webnovel

BAB 7 Silvi yang Diabaikan

Tak terasa mereka sudah menjadi anak yang berseragam putih abu-abu. Lagi-lagi aku dan Bella sekelas kembali. Benar-benar menyebalkan. Apalagi tiap kali dia memuji Arga tanpa henti.

"Gua udah dijodohin." Aku segera membuang muka menatap ke luar jendela.

Mataku membuka sempurna ketika melihat Juna. Pria itu tampak ... tampan. Makin hari ketampanannya makin diluar nalar. Apalagi saat dia mengelap keringat dengan kaos yang dipakainya. Lalu, saat dia menyiram air ke kepalanya, menggeleng pelan dan menyugar rambut.

"Juna ya?"

Aku kaget dan langsung membuang muka. Kudengar Bella terkekeh geli. Anak ini benar-benar deh.

"Nggak nyangka, lu suka yang kayak gitu."

"Ekhm! Gua mau tidur. Kalau ada guru bangunin."

"Dih! Alihan topiknya ngga seru!"

Aku tak peduli. Yang kupedulikan degup jantung yang bertalu. Hah! Gua gila.

xxx

Di rumah. Aku sibuk memandangi Juna.

"Ng? Ke ... kenapa?" tanya Juna gugup. Astaga cowok cool, dingin dan penuh aura mengerikan di sekolah, kenapa bisa seimut ini.

"Suka aja," ucapku enteng. Blush kulihat mukanya yang memerah. Astaga!

"Kalau mau pacaran jangan ajak orang!" Mario langsung melempar bantal, tapi ditangkap Juna. Matanya langsung menatap tajam.

"Gua takut khilaf. Habis Juna memesona begini." Juna langsung salah tingkah.

"Hoek! Astaga Ran! Lu belajar dari mana?! Lagian jadi cewek jangan agresif napa?"

"Ck!" Aku duduk tegap dan memanyunkan bibir. Lalu kembali tenggelam dalam buku-buku soal. Minggu depan akan ada olimpiade dengan Arga dan Ergi sebagai teman satu regu.

"Ngomong-ngomong sejak kapan Lu suka sama Juna?"

"Sejak pertama kali ketemu setelah sekian lama," jawabku cepat.

"Sejak itu ?! Tapi ...."

"Gua nggak akan usahain sesuatu yang tingkat keberhasilannya hanya nol persen. Waktu itu gua mana tau dia juga suka." Kuraih tangan Juna dan kembali fokus dengan buku-buku yang bertumpuk.

"Sakit!"

"Eh! Ini namanya berani! Dari pada orang yang nggak berani ambil gerakan." Aku membalik halaman. "Awas aja nanti nangis karena Bella dah sama Ergi."

"Ck! Gua itu namanya cari waktu yang tepat. Nggak kayak lu ngancem."

Beberapa minggu yang lalu. Aku mengirim pesan pada Mario. Menyuruhnya ke rumah. Kupikir dia bakal sendiri. Ternyata cowok itu lumayan pengecut. Minta maaf sama adeknya selalu ada Juna.

"Tunggu!" teriak Mario. "Itu karena tu anak ngintilin gua tiap mau ketemu lo!"

"Iyain aja deh!"

Jadi saat itu, aku langsung bilang.

"Kalau lu mau gua maafin. Juna harus jadi pacar gua!"

"Tapi gua suka." ucap Juna sambil menyandarkan kepalanya di bahuku.

"Saraf kalian!" umpatnya sambil memukul meja dan pergi begitu saja.

"Jun!"

"Ng?"

"Maaf ya."

"Ng?"

"Aku masih belum siap untuk bilang ke orang lain."

"Nggak papa." Juna tersenyum melihatku.

xxx

Hari ini pengumuman prestasi kami di akhir upacara hari senin. Karena Olimpiade dilewati dengan baik dan hasilnya memuaskan.

"Terima kasih, semuanya. Dan saya rasa teman-teman juga sudah tak tahan untuk berteduh dari teriknya mentari. Jadi itu saja yang bisa saya ucapkan."

Semua orang langsung mengacungkan dua jempol padaku yang hari ini sebagai perwakilan juara. Dan tak lama setelah itu kami dibubarkan untuk memulai aktivitas belajar.

Dan sejak Bella yang menemani. Kami selalu berdua ke mana-mana. Termasuk ke kantin.

'prang'

"Silvi!" teriak Ergi. "Kamu nggak papa?"

Silvi diam dan malah menangis.

"Hei! Kalau ditanya tu jawab!" teriakku sambil menarik Bella. Takut Ergi main tangan lagi. Meski pria itu sudah janji.

"Bella!!" teriak Ergi murka.

"Apa?!"

"Minggir lu! Gua nggak ada urusan sama lu!" teriak Ergi.

"Ada! Dasar cewek lu aja cari gara-gara! Jalanan luas, kenapa mepet ke meja kami?! Lagian bangkunya di sono dekat lu! Kenapa harus lewat sini!"

"A ... aku takut dengan mereka." cicit Silvi.

Aku memutar mata malas dan berjalan ke arah kumpulan pria yang bangkunya tepat di sebelah Bella tadi. Pria itu tampak tidur.

"Bangun!" Aku menendang pelan kaki pria itu.

Pria itu langsung berdiri sambil menggebrak meja. Menatapku tajam agak lama.

"Gua nggak takut sama lu. Tapi dia!" Aku menunjuk Silvi. "Ngomong-ngomong papa yang punya sekolah ini kan?"

"Mmm!"

"Telpon! Gua minta rekaman cctv kantin."

"Tu ... tunggu! Gua cuma kesandung kaki sendiri."

"Oh! Terus kenapa nggak jawab tadi?" tanyaku gemas. Tak lupa Dinda sudah menjadi temanku kembali ikut geregetan dengan Silvi.

"Gua capek sama lu Vi!" Ergi segera melepaskan tangan Silvi.

"Ergi! Tunggu! Awas lu!"

"Uuu! Takut!"

Setelah kepergiannya aku merasa merinding. Namun tak tau apa. Ada rasa takut dengan ancamannya. Tapi kenapa?

"Ng?" Aku menatap sekitar. Mereka menuntut penjelasan. Kulihat Mario sudah tidur kembali. Tega banget abang satu ini.

"Ng ... hahaha ... emang gua nggak pernah bilang gua dan Mario saudara kandung?" Bella dan Dinda menggeleng sambil menggeram marah. "Bang! Bella bilang dia suka sama lu dan mau jadi pacar lu!"

Aku langsung bersembunyi di belakang Mario. Bella tampak kaget begitu pula dengan Bella.

"Gu ... gua ...."

"Gua tau. Gua berdiri karena gua suka sama lu, Bella." Mario langsung berbalik dan menatap tajam. Ia benar-benar tak suka dengan kelakuanku yang menirukan suaranya.

"Apa itu benar?" tanya Bella.

"I ... itu ...."

"Apa yang dikatakan Kirana benar?"

Mario mengangguk. Aku yang berada di belakang pria itu mengikik geli ketika mendengar detak jantung pria itu. Entah kenapa bisa terdengar begitu.

"Sebenarnya ... gua dah nggak ada perasaan sama Ergi. Gua ... gua memerhatikan lu beberapa bulan ini ... gua ...."

Mario langsung memberi kode agar Bella berhenti bicara. Seperti saat menyuruh pasukan barisan upacara yang ributnya setengah mati. Namu kali ini tak perlu angkat tangan tinggi-tinggi.

"Gua suka lu. Mau nggak lu jadi pacar gua?"

Bella mengangguk setuju. Senyumnya begitu cerah. Mereka berpelukan. Dan sekarang waktunya gua kabur.

"Juna! Tahan dia!" titah Mario yang ternyata sudah selesai dengan acara pelukannya.

Juna berlari dan langsung menghadang gua.

"Kamu!!" tunjukku. "Minggir nggak?!"

Juna langsung minggir. Aku langsung berjalan dan tak menanggapi teriakan mereka.

"Berani maju, lawan gua!" teriak Juna.

xxx

Setelah proses pencarian lama. Aku mengintip Ergi yang mengusir Silvi pergi. Bahkan pipi gadis itu ditampar.

Hah! Malangnya. Maafkan a .... Kepalaku berdenyut parah. Lututku langsung lemas dan lama-lama kelamaan mataku mulai ketutup. Saat itu yang kulihat adalah ... Reyhan.

xxx