webnovel

Everything Can Be Something

Bagaimana jadinya jika sebuah kecelakaan tragis adalah sebuah pembunuhan yang disembunyikan? Bagaimana pula jika orang-orang yang terlibat berusaha menyembunyikan hal tersebut? Seorang mantan jurnalis berusaha memasuki kehidupan seorang ningrat hingga tak sengaja jatuh cinta dengan cucu terakhir yang tiba-tiba harus dinikahinya. ~~~ Tersenyum, hanya itu yang bisa dilakukan oleh wanita berjaket coklat tua yang tengah berdiri di depan sebuah mobil berwarna hitam. Ia menelan ludahnya diam-diam dan masih tersenyum menatap laki-laki dalam radius sekitar 5 meter yang juga menatapnya. Laki-laki berjas hitam itu tiba-tiba berlari dan memeluk wanita tadi, mendekapnya dengan erat. Mata berbinarnya berubah pilu, ia menyembunyikan wajahnya dan menangis dalam diam. Mendapat pelukan tiba-tiba dari laki-kali yang perlahan ia cintai itu membuatnya sedih tanpa alasan. Meski pelukan, namun jika ini yang terakhir kalinya, rasanya sangat menyakitkan. Apalagi, ia paham betul bagaimana selama ini ia membuang waktu yang terus belalu tanpa gagal, lalu kini ia hanya perlu melepas dengan ikhlas. Meski butuh waktu lama untuk air mata mengering, ia akan berusaha. "Terima kasih untuk selama ini, Salma!"

vijakkanim · สมัยใหม่
เรตติ้งไม่พอ
28 Chs

Bagian Satu : Dunia Yang Berbeda

~~~

Seorang laki-laki dengan wajah ketus berjalan memasuki perusahaannya yang berupa gedung bertingkat tinggi di pusat kota Jakarta. Saat dirinya melangkahkan kaki di sana, semua orang yang berpakaian formal kantoran pun mulai menyapanya dengan sopan. Namun, dia bukanlah orang yang akan menjawab sapaan sambil tersenyum dan membuang waktunya.

Laki-laki berpakaian rapi dengan jas biru tua itu berjalan dengan angkuhnya menuju ruangan pribadinya. Sebelum itu, ia membuka kacamata hitamnya ketika seorang wanita berdiri di hadapannya.

"Rapat dimulai dalam 30 menit, Pak Rangga!" ucap wanita yang memakai 𝑛𝑎𝑚𝑒𝑐𝑎𝑟𝑑 bertuliskan Maria.

Rangga mengangkat tangan kirinya, melihat jam tangan berharga jutaan yang ia kenakan saat itu sambil terdiam sejenak. Hingga akhirnya ia kembali mengangkat tatapannya dengan angkuh, "saya harus keluar dalam 1 jam, rapat kita laksanakan sekarang! Panggil semua ketua tim!" perintahnya dengan enteng.

"I-iya Pak? Sekarang?" gagap Maria sambil mengedip-ngedipkan matanya. Tak percaya dengan perintah yang baru saja ia dengar.

Rangga yang bersiap untuk berjalan kembali melirik bawahannya yang nampak terkejut, "kamu gak dengar? Saya bilang sekarang ya harus sekarang! Kalau saya sampai di ruang rapat dan masih kosong, kalian semua buat surat pengunduran diri!" tegasnya sambil menarik dasinya kesal dan bergegas pergi menuju ruangannya. "Orang-orang lamban itu!" gerutunya.

Maria yang bingung harus bagaimana hanya mengeluarkan desahan pelan dan berlari menuju mejanya. "Hei! Rapatnya sekarang! Panggil para ketua!" titahnya pada seseorang yang berada di samping meja kerjanya. Ia dengan cepat menekan panggilan dan memimta seluruh ketua tim untuk segera menuju ruang rapat.

Tanpa waktu lama, segerombolan pegawai mulai bergegas menuju ruang rapat. Tujuan dan harapan mereka sama, semoga direktur tidak tahu diri itu belum ada di sana.

Sambil tersenyum, Maria membuka pintu ruang rapat dan setelah itu senyuman di wajahnya tiba-tiba menghilang.

Rangga duduk menyilang kaki di tempatnya dengan tatapan penuh amarah dan kekesalan. Tangannya yang terlihat kuat mencengkeram pegangan kursi yang ia duduki dan satu tangan lainnya terkepal di atas meja.

Setelah melihat Rangga di sana, semua orang hanya bisa meminta maaf dengan suara sepelan mungkin dan perlahan memasuki ruangan dengan langkah yang kikuk.

"Kalian benar-benar mau keluar dari sini?" sinis Rangga.

Maria yang bersiap akan duduk pun kembali memundurkan langkahnya begitu dengan para pegawai yang lain.

Rangga membetulkan posisi duduknya dengan menaruh kedua tangannya di atas meja dengan jari-jari yang menaut dan memperhatikan seluruh pegawainya. Ia menghela napas berat sambil membuangnya pasrah, "bersyukurlah karena hati saya terlalu baik! Kalian boleh duduk! Rapat dimulai!" tegasnya.

Maria mengisyaratkan untuk segara duduk kepada pegawai lainnya yang masih ragu. Ia kemudian membagikan sebuah proposal dan berakhir di kursi yang berada di dekat Rangga.

Rangga membuka proposal itu, ia sudah menerimanya kemarin malam namun tetap saja ia memeriksanya kembali karena dirinya benar-benar tak percaya kepada pegawainya. Setelahnya, ia melempar kertas itu dengan kasar dan menggerakkan jari-jari tangan kirinya yang ia simpan di atas meja sejajar dengan kepalanya.

"K-kenapa Pak?" tanya Ketua Pemasaran, Aldi dengan penuh keraguan.

"MSJ Entertainment si bodoh rendahan tak tahu malu itu!" umpat Rangga yang mengejutkan seisi ruangan namun dirinya malah tertawa. "Dia mau mengadakan acara jumpa fans artisnya lagi di Mall kita?" gumamnya yang dijawab anggukkan oleh seluruh pegawainya. Ia mendecih, "mentang-mentang Mall kita terkenal, dia mau ambil keuntungan apa bagaimana? Dulu saja dia merendahkan tanpa ampun!" remehnya.

"Sebaiknya kita terima saja, Pak Rangga."

"Siapa bilang saya nolak? Ya terima saja, biar dia makin tidak tahu malu!" ucap Rangga dengan sinis.

~~~

"𝐻𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑠𝑎ℎ𝑎𝑚 𝑆𝑢𝑝𝑒𝑟𝑀𝑎𝑙𝑙 𝑘𝑒𝑚𝑏𝑎𝑙𝑖 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡, 𝐶𝐸𝑂 𝑅𝑎𝑛𝑔𝑔𝑎 𝑀𝑎𝑢𝑙𝑎𝑛𝑎 𝑠𝑢𝑘𝑠𝑒𝑠 𝑚𝑒𝑚𝑏𝑢𝑎𝑡 𝑛𝑒𝑡𝑖𝑧𝑒𝑛 𝑘𝑎𝑔𝑢𝑚."

"𝑀𝑎𝑠𝑖ℎ 𝑚𝑢𝑑𝑎, 𝑖𝑛𝑖 𝑠𝑒𝑑𝑒𝑟𝑒𝑡 𝑝𝑟𝑒𝑠𝑡𝑎𝑠𝑖 𝑅𝑎𝑛𝑔𝑔𝑎 𝑀𝑎𝑢𝑙𝑎𝑛𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑘𝑒𝑚𝑏𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎𝑛 𝑐𝑎𝑏𝑎𝑛𝑔 𝑝𝑒𝑟𝑢𝑠𝑎ℎ𝑎𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑛𝑗𝑎𝑑𝑖 𝑀𝑎𝑙𝑙 𝑚𝑒𝑤𝑎ℎ 𝑑𝑖 𝐽𝑎𝑘𝑎𝑟𝑡𝑎."

"𝐷𝑢𝑙𝑢 𝑡𝑎𝑘 𝑎𝑘𝑢𝑟, 𝑘𝑖𝑛𝑖 𝑀𝑆𝐽 𝐸𝑛𝑡𝑒𝑟𝑡𝑎𝑖𝑛𝑚𝑒𝑛𝑡 𝑑𝑎𝑛 𝑆𝑢𝑝𝑒𝑟𝑂𝑛𝑒 𝐺𝑟𝑜𝑢𝑝 𝑠𝑎𝑙𝑖𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑟𝑗𝑎𝑏𝑎𝑡 𝑡𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛."

Laki-laki bersetelan jas biru tua lengkap dengan dasi selaras itu menyunggingkan senyumannya. Ia menyimpan remote televisi dan bertepuk tangan untuk dirinya sendiri. Ada kebanggaan tersendiri dalam dirinya ketika ia menonton berita yang menyiarkan berbagai prestasinya.

𝑘𝑙𝑒𝑘-

Pintu terbuka, seorang laki-laki berjas hitam memasuki ruangan pribadinya dan menghela napas malas lalu menaruh kedua lengannya di pinggang. Matanya mengikuti gerak-gerik seseorang yang sudah seperti adiknya sendiri, seorang direktur yang sangat pemarah dan egois.

"Sampai kapan lo bakal kayak gini sama gue?" tanyanya dengan berusaha untuk sesabar mungkin menghadapi orang super egois berwajah tampan ini. Ia berdiri menyilangkan lengannya di depan dada tepat di hadapan laki-laki itu.

Rangga mengangkat tatapannya sekilas lalu kembali memutar saluran berita yang menampilkan dirinya, "lo gak tertarik nonton ini?" ucapnya dengan santai. Ia menyilangkan kedua kakinya lalu bersandar di sofa tunggal berwarna coklat itu dengan snyuman sombongnya yang khas.

Daniel mendecih sebal, ia mendaratkan tubuhnya di sofa panjang lalu mengambil remote dan mematikan televisi. "Kenapa lo ke sini? Gak mungkin seorang Rangga Maulana merindukan temannya sendiri sehingga jauh-jauh datang kemari," ucapnya.

Rangga terkekeh, ia membetulkan posisi duduknya lalu menatap laki-laki yang sedikit lebih tua darinya itu dengan tatapan penuh selidik. Setelahnya, ia kembali menyandarkan tubuhnya dengan santai sambil memejamkan matanya. "Gimana wawancaranya? Ada yang menarik buat di rekrut gak? Gak ada kan?" ucapnya dengan sedikit meremehkan.

"Karena banyak yang daftar, jadi bingung harus pilih siapa," balas Daniel dengan cara yang angkuh pula.

Rangga semakin tertawa, tak percaya dengan apa yang ia dengar barusan, "lebih dari satu bisa disebut banyak, 'kan?" sindirnya.

Daniel hanya membuang napas pendek sambil mendelikkan matanya. Ia kemudian berdiri dan pergi menuju mejanya, ia memundurkan kursi lalu duduk di sana. Di atas meja, terdapat satu komputer menyala dan berbagai macam dokumen yang menumpuk. "Serius banyak, lo barangkali mau milih satu buat direkrut. Gue dengar pegawai lo ada yang kabur," ucapnya lalu menyunggingkan senyuman.

Rangga melebarkan senyumannya lalu menghela napas berat dan membuangnya ke udara. Ia kemudian berdiri dan melihat Daniel yang sudah fokus pada sebuah laptop di depannya. "Bukannya pegawai lo yang kabur? Sampai-sampai buka rekrutan mendadak. Ahh, bahkan sekretaris lo mengundurkan diri, 'kan?"

Daniel mendecak, ia memijat pelipisnya sambil menahan kesal. Pekerjaannya yang menumpuk saja sudah melelahkan ditambah dengan penghinaan laki-laki itu barusan, rasanya ia ingin meledak. Ia akhirnya menatap laki-laki yang tersenyum mengejeknya itu sambil menampilkan senyum yang ia paksakan, "jika tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, silakan keluar! Saya sibuk!" tegasnya.

~~~

Seorang wanita muda bersetelan hitam dengan rok pendek berjalan keluar dari ruangan wawancara dengan senyuman merekah di wajahnya. Bagaimana tidak, ia disebut satu dari tiga terbaik para peserta yang melamar sebagai jurnalis hari ini. Ia kemudian berjalan keluar dari perusahaan itu dengan sebuah senyuman tipis di wajahnya.

"Benar-benar Salma dari IPS 2!"

Wanita yang memegangi ponselnya itu menoleh dan terlihatlah seorang wanita berpenampilan mewah tengah memperhatikannya dan tersenyum sinis padanya.

"Wahh Alisa dari IPS 1, 'kah?" ucap Salma dengan santainya. Ia kemudian tersenyum, "apa kabar?"

Wanita bernama Alisa itu hanya terkekeh dengan tangan kanan yang menutupi senyumnya, nampak elegan. "Lo lamar kerja di sini? Ini perusahaan mantan gue!" ucapnya.

"Toh bukan lo yang bakal gaji gue," ucap Salma.

Alisa mendecih pelan, "lo masih sama ya, rambut dicepol dan rok pendek terus dipadu jas murahan! Gue rasa, lo masih miskin sampai sekarang, tapi sombong lo semakin menjadi-jadi!"

Salma hanya memejamkan matanya menahan amarah sambil melantunkan beberapa doa dalam hatinya. Tolonglah, ia tak ingin bertengkar dengan Alisa di depan perusahaan itu. "Lo juga masih sama ya, masih suka rendahin orang, suka remehin orang lain dan menipu orang-orang dengan senyuman lo yang seakan-akan cantik itu! Beruntung Aryo sekarang gak jadi pacar lo!" ucapnya dengan santai.

"Aryo?" geram Alisa. Satu nama itu membuat perasaannya bergejolak. Ia yang tadinya tenang dan santai kini mulai berdebar karena amarahnya. "Kenapa lo bahas Aryo sekarang?" ucap Alisa penuh penekanan.

Dirasa membalikkan keadaan, Salma terkekeh. Ia merasa senang melihat Alisa yang nampak gelisah hanya karena satu nama saja. Baiklah, orang sombong seperti Alisa memang harus diberi pelajaran sekali-kali. "Kenapa? Kenapa dengan Aryo? Ahh, semenjak jadi detektif, dia makin ganteng," ucapnya agak berbisik pada Alisa.

Alisa mengepalkan lengannya namun ia masih berusaha tersenyum dan melirik Salma dengan tajam.

𝑷𝒍𝒂𝒌!

Salma menjatuhkan tas tangannya dan beralih meraba pipi kanannya yang barusan ditampar oleh Alisa. Matanya hampir mengeluarkan air mata karena menahan sakit. "Alisa!" geramnya.

Alisa hanya tertawa dengan puasnya. Ia merasa menang setelah melihat musuhnya hampir menangis olehnya tepat di hadapannya.

"ALISA!!"

Melihat ada dua pria yang berjalan ke arahnya, Salma dengan cepat mengambil tasnya yang terjatuh dan bergegas pergi dari sana. Ia menarik ikat rambutnya dan membiarkannya teruai guna menutupi pipi lebamnya bekas tamparan keras dari Alisa.

"Lo ada urusan apa di sini?" tanya Daniel.

Alisa menoleh dan nampak terkejut dengan kedatangan dua pria itu, "Da-Daniel, i-itu..."

"Lo nampar dia?" tanya Daniel untuk memastikan penglihatannya salah atau tidak.

Rangga hanya terdiam mematung di tempatnya. Menyaksikan sebuah tamparan membuatnya tak bisa berkutik dan dunia seakan berhenti untuk dirinya. Tiba-tiba bayangan seorang wanita tengah menampar wanita lainnya pun kembali terlihat olehnya, ia dengan cepat menggelengkan kepalanya.