supaya tidak semakin jauh. Pria itu berhenti, ia tersadar seketika akan sikap nakalnya. Ia kembali menegakkan badannya dan menatap Wendy. Takut akan marahnya Wendy.

Tapi, tidak. Wendy memandangnya dengan wajah memerah. Gadis itu kemudian memalingkan pandangannya ke samping, meja Surya. Tergugup, Wendy berkata, "lanjut nanti aja."

Jawaban yang mengejutkan. Petra terdiam sesaat, kemudian berpaling sorot matanya. "Ngga. Sorry. Serius, engga maksud gitu."

"Gapapa. Lanjut nanti."

Petra tak tahan lagi. Dirinya segera membereskan barang-barang miliknya dan Wendy, kemudian menarik gadis itu untuk keluar dari ruangan.

Di luar, sangat kebetulan Roni baru saja mendekati ruangannya.

"Aku anter Wendy. Dia agak sakit, nanti aku balik, Ron!" pamit Petra sembari meninggalkan bosnya.

Roni hanya mematung, diam sejenak sebelum melanjutkan jalannya ke pintu ruangannya. Namun ia melihat Surya di sana yang melihat kedua temannya pergi.

"Tumbenan Wendy sakit. Kecapean gegara kemarin liburan kali, ya?" terka Roni, bermaksud mengajak Surya untuk menjadi detektif dadakan.

Surya hanya tertawa kecil, mengangkat, bahu, dan masuk ke ruangan divisinya. Disusul dengan Roni yang berjalan santai. Tampaknya urusannya dengan Irine sudah usai. Kini dirinya harus kembali bekerja dengan dua posisi. Posisi Wendy dan Petra.

== === ==