webnovel

Friend With(Out) Benefits

Wendy, terjebak dalam hubungan yang sedang digandrungi banyak remaja kekinian. Dengan peraturan di mana keduanya tidak diperbolehkan menaruh hati. Suatu kebodohan membuat dirinya terjerumus dan semakin terperosot. Kesalahan yang sudah pasti berisiko tinggi tetap ia lanjutkan hingga hatinya siap tak siap harus menghadapi kehancuran.

HuskyUsagi · วัยรุ่น
เรตติ้งไม่พอ
11 Chs

#3

Uang transferan sudah masuk ke rekening Wendy. Seusai bekerja, Wendy bergegas pamit untuk pergi. Tentu saja kepergian itu disaksikan Roni yang baru saja mengirim uangnya.

Roni tersenyum. Ia terlihat puas, merasa semua baik-baik saja dan tidak menyadari perasaan Wendy yang sesungguhnya. Seolah seperti Sugar Daddy, memberikan apa yang diinginkan Sugar Babynya asalkan keinginannya terpuaskan. Mungkin dia sudah siap melepas statusnya apabila Chindy mengiyakan ajakan pacarannya.

Beralih ke Wendy yang kini jalan-jalan sendiri di mall. Ia berjalan ke sana-sini, melihat toko toko. Apapun ia jajah. Lumayan, uang lima belas juta untuk jajannya, anggap saja bonus personal dari Roni.

Menenteng beberapa kantong belanjaan, Wendy baru menaiki lantai kedua mall yang ia kunjungi. Masih banyak yang ingin dia beli. Toko buku, toko baju, toko bunga, toko aksesoris dan perhiasan. Sangat memanjakan diri.

Ini yang dimaksud healing jaman sekarang?

"Wen. Banyak amat belanjanya."

Suara yang sangat familiar, yang sering beradu pikiran membuatnya sangat hafal dengan pemiliknya. Wendy berhenti dan menatap pria di depannya. Kebetulan berpapasan.

Tapi mata Wendy menyipit. Heran. Seolah tidak kenal. Hanya saja suaranya sangat mirip.

"Siapa? Pernah kenal?"

=====

Wendy dan Petra duduk berseberangan di dalam kafe. Wendy masih berpikir, bagaimana bisa sosok Petra yang culun bermulut pedas kini menjadi oppa oppa Korea?

Tanpa kacamata bulat, rambut dikucir, dan tatapan malasnya.

Petra lebih fresh dengan rambut seleher. Surai halus dan terawatnya, dibalik kuciran setiap harinya. Sorot mata ramah dan tampak cantik tanpa penghalang kacamata bulat.

"Aku lebih santai dan engga penat. Emang aku butuh waktu buat sendiri, sih. Lebih fresh aja," jelas Petra kemudian menggigit roti bakarnya. Roti bakar selai cokelat favorit Petra. Saking sering memesannya, Wendy sampai hafal.

"Tapi jauh banget. Oplas?"

"Gila lo, ya. Mikirnya sampai oplas segala," jawab Petra agak sewot.

Meski sulit diterima, tapi Wendy mencoba mengerti. Mungkin ini wajah kedua Petra. Atau kepribadiannya yang lain?

"Gimana kerjaan? Aman?" Petra memastikan, hampir dua minggu dirinya mengosongkan posisinya. Yang biasanya berada tak jauh dari Wendy. Mungkin pekerjaan yang ditanyakan adalah bagaimana posisinya selama ini dia tinggalkan.

"Ga aman. Roni banyak kasih revisi, dia engga fokus sama kerjaan dan malah kencan sama sekretaris baru," protes Wendy kesal. Ternyata dia masih cemburu. Belanjanya seakan sia-sia setelah menyadari perasaannya bertepuk sebelah tangan.

"Oh, ya? Sekretaris baru?"

"Chindy namanya. Baru masuk pas kamu kena skors."

Petra mengangguk-angguk, dia baru tahu. Sandi tidak pernah bercerita. Mungkin Sandi akan membeberkannya ketika Petra masuk kerja nanti.

"Buat nenenin—" "Heh Petra!"

"Nemenin. Nemenin Julian," sambung Petra sambil tertawa. Wendy memukul tangan Petra, bermaksud protes dan memarahinya.

"Ngga, lah. Chindy tertarik sama Roni, Roni juga," balas Wendy menghela napas. Kedua alisnya terangkat singkat, seolah pasrah. Kemudian melahap wafflenya.

Petra melirik Wendy. "Kenapa? Cemburu?"

"Ngaco."

"Ngaku, deh. Kelihatan banget dari cara lu cerita."

"Ih, Pet. Lu kena skors sambil nyabu apa gimana? Makin ngelantur."

"Ngeganja doang."

"Mata lo ganja."

Pertemuan itu berakhir dengan Petra menemani Wendy belanja dan mengantarnya pulang. Selama ini Wendy ke mana-mana hanya menggunakan jasa ojek online.

=====

Minggu pagi, Wendy seperti biasa menghabiskan pagi dengan olahraga pagi. Jogging dari apartemennya hingga tiga kilometer dari tempat tinggalnya, kemudian kembali.

Menemani lari kecil, musik dari band The Script memanjakan telinganya. Menikmati dan sangat enjoy dengan setiap langkah. Tak  terasa sudah setengah jalan dari targetnya.

Hingga musiknya terputus karena dering telepon masuk. Wendy menghentikan langkahnya, menarik ponsel dari sakunya. Roni.

"Halo. Kenapa Ron?"

"Nanti bisa ketemu?"

Wendy melihat sekeliling. Tampak gusar. Ia belum selesai dengan olahraganya. Yang semula sudah melupakan sejenak semua pikiran beratnya, kini kembali. Moodnya kembali rusak.

"Jam?"

"Sehabis olahraga ke apartemenku."

"Langsung?"

"Iya. Langsung. Aku ga mau ngapa-ngapain, kok. Mau bicara soal kita. Nanti ongkosnya aku—"

"Gausah. Aku bayar sendiri. Habis ini aku ke situ."

Wendy langsung menutup panggilan Roni. Ia membuka aplikasi ojek online.

Sudah tidak ada semangat untuk melanjutkan aktivitasnya. Semua ambyar. Buyar. Karena seseorang yang sudah mematahkan harapannya.

=====

Gadis itu duduk di sofa ruang tv. Ia sudah membersihkan diri di kamar mandi apartemen Roni. Dengan minuman yang ada di meja depannya, Wendy meneguk jus jeruk buatan Roni.

Pria itu sedang sibuk di kamarnya. Wendy tidak menyusul seperti biasanya. Ia tahu, status mereka akan berakhir hari ini.

"Gimana olahraganya?" Basa-basi basi Roni. Wendy menanggapinya dengan baik. Seolah tidak merasakan apa-apa. Topeng yang kuat, Wendy.

"Udah ngerti maksud aku manggil kamu, kan."

Anggukan Wendy sebagai jawaban iyanya.

Roni menunjukkan tablet miliknya. Di mana foto dirinya dan Chindy yang menghabiskan malam minggu semalam untuk dinner. Sangat mewah dan romantis. Beberapa photoshoot juga sudah ditangkap semingguan ini selama Roni tidak menemui Wendy.

Wendy tertegun. Dia tidak pernah seperti itu bersama Roni, secara nyata, namun dalam halunya hampir setiap hari.

"Mulus?" tanya Wendy sembari meraih tablet Roni, melihat-lihat foto kebersamaan Roni dan Chindy. Sakit. Lubuknya menangis dan menggedor-gedor pertahanan Wendy, meraung mengemis untuk menahan Roni. Namun Wendy tak mau, otaknya sadar diri jika dirinya bukan siapa-siapa dan Roni bukan miliknya, takkan pernah.

"Banget. Semalam, dia nerima aku."

Wendy tidak terkejut. Sudah pasti iya. Siapa yang tidak mau dengan Roni?

Tampan, tinggi, badan bagus, serba punya, tegas, berpendidikan tinggi, gentleman, sangat memahami wanita, memiliki jabatan bagus. Sangat menjamin hidup enak.

"Jadi, cukup sampai sini, kan, maksudmu?" Wendy memastikan sembari mengembalikan tablet Roni ke pemiliknya. Roni mengangguk dan menghela napas.

"Congrats. Akhirnya kamu nemuin yang kamu pengen, Ron," lanjut Wendy tersenyum kecil. Ia menyenderkan diri di sofa. Pada akhirnya semua berakhir dengan kejelasan ini. Matanya terpejam sejenak, menyadari kini tak akan ada lagi pertemuan rahasia mereka dan menghabiskan malam bersama di kamar warna merah.

Roni beranjak dari samping sofa yang ditempati Wendy. Ia mendekati Wendy. Gadis itu membuka mata, melirik, dan tersenyum.

"Thanks. Untuk terakhir boleh, ga?" tanya Roni menggoda. Semakin merekatkan jarak mereka, Wendy terbius. Dirinya diam, menginginkannya. Menunggu kecupan mesra yang perlahan memanas dan sentuhan-sentuhan lain di setiap lekuk tubuh mungilnya.

Namun rasa sakit menamparnya, Wendy segera terbangun dari hipnotis mautnya Roni. Ia tertawa miris. "Gila, lo. Ngga. Kan udah punya Chindy. Rulesnya kayak gimana awalnya," peringat Wendy mendorong Roni untuk menjauh.

Pria itu terdorong sedikit. Tidak ingin memaksa, tapi Roni pada akhirnya memeluk Wendy. Ia berterima kasih dalam eratannya. Gadis itu hanya diam, menikmati pelukan sayang dan penuh perasaan untuk pertama dan terakhir yang sangat ia idamkan.

=====

Minggu telah berlalu. Hari Senin kembali menyapa. Selamat pagi dunia, selamat menempuh hari suram kesekianmu.

Wendy melangkah masuk ke ruang divisinya seperti biasa. Semalaman dia menangis tak karuan, mencoba melepas segala yang mengganjal karena semua sudah jelas sekarang.

Tidak ada Roni, tidak ada perasaan yang terpendam, tidak ada harapan yang dia taruh ke siapapun. Sendiri, kembali bergulat dengan pekerjaannya yang mungkin akan ia nikahi suatu saat nanti.

Namun hari ini cukup berbeda, ruangan masih sama seperti minggu pertama ketika Petra kena skors. Sandi dan Petra tidak ada. Ke mana mereka?

"Eyoyo."

Pintu buram terbuka lebar. Sandi masuk terlebih dahulu, diikuti Petra. Namun sekarang beberapa wanita berada di belakang mereka. Wendy tampak aneh dengan pemandangan yang baru dilihatnya selama bekerja di sini. Ia lebih fokus dengan kerumuman karyawan di luar ruangan.

"Napa tu—" "PETRA ANJING INI LO?!"

Kehebohan kembali terjadi. Kini Surya dan Roni dikejutkan dengan penampilan Petra yang berbanding terbalik dari biasanya.

Si Cupu kini berubah menjadi Si Tampan dan Pemberani.

Model rambut Koreanya, paras kombinasi antara tampan, manis, dan cantik bersatu. Model pakaian yang biasa di pakai kini sangat kekinian dan cocok. Sempurna!

Wendy menatapnya, terkejut juga. Tapi tidak seheboh Surya dan Roni. Tentu, matanya sudah mencuri start.

"Aku juga kaget waktu jemput Petra di rumah! Gilaaa, kaaann! Tuh cewek cewek pada ngantri!" seru Sandi diiyakan oleh Surya, diikuti Roni yang mendekati Petra dengan takjub.

"Lo oplas di mana?!" seru Roni masih tidak percaya.

"Mata lo oplas. Kayak Wendy ya, ngira oplas juga," balas Petra sambil menoleh ke meja Wendy.

Yang dituju melihat dengan terkejut. "Oh, iya. Kamis itu aku ketemu Petra di mall. Kaget juga, sih. Katanya juga Petra ngeganja semenjak skors," adu Wendy kemudian berdiri dari kursinya.

"Heh mulutnya!"

Roni mencegah Petra yang hendak mengejar Wendy. "Halo, BNN."

== === ==