Uang lima puluh juta belum panas di tangan Dirman, tahu-tahu sepia di atas kepalanya meredup, nampak masa kini berlangitkan biru muram. Setengah berharap, Dirman ingin melihat dirinya kaya raya atau setidaknya berkecukupan, berkat kemenangan permainan judi dua tahun sebelumnya.
Rupa-rupanya uang panas hilangnya juga lekas, sesuai hukum yang lazimnya berlaku di dunia. Masa kini Dirman memastikan, dirinya masih sekere yang dulu, bahkan lebih parah dengan lilitan utang yang menggunung. Kemenangan perdana gudang tebu membuat Dirman kalap, kian gelap mata bertaruh, terlanjur kemaruk ingin meraup kemenangan sebanyak-banyaknya.
Asyik masyuk meja judi melahirkan nama alias bagi Dirman. Si Black Jack Tujuh, meskipun spesialiasi Dirman judi dadu, bukan judi poker yang sarananya kartu remi dengan black jack, as, joker, dan oknum-oknum beken lainnya. Namun, ia terlanjur didewakan sang midas di meja judi, dan tujuh dipandang mujur sekalipun Dirman kemudian habis sepak terjangnya gara-gara angka keramat itu.
Angka tujuh adalah angka kesempurnaan. Langit ketujuh, pusing tujuh keliling, tujuh keajaiban dunia, bukankah tuah angka tujuh sungguh mustajab? Alhasil pada hari kemujuran bertanggal tujuh bulan ketujuh itu, Dirman memilih angka tujuh tujuh, sepasang kesempurnaan. Yakinlah Dirman, dadu itu akan mengeluarkan sepasang tujuh yang membuatnya kaya raya malam itu juga. Harapan tinggallah jadi harapan.
Yang dikeluarkan dadu terkutuk itu angka tujuh delapan, ya, tujuh dan delapan, meleset satu angka dari tujuh tujuh. Selisih tipis yang membuat semuanya tamat bagi Dirman. Uang yang diraupnya dari perjudian ludes seketika, menyisakan lubang yang ditambal dengan utang yang satu ke utang lainnya. Gali lubang tutup lubang yang membuat Dirman makin melarat, dan mimpinya akan cinta Kara kian tak tergapai.
Runtuhlah asa Dirman, karena Dirman si jujur melacurkan harga dirinya, memilih jalan lancung, hanya menjadikan hidupnya makin hancur. Sudah lancung, masih juga tak mujur, sesal yang bahkan tak sempat dirasakan Dirman, lantaran imannya dibutakan godaan sesaat.
Black Jack Tujuh memang julukan bagus. Si Jack yang kelam masa depannya gara-gara angka tujuh. Kesialan yang mulanya dari kesalahan Dirman sendiri. Seandainya ia percaya ujaran lama itu masih berlaku di dunia, tak ada kerja keras yang mengkhianati hasil. Dirman justru mengkhianati prinsipnya sendiri, tak lagi percaya kejujuran dan kegigihan mampu membuatnya hidup lebih baik bersama Ayla dan Kara.
Laknat buku itu! Ya, bukankah buku itu yang merontokkan imannya, membuatnya punya kesempatan kedua untuk berkhianat pada nurani dan kejujurannya, berjudi hingga terjerumus makin jauh. Pada akhirnya ia melukai orang-orang yang mencintai dan menaruh harapan padanya. Ayla, Izinuddin, bibinya yang bidan, dan mungkin Bu Martini yang diam-diam mendukungnya.
"Apalagi yang bisa kubanggakan sekarang? Sudah bokek, mantan penjudi, punya utang segunung, kakak yang penyakitan, perempuan mana yang berani dekat sama gue sekarang?" Dirman curhat pada Peter Pan, rekan cleaning service yang senang mengunyah sebatang ilalang kala senggang.
"Justru itulah letak ujian cinte, Man. Kalau ada yang mencintai elo di saat elo lagi jelek-jeleknya, itulah cintamu yang sejati, Man. Cinta zaman now itu banyak pamrihnya. Seriusan."
"Maksud elo cinta yang ada maunya, gitu?" Dirman mencatut sehelai ilalang, ingin mengunyahnya tetapi enggan. Akhirnya ia cuma memuntir-muntir dengan maksud iseng.
"Begitulah zaman keedanan ini. Aku titik titik padamu karena kamu kaya, karena kamu ganteng, karena kamu punya apa yang aku tak punya. Ingat kata-kata kuno ini gak, ada uang abang disayang, tak ada uang cinta pun melayang?" Peter Pan meludah, ilalang alot di mulutnya pun terbuang seperti sang abang yang nahas.
Peter Pan ada benarnya. Ada uang abang sayang, tak ada uang abang melayang. Bila ada wanita yang mencintainya apa adanya saat ini, bukankah itu ketulusan cinta yang didambakan Dirman malang? Namun, seandainya bukan Kara orangnya, akankah Dirman menerima cinta itu apa adanya?
Orang yang berjudi tidak bakal kaya, yang kaya itu bandarnya, penjudinya pasti buntung dan utangnya setumpuk gunung. Itulah akibatnya bila rezekimu dipercayakan pada manusia.