webnovel

Flat Face [END]

Lika-liku kisah cinta Kara dengan Pangeran Kampus yang berwajah datar. Bahagia, tapi juga sedih. Terkenal, tapi juga dihujat. Bergelimang harta, tapi juga miskin. "Pangeran Kampus?" "Sumpeh lo?" Begitulah reaksi kedua sahabatku ketika aku menceritakan bahwa saat ini sedang dekat dengan Angga. Sang Pangeran Kampus yang terkenal tampan dan juga kaya.

dhiarestwd · วัยรุ่น
Not enough ratings
38 Chs

Flat Face 32

Aku nggak tahu apa yang Angga bahas sama Aksa. Nggak ada yang mau kasih tahu ke aku tentang apapun. Bahkan Aksa juga gak bisa aku rayu.

Yang jelas, setelah acara ngobrol itu, kami nggak bahas hal itu lagi. Aksa juga kayaknya udah diwanti-wanti sama Angga buat nggak bahas masalah itu sama aku. Jadi curiga, mereka bahas apa. Di cctv juga nggak bisa diandalkan, karena Angga sengaja dimatiin sewaktu mereka ngobrol.

Apapun yang mereka bahas, jelas itu bawa nama Axel. Karena dia datang di hari berikutnya dan main seharian sama Aksa. Bahkan mereka berdua seolah anggap aku nggak ada. Pas jam makan juga biasanya Aksa rengek sama aku, ini nggak.

Axel juga nggak nyapa aku pas datang. Kebetulan juga Tika yang bukain pintu, jadi aku nggak ketemu. Cuma, Tika ngasih tahu kalo Axel datang dan langsung nanyain dimana Aksa.

Mereka ngapain sih?

"Sekarang aku jadi pemain figuran, Tik." ucapku ke Tika.

"Kita itu pemain figuran di kehidupan orang lain, Mbak. Kayak aku yang jadi pemain figuran di kehidupan Mbak." bener juga sih jawaban Tika.

"Iya juga sih ya." aku lanjutin cemil risol mayo buatan Tika. Nggak sadar aja kalo udah abis lima biji.

Nggak kuat dicuekin terus, akhirnya aku ngajak Tika main. Ya kemana aja gitu asal nggak di rumah aja. Sewaktu pamit sama Aksa, dia cuma anggukin kepala doang dan lanjut main sama Axel. Hebat ya anakku, udah bisa cuekin emaknya.

Bahkan setelah muterin mall dan belanja apa saja yang nggak penting, aku masih merasa kesal. Axel masih setia main sama Aksa. Kayaknya mereka berdua sangat klop dan kompak.

Sejak kedatangan Axel setelah lamaran, Angga jadi nggak balik. Seharusnya dia udah pulang dua kali, tapi nyatanya sampai detik ini dia belum menampakkan batang hidungnya.

Ketika aku bertanya lewat pesan, dia cuma bilang lagi ada kerjaan di luar. Jadi ya nggak pulang.

Aksa yang biasanya rewel kalo biangnya nggak pulang juga ini anteng aja. Malah asyik aja gitu main sama Axel. Udah lah, mereka berdua emang klop banget. Kayak anak sama bapaknya gitu.

"You don't miss Daddy?" tanyaku, ketika kami sedang makan malam bersama.

"Miss him so much, but I have Papa now." jawab Aksa enteng.

"Papa? Who's your Papa?" kok aku malah jadi penasaran gini sih?

"Papa Axel, of course."

Hey, jawaban macam apa itu? Papa Axel? Sejak kapan dia manggil Axel dengan sebutan papa?

"Why you call him Papa?" rasa penasaranku malah makin besar. "Who ordered you?"

"Daddy told me, he will be my Papa. So, I'll have Papa and Daddy, right?"

Aku sama Tika sepakat liatin Aksa. Dia enteng banget jawab pertanyaanku dan bilang kalo Axel bakal jadi bapak dia? Hey, mamakmu aja belum bisa bilang iya lho.

"Congratulation, Aksa, you'll have Papa." ini si Tika malah ikutan heboh deh.

Melihat tatapan tajamku terarah ke dia, Tika langsung diem. Aku pikir Tika adalah pendukungku, tapi nyatanya dia malah kasih selamat ke Aksa. Jadi, ini waktunya aku ngobrol lagi sama Aksa.

"Kenapa kamu setuju dengan permintaan Daddy?" tanyaku. Tentu aja pake bahasa Inggris ya. Aku lagi males aja translate ke bahasa Inggris.

"Daddy bilang Mommy akan bahagia kalau ada Papa Axel." jawab Aksa polos.

"Hanya karena itu?" aku malah makin curiga.

"Aku juga ingin punya Papa, sama seperti yang lainnya. Menjadi berbeda itu tidak menyenangkan. Dan lagi, Papa Axel keren dan tahu apa yang aku inginkan." Aksa berbinar banget pas ngomongin soal Axel.

"Kamu bahagia bersama Papa Axel?" tanpa ragu Aksa menganggukkan kepala. "Mommy berharap kamu selalu bahagia dengan orang-orang disekitarmu."

"Jangan khawatir, Mommy, aku akan selalu bahagia selama ada Mommy disisiku."

Itu sangat menyentuh, tapi aku malah jadi takut sendiri.

Aksa bilang selama aku ada disisi dia. Gimana kalo nanti suatu saat aku mati? Apa Aksa akan tetap bahagia? Gimana kalo malah sebaliknya?

Pelukan Aksa bikin aku merasa tenang. Tangan mungilnya mengelus punggungku. "Mommy jangan khawatir, aku baik-baik saja."

***

Katanya hari ini Axel ada meeting penting. Aku kurang paham juga sih sama kerjaan dia, tapi emang setahuku dia kadang emang ada meeting semacamnya.

Padahal hari ini aku udah bertekad mau ketemu sama Axel dan bahas tentang apapun yang menyangkut antara aku dan dia. Duh, kayaknya berat banget yak bahasanya.

Axel nggak angkat teleponku, dia juga nggak balas pesanku. Ya cuma ngabarin kalo dia bakal sibuk itu aja sih.

Baru dua hari kemudian dia kasih kabar ke aku kalo dia ada waktu luang. Nyebelin banget kan kalo kayak gini ceritanya.

Tapi nggak papa. Yang penting dia udah ada waktu. Masalah ini harus segera diselesaikan biar nggak makin ribet. Juga aku nggak mau ada pihak yang merasa dirugikan nantinya.

"Kenapa tegang gitu sih?" itu pertanyaan nggak ada yang lain apa?

"To the point aja. Kenapa kamu deketin Aksa?"

Kalau mau diliat, ada banyak banget pertanyaan yang ada di kepalaku. Rasanya butuh banyak kertas biar semua pertanyaan tertuang dengan baik. Nggak ada yang ketinggalan. Tapi jelas dong ya, masalah utama selalu menyangkut tentang Aksara

"Kalo aku nggak bisa deketin kamu, aku akan deketin Aksa." Axel mengamati reaksi wajahku. "Jangan berprasangka buruk dulu."

Kedua alisku mulai relax. Mataku juga nggak nyipit karena menaruh curiga ke Axel.

"Aku paham apa yang kamu takutin. Pikiranmu cuma tentang kebahagiaan Aksa. Jadi aku pikir aku bakal bikin Aksa bahagia, biar kamu bisa mikirin aku juga."

Andai bukan dalam suasana serius, aku pasti bakalan muntah. Lebay banget sih nih om-om.

"Aku serius waktu lamar kamu. Kalo yang bikin ragu tuh pendapat keluargaku, kamu nggak usah takut, karena aku udah nggak punya orangtua lagi."

Well, ini fakta yang mengejutkan. Karena aku memang nggak tahu tentang keluarga Axel sama sekali. Apa dia punya kakak? Gimana orangtuanya? Saudara dia yang lain?

Itu bener. Aku memang buta soal Axel. Dari awal kenal memang kami nggak pernah bahas masalah pribadi. Kami sama-sama nyaman dengan masing-masing dan apa yang ada di diri kami.

Cukup egois memang, tapi menurut kami, itu cara kami menikmati waktu kebersamaan. Mungkin kalo mau ekstrimnya sih dunia milik berdua, yang lain cuma numpang doang.

"Kamu udah bilang sama Angga?"

Axel langsung mengangguk. "Sebelum aku lamar kamu, aku ketemu sama dia. Kami ngobrol banyak hal. Dan kebanyakan apa yang menjadi keraguan kamu, Angga yang kasih tahu."

Harusnya sih aku kaget, tapi kok jadi biasa aja ya? Kayak udah nebak aja ada campur tangan Angga. Ah apa sih yang aku pikirin? Tentu aja Angga bakal bertindak. Dari dulu kan dia emang kayak gitu.

Diamku bikin Axel nggak tenang. Dia berulang kali ubah posisi duduknya. Mungkin aku harus merekomendasikan gaya kayang kali ya?

"Aku takut cuma bakal rusak reputasi kamu. Apalagi kamu punya jabatan, pasti orang-orang sekitar kamu bakal banyak yang komentar. Aku juga nggak mau Aksa kepikiran sama omongan orang lagi." pemikiran itu nggak pernah lepas dari kepalaku. Siapapun orang yang mendekatiku, pasti aku akan berpikir seperti itu.

"Kita bisa ganti nama Aksa, biar sama kayak namaku." usul Axel. "Angga sebenarnya udah lama pengen ganti nama Aksa, tapi dia nunggu kamu setuju. Biar kejadian dulu nggak terulang lagi."

Itu memang bener. Sejak awal memang Angga pengen nama dia ada di nama Aksara. Narendra maksudnya. Tapi jelas aku nggak mau, karena nama itu berat banget. Aku nggak mau nanti Aksa terbebani karena nama itu.

Lalu gimana sama nama Axel? Ada banyak berita memang kalo kita masukin kata kunci nama Axel, tapi aku nggak yakin apakah itu keluarga Axel atau bukan. Nama bisa sama kan?

"Kasih tahu ke aku, semua tentang kamu." pada akhirnya hanya itu yang aku ucapkan.

Logis nggak sih? Aku harus tahu tentang calon suamiku kan? Oke, dia emang calon suami. Aku nggak bantah. Aku juga sangat berharap dia jadi suamiku.

Apa pertanyaanku kelihatan sulit? Kok Axel malah menghela napas dan lalu tersenyum yang kayak dipaksa gitu.