webnovel

Friend With(Out) Benefits

Wendy, terjebak dalam hubungan yang sedang digandrungi banyak remaja kekinian. Dengan peraturan di mana keduanya tidak diperbolehkan menaruh hati. Suatu kebodohan membuat dirinya terjerumus dan semakin terperosot. Kesalahan yang sudah pasti berisiko tinggi tetap ia lanjutkan hingga hatinya siap tak siap harus menghadapi kehancuran.

HuskyUsagi · วัยรุ่น
เรตติ้งไม่พอ
11 Chs

#5

Janji adalah janji. Seorang pria terlihat keseriusannya dari ucapan yang ia pegang.

Petra tengah menggenggam erat jari mungil Wendy. Keduanya berjalan santai menikmati pemandangan di mall. Ya, mereka benar-benar menghabiskan malam bersama sesuai dengan ajakan Petra tadi siang.

"Filmnya mulai jam berapa?" tanya Wendy menoleh ke Petra, agak mendongak. Jarak tinggi mereka memang tidak banyak, tapi Wendy tetaplah harus berusaha dengan tinggi yang hanya sekuping Petra.

Petra mengangkat tangan kirinya—otomatis menarik tangan Wendy yang digenggamnya. "Sepuluh menit lagi. Nunggu di dalem aja, yuk."

Keduanya lantas berjalan ke teater. Membeli popcorn dan minuman, lalu menunggunya di dekat pintu masuk. Seusai jam yang ditunggu tiba, masuklah mereka dan memilih kursi yang sudah dipesan.

Seat A. Paling atas.

"Ga rame, ya," ucap Wendy lalu menyeruput teh lemon miliknya.

Manik cokelat kehitaman Petra meluaskan pandangannya. Ia mengangguk setuju, kursi lain tidak banyak diduduki. Atau mungkin terlambat.

Iklan singkat ditayangkan di layar bioskop. Petra masih menggenggam tangan Wendy, sementara gadis di sebelahnya asik dengan popcorn dengan tangan kirinya.

Film sudah mulai diputar. Gelak tawa berkat komedi natural film sukses memuaskan penonton. Film yang baru dirilis empat hari lalu masih cukup fresh untuk dilihat.

Sesaat Wendy melepaskan rasa sedih dan sakitnya. Keberhasilan tayangan ini untuk menghibur penikmat film tampaknya dirasakan Petra dan Wendy. Keduanya terlihat bahagia melihatnya, menikmati waktu yang ada hingga durasi film berakhir.

"Mau pipis, tunggu aja di luar. Bentar doang, ga berak," pamit Wendy langsung ngacir setelah keluar dari ruangan. Petra memandangi punggung Wendy yang tenggelam dalam keramaian manusia yang mengantre masuk ke toilet wanita.

Dalam toilet, Wendy berbaris di wastafel. Di depan cermin, dia berkaca untuk membenarkan rambut pendeknya dan pakaiannya. Terlihat dia menyukai tampilannya malam ini, lantas ia menarik ponsel dari saku celana.

Jepretan berhasil mengambil dirinya di toilet. Puas akan hasilnya, Wendy mengirimkan potret dirinya ke kontak Petra dengan caption, "cakep banget".

Belum sempat Wendy menutup ponselnya, Petra sudah membuka pesan darinya. Petra sedang mengetik terlihat di bawah tulisan nama kontak. Wendy terkejut dengan respon Petra yang cepat.

"Cantik, Wen."

Balasan Petra tak kalah membuat Wendy terkejut, sekaligus senang. Meskipun sudah sering mendapat pujian, tapi Wendy cukup puas dengan respon Petra. Ia tersenyum tipis sembari mengembalikan ponselnya ke dalam saku.

=====

Seusainya menonton film, Petra mengajak Wendy untuk makan. "Mau penyetan, deh. Udah lama ga makan itu," balas Wendy ketika Petra menanyakan tujuan tempat makan.

Petra tersenyum, menaikkan kedua alisnya singkat, kemudian mengerahkan kemudinya ke salah satu warung makan pinggir jalan. Penyetan favoritnya.

Keduanya turun dari mobil hitam Petra. Memesan penyetan sembari menghabiskan waktu malam. Sudah pukul sepuluh malam.

Tidak seperti jaman dulu, di mana pukul sepuluh malam harus sudah di rumah. Wendy sudah bebas, sudah tinggal sendiri. Mengatur jam main sesukanya. Hingga tak terasa perbincangan mereka hampir menghabiskan satu jam. Untungnya tak masalah untuk warung makan yang dikunjungi, memang jam malamlah mereka beroperasi.

Setelah menyelesaikan agenda jalan mereka, Petra mengantar Wendy untuk pulang.

Ketika di jalan, Wendy kembali diam. Tak banyak bicara. Ia tahu waktu bersenang-senangnya sudah usai. Kini ia kembali teringat tentang perasaannya. Ya, Petra mengajaknya jalan hanya untuk menyingkirkan kesedihannya sementara. Sekarang saatnya ia kembali ke kenyataan.

Tidak bisa bohong jika Wendy belum sepenuhnya mengikhlaskan kepergian Roni. Tapi dia tidak mau dan tak bisa memaksakan apa yang diinginkannya. Pasrah adalah jalannya, tapi memang jalan yang berbatu ini menyulitkan langkahnya.

Petra seakan tahu kalutnya Wendy saat ini. Ketika sampai di depan apartemen, Petra bermaksud ingin masuk. Bukan apa-apa, ia hanya ingin memastikan Wendy akan baik-baik saja. Mungkin akan memberikan beberapa wejangan untuk gadis yang sedang patah hati.

Tanpa beban, Wendy mempersilakan. Toh, Petra sudah sangat dikenalnya. Tak akan ada hal yang macam-macam terjadi. Tentu saja, keduanya sudah berteman lama dan tidak ada bibit atau tanda-tanda perasaan cinta di antara mereka.

Tidak ada. Tentunya. Seharusnya begitu.

Wendy menangis di dalam pelukan Petra. Ia tak dapat membendung kesedihannya. Sadar tak sadar, keduanya saling mengeratkan diri. Wendy yang tak ingin kehilangan siapapun lagi, enggan melemahkan pelukannya.

Pria dalam dekapannya hanya mengelus kepalanya lembut, membiarkan bahunya basah dengan air mata dan ingus. Bukan masalah bagi Petra yang sudah terbiasa menangani perempuan yang menangis. Ia sangat tahu wanita itu rapuh, yang bisa dia lakukan hanya mendengarkan hingga perempuan dalam pelukannya mulai tenang.

"Udah jelas aku bukan tipenya.. kenapa sih aku bego banget? Kita tahu tipe Roni kayak gimanaaaa.. kita anak-anak paham itu. Dan setolol itu aku engga sadar diri."

Wendy mulai meracau tak jelas. Petra hanya mendengarkan. Hingga setengah jam Wendy mulai melemah dan lelah karena menangis.

"Udah?" tanya Petra lembut. Wendy mengangguk dalam peluknya. Kemudian Wendy melemaskan pelukannya, menatap Petra sedih.

"Temenin aku sampai tidur, dong," pinta Wendy kemudian sedikit menyingkir dari pinggir kasur, berdiri, dan berjalan ke ruang mandi dalam kamarnya. Ya, sejak tadi keduanya ada di kamar tidur milik Wendy.

"Kalau disuruh nginep gapapa," jawab Petra, mencoba bercanda. Wendy ber-huh keras dari dalam toilet, kemudian tertawa remeh. "Tidur di luar mau?"

"Mau aja," jawab Petra santai. Pria itu beranjak dari kasur Wendy, sementara gadis itu keluar toilet dengan memasang raut heran.

"Ngga. Temenin aku aja. Nanti kalau udah tidur, kunciin aja pintunya. Besok kasih ke aku pas di kantor. Aku ada cadangan, kok."

Petra hanya diam, tidak protes. Kemudian dirinya merebahkan diri di samping Wendy setelah gadis itu memposisikan diri untuk tidur. Petra merangkul badan mungil itu, mengelusnya penuh sayang.

Wendy tak berkutik, dia diam menikmati perlakuan lembut Petra. Hingga dirinya terlelap, meninggalkan urusan duniawinya dan tenggelam dalam pulau mimpinya.

=====

Krincing!

Suara kunci ditaruh di atas meja. Pandangan empu kunci melirik ke atas, mengadah ke arah orang yang mendatanginya. Tanpa babibu, Wendy segera mengambilnya dan memasukkannya ke tas.

Seperti biasa keduanya mulai membahas revisi di meja Wendy. Roni dan Sandi sudah keluar, entah antara malas masuk karena tidak ada kerjaan atau lainnya. Hanya tersisa keduanya dan Surya yang ada di meja kerjanya.

Sejoli itu tampak sibuk dengan pekerjaan, sementara Surya mengamati. Terasa ada gelagat yang aneh, tapi jika diperhatikan, masih sama seperti biasa. Entah Surya yang terlalu peka atau hobi menerka, rasa menohok terasa di dadanya.

Belum sempat menyapu rasa nyeri di dada, pintu ruangan terbuka. Di mana sosok wanita dari divisi pelayanan datang untuk mencari Roni—yang sebenarnya hanya modus untuk menarik perhatian Petra. Irine tentunya.

"Roni ga ada, Rin. Balik nanti aja," jelas Surya. Tapi Irine tak memperdulikannya. Ia mendekati meja Wendy, mengamati kedua orang yang terlihat damai daripada perseteruan biasanya.

Wah, tidak ada kesempatan untuk mencari wajah.

"Mmm, Petra. Bisa minta tolong, ga? Bantuin ini, dong," pinta Irine dengan nada memelas, namun terkesan mendesah dan menggoda. Wanita itu mendekat ke sisi kosong Petra dan meletakkan kertas komplain di atas gambar desain Wendy.

"Sama Roni. Ga ada urusan sama gue," ketus Petra enggan berurusan dengan Irine dan menyingkirkan kertas milik Irine ke samping.

"Bentar aja, yaaaa?"

"Lo bisa pergi ga? Gue bilang ga ada urusan ya gue ga bisa. Sana sama yang harusnya berurusan."

Irine mendengus setelah ditolak beberapa kali. Ia lalu berbalik dan hendak memberikan kertas ke Surya. Namun Irine menangkap sesuatu.

Tatapan Surya tak pernah lepas dari Wendy. Memang benar pria itu sudah bebas dari pekerjaan, tapi untuk apa menghabiskan waktu santainya dengan memandangi orang lain?

"Ohh. Gitu," gumam Irine setelah sampai di meja Surya. Surya sudah lebih dulu memalingkan wajahnya saat merasa Irine mengetahui keberadaannya.

"Ya, ya, yaaa. Kayaknya kamu perlu bantuin aku, ya~ Nice to meet you, Irine, yang bakal jadi partner kerjamu nanti."

Ada maksud lain, Irine berbalik dan meninggalkan ruang desain dengan bahagia. Seolah menemukan sebuah karta karun, wajahnya tampak berseri dan puas.

== === ==