webnovel

BAB 1Apa yang Terjadi?

Aku membuka mataku. Kulihat seorang perempuan tengah memegang tanganku. Ia tampak gemetar dengan seragam SMA nya. Aaaah?!

"Sekali lagi lu ganggu Silvi, lu tau kan akibatnya?!" Aku segera menoleh dan tepat di depan wajahku sebuah tangan sibuk menunjuk ke arahku. Dengan berani kulihat siapa orang itu.

Saat itulah kulihat seorang perempuan yang tengah dipeluk pria di belakangnya tersenyum miring padaku. Sebelum ia menyembunyikan wajahnya dan menangis.

"Sudah jangan nangis lagi!" ucap pria yang menunjukku tadi. "Ayo kita pergi!"

Mereka pun segera pergi dari sana. Perempuan di sebelahku pun sesenggukan.

"Ran!" panggilnya sambil mengeratkan genggamannya. "Kirana!!"

Aku menoleh dan melihat ke arah wajahnya yang lebam. Sudut bibirnya agak robek.

"Lu nggak apa kan?" tanyanya.

"Ng? Nggak apa!" Aku menggeleng. Meski ada rasa perih di pipi dan sudut bibir.

"Apa lihat-lihat!" teriaknya. Mungkin ia mengikuti arah pandangku yang melihat orang-orang menonton kami. "Ayo!"

Aku pun segera pergi bersamanya. Kami berdua berjalan menuju UKS. Tepatnya sih dia yang menarikku.

Di sana kami saling mengobati luka. Lalu, kulihat name tag nama perempuan itu. Arabella Sandara Wicaksana.

"Belbel!" panggilku.

"Ng?" Ia segera menoleh. Dengan cepat aku menutup mulut tak percaya.

Sumpah mi apa aku semalam. Tidak! Semalam aku tak tidur karena rumahku kebanjiran. Setelah sibuk membersihkan rumah dan hendak tidur, rumah sakit menelpon. Katanya ada yang mengalami gagal jantung. Aku segera bangkit dari kasur dan bersiap. Dan jika bukan karena dokter Arnold sakit, dokter Fahri jatuh dari tangga, serta dokter Vika cuti melahirkan. Aku tak akan mereka panggil. Karena kemarin hariku cukup berat. Karena operasi pengangkatan jantung dan menggantinya dengan jantung buatan. Lalu ... hanya berjeda mengganti atribut dan cuci tangan dan memakan roti serta susu yang dibeli anak Koas. Aku kembali ke ruang operasi sebanyak empat kali dalam sehari.

"Ran! Lo kenapa sih?!"

"Hati gua tertinggal," jawabku asal.

"Apaan sih! Nggak lucu!"

"Yuk, pulang!" ajaknya tepat setelah bel pulang bergema.

"Ayo!"

xxx

Di dalam kamar aku termenung. Kenapa harus bangun di saat itu?! Maksudnya dalam keadaan setelah ditampar itu. Karena kebanyakan novel itu yang aku baca tentang transmigrasi itu saat mereka di rumah sakit atau tak sengaja kepalanya terbentur. Jadi mereka punya alasan hilang ingatan. Nah aku?! Oh my God!!

Aku segera duduk di meja belajar. Mulai menuliskan banyak hal yang ku tau. Dunia ini adalah novel picisan yang kubuat pertama dan terakhir kalinya. Bahkan cerita ini tak pernah terbut dan terabaikan begitu saja di webnovel. Cerita ini berakhir dengan kematian tragis Kirana dan Arabella. Setelah itu tak ada lagi.

'tok tok tok'

"Masuk!"

"Non! Tuan mengajak non makan malam."

Aku hanya mengangguk dan mengusirnya dengan tangan. Ya, itulah sikap Kirana yang kugambarkan. Jangan sampai aku gegabah.

Aku segera turun ke bawah dan menemui pria yang menjadi papa Kirana. Ia sempat menoleh tak percaya. Dan ... astaga! Gua lupa, dia nggak pernah akur dengan pria paruh baya satu ini.

Aku berdehem dan segera duduk agak jauh darinya. Pria itu langsung menunduk dan mendengus kasar. Rasa bersalah mulai muncul, tapi mau gimana pun aku Karina bukan Kirana.

"Gimana sekolahnya?" tanyanya.

Aku terdiam, tapi kembali melanjutkan makan. Untuk alasannya, karena orang tua ku lumayan ketat dalam tata krama dan kesopanan. Jadi kebiasaan itu tak bisa dihilangkan. Namun, setelah mengusap mulut aku menjawab pertanyaannya.

"Lumayan," jawabku. "Besok mau ke mall?"

"Oh! Hati-hati."

"Maksud Rara, apa besok pagi bisa menemani Rara ke mall?" Aku memandang ke arah pria yang sedikit terkejut dengan pertanyaanku. "Nggak bisa ya?"

Aku menghela napas dan beranjak pergi. Namun, baru hendak naik tangga.

"Besok jam 8 kita berangkat." Aku mengangguk dan segera naik ke atas.

xxx

Sarapan berjalan hening. Aku juga tak tau harus apa.

"Papa tunggu di depan. Papa panasin mobil dulu."

Aku hanya mengangguk dan mempercepat sarapanku. Setelah itu, papa beranjak dari kursinya.

"Mau beli apa di mall?" tanya papa saat aku sudah duduk dengan nyaman dan seatbelt sudah terpasang sempurna.

"Pakaian, tas, sepatu, seragam baru dan ... aku mau potong rambut."

"Ya udah, setelah dari mall kita ke salon bunda mu."

Aku mengangguk dan memandang ke luar jendela. Rasanya agak nggak nyaman, tapi kan jarang-jarang bisa begini. Apalagi memang aku terlahir dan besar dari keluarga kaku dan keras. Norma selalu menjadi aturan rumah yang nomor satu.

Sepanjang jalan, papa juga sibuk menyetir. Sesekali kulihat ia dari pantulan kaca tengah melirikku dan mencoba mengganti channel radio.

"Sudah sampai kita, ayo turun!"

Aku mengangguk lagi dan segera turun. Melihat sekitar yang penuh dengan mobil yang terparkir rapi di basement. Lumayan bisa cuci mata melihat mobil elite begitu banyak.

"Mau ke mana dulu?" tanyanya.

"Nggak tau," jawabku.

"Ya udah. Kita keliling aja dulu." Papa mengode agar aku mengandeng tangannya tapi tak lama langsung diturunkannya. Sepertinya ia peka jika aku enggan.

"Yuk!" ucapku sambil melangkah lebih dulu. Meski sebenarnya hatiku tersentil. Karena dalam keluarga asliku anak tak boleh berjalan di depan orang tua. Kecuali orang tua minta dituntun dan diarahkan jalannya.

Begitu ke arah pakaian, aku melihat ada piyama lucu dengan tudung kepala berbentuk pinguin. Tak ingin ketinggalan dengan seorang pembeli yang sudah berdiri di sana. Aku segera menarik papa ke sana.

"Ini!" ucap kami berdua. Aku segera melihat ke arah perempuan itu. Oh! Silvi.

"Ada yang kamu suka?" Kulihat ternyata ada Ergi, Arga, Bima, Fairuz dan Reza. Dan untuk yang bertanya tadi adalah Ergi.

"Gua mau yang ini!!" tekanku.

"Ng? Mbak!" Papa langsung memanggil pegawai yang ada di sana. "Apa pakaian model ini masih ada?"

"Maaf, Pak. Nggak ada. Ini limited edition."

"Ta ... pi aku duluan yang pegang."

"Nggak! Aku duluan! Aku mau yang ini!"

"Lu apa-apaan sih! Silvi duluan yang pegang!" bentak Ergi.

"Lu tau apa! Lu baru aja datang! Kalau nggak percaya kita cek cctv gimana?" tanyaku dengan dagu terangkat.

"Sudah, Kak. Aku nggak jadi mau yang ini," ucap Silvi sambil tersenyum.

Dengan senang hati aku langsung menoleh ke pegawai di sana. "Tolong yang ini!"

"Ini aja?" tanya papa. Aku mengangguk cepat. "Ya udah. Tunggu! Jangan ke mana-mana!"

"Wah! Sugar Daddy Ran?" tanya Bima. Aku tak peduli dan mengeluarkan ponsel. Malas menanggapi mereka.

"Nggak nyangka, lu lumayan murah juga ya?" Reza ikut menimpali.

"Jangan gitu, Kak!" ucap Silvi. "Kak Ran pasti ada alasannya sampai ngelakuin itu."

"Ngelakuin apa?"

"Itu ... itu ...."

"Jadi sugar baby?" tanyaku.

"Aku ... aku nggak maksud itu. Maaf, Kak."

"Kok lu yang minta maaf?" tanya Arga. "Nggak usah minta maaf sama wanita hina kayak dia."

"Siapa yang kalian bilang hina?!"

Aku segera berbalik dan menarik papa menjauh dari mereka.

"Nggak usah ngurusin sampah, entar tangan kita kotor." Aku berkata dengan agak merengek, "Ran mau cari dress, yuk!"

Papa menghela napas dan memilih pergi bersamaku.

"Itu teman-teman Ran?"

"Bukan. Soalnya mereka menyesatkan." Aku segera menarik papa mencari dress.

Setelah selesai berkeliling ria. Kami mencoba untuk melakukan photo box. Awalnya papa enggan. Namun kupaksa.

"Dah lama Ran nggak punya foto bareng papa!" rengekku. Lalu menariknya masuk. Kami juga mencoba kuping kelinci dan yang lainnya. "Jangan kaku!"

Keluar dari photo box. Aku segera mengambil hasil photo.

"Pa! Li ...." Aku terdiam ketika melihat papa diam dan melihat sebuah keluarga utuh.

"Kamu di sini, Sayang?" tanya perempuan paruh baya itu. Aku hanya mengangguk. "Kamu masih marah sama bunda ya?"

Bunda? Berarti itu ayah tiri dan itu Mario saudara kandung Kirana. Bagus!

"Ran lapar, ayo makan!" Aku menarik papa pergi dari sana. Baru beberapa langkah, aku berhenti dan melihat mereka yang masih menatapku. "Ayo, makan!"

Aku melepaskan tangan papa dan menjulurkan satu tanganku. Perempuan itu langsung tersenyum dan bergegas meraih tanganku. Kami pun pergi disusul tiga pria di belakang.

"Mau makan apa?" tanya Bunda.

"Apa kita ke restoran Ayah aja, Pa?" tanyaku.

"Boleh. Gimana?" tanya papa pada pria di sebelahnya.

"Boleh aja. Yuk!"

"Tunggu!"

"Kenapa?" tanya Bunda.

"Kebelet," ucapku sambil menarik Bunda masuk ke dalam toilet. Untung aja toilet tak jauh dari sana. "Aaah!" Aku segera keluar dan mencuci tangan.

"Ran, bunda minta maaf ya?"

"Ng ...."

"Ya udah yuk! Mereka sudah nunggu!" Aku mengangguk dan segera menggandeng tangan bunda.

xxx

Begitu sampai di restoran ayah. Mario menahanku.

"Papa, Bunda dan Ayah duluan aja. Kami mau ngobrol bentar."

Mereka mengangguk dan segera pergi.

"Kenapa?" tanyaku dingin.

"Jadi kita sudah baikan?" tanyanya.

"Nggak tau. Ran butuh waktu, Kak."

"Jangan terlalu keras dan menahan amarah sendiri. Kalau kesal langsung tunjuk dan marah aja. Jangan ditahan. Lihat kakak, akhirnya bisa baik lagi dengan papa. Kasihan papa. Mata papa masih mencintai bunda. Kalau bukan perempuan gila itu nggak ngadu domba keluarga kita dan mengaku anak dalam kandungannya anak papa. Mungkin kita masih menjadi keluarga utuh. Tapi itu hanyalah angan. Dan ini sudah menjadi takdir."

"Uuuu! Mario pendiam, dingin dan menyeramkan ternyata bisa berkata banyak ya. Bijak lagi."

"Di kasih tau juga!" Mario mengacak rambutku.

"Kak!"

Pria itu langsung tertawa setelah melihat wajahku.

"Astaga! Gua kira siapa?"

Aku melihat ke arah suara itu. Menyebalkan! Ternyata Reza dan yang lain. Kenapa harus bertemu mereka lagi.

"Hati-hati, Man! Uang lu entar habis!" ucap Bima.

Kulihat Mario menatap mereka tajam dan dingin.

"Kita cuma ingatin aja. Perempuan di sebelah lu nggak sebaik yang lu kira."

"Tapi, perempuan di sebelahmu juga nggak sebaik yang kamu kira loh!" balasku pada Reza. "Yuk, Kak!"

Aku segera menarik Mario yang hendak menghajar mereka. Pria satu ini memang agak gila. Jadi bisa berabe kalau emosinya benar-benar meledak.