Bali, 2030
Author POV
Seorang gadis cantik bermata coklat dan berambut pendek bergelombang menatap kagum pada rumah berlantai kayu di depannya. Dia yang terbiasa tinggal di rumah besar bak istana dengan gerbang tinggi, jatuh cinta pada pandangan pertama pada bangunan yang terbilang amat sederhana itu.
"Bagaimana Raya, kamu suka?" tanya lelaki yang baru turun dari mobil sambil menjinjing sebuah tas besar berisi keperluannya.
Araya, nama gadis itu, mendongak pada lelaki yang kini berdiri di sampingnya. "Suka sekali, Kakek. Rumah ini cantik. Seperti rumah peri." ujarnya dengan senyum merekah lalu kembali memandang kagum pada rumah itu yang dikelilingi pagar bunga terawat.
Kakek terkekeh. "Kalau begitu, ayo masuk!"
Gadis itu mengangguk. Ia mengeratkan pelukan tangan kirinya di tubuh boneka mickey mouse kesayangannya sementara tangan kanannya meraih jemari sang kakek.
"Kakek, boleh Raya dapat kamar di lantai dua?" tanya Araya penuh harap saat kakek masih berkutat dengan kunci pintu.
"Tentu saja, sayang. Kamu bisa pilih sendiri kamarmu."
"Asyik!" Araya melompat-lompat senang.
Begitu pintu terbuka, gadis itu langsung melesat masuk. Tatapannya mengarah ke sekeliling ruangan. Rumah sederhana sekaligus indah. Jelas menunjukkan bahwa si empunya memiliki selera tinggi.
"Di sini tidak ada pelayan, Kek?" tanya Araya.
"Ada, sayang. Tapi pelayannya datang tiga kali seminggu untuk membersihkan rumah ini."
"Lalu siapa yang akan memasak untuk kita?"
Kakek tersenyum. "Tentu saja kakek." dia mengedipkan sebelah mata.
Bibir mungil nan merah Araya terbuka menunjukkan bahwa dirinya kaget. "Kakek bisa masak?"
"Meragukan kemampuan kakek?"
Araya mengangguk.
"Tunggu setelah makan malam, kamu akan melihat langsung bagaimana kakek bermain dengan kompor dan panci." Kakek menggerakkan tangan seperti mempraktekkan jurus silat dengan sikap konyol yang berhasil mengundang tawa Araya. "Sekarang kita harus istirahat dulu. Tadi Raya juga bilang masih kenyang, kan?"
"Iya, kek."
"Ayo, segera cari kamarmu!"
"Oke!"
***
Araya Revelia Tritila mencoba menggerakkan kelopak mata ketika telinganya mendengar suara alarm jam beker. Pemandangan pertama yang tertangkap secara samar-samar oleh matanya yang mengintip malas dari balik kelopak adalah helaian-helaian kain tipis yang mengitar tempat tidur, diterangi cahaya lembut yang menyisip dari bawah pintu balkon.
Ia kembali menutup mata lalu menggeliat tanpa mematikan alarm, membiarkan bunyi mirip dentang lonceng yang bertalu-talu mengiringi gerakannya meregangkan tubuh. Setelah empat kali menggeliat ke kanan dan ke kiri, barulah ia membuka mata dan mengulurkan tangan ke meja nakas di sebelah tempat tidur untuk mematikan alarm. Hanya perlu satu tekanan ringan pada tombol bulat yang mencuat pada jam dan kesunyian kembali menyergap. Sekilas ia melirik jam, pukul 06.00.
Suara ramah yang ditawarkan pagi hari yang cerah di bawah naungan langit biru yang pagi ini tak dihiasi sebercak awan pun. Kamarnya berada di sisi sebelah kiri, dengan balkon mengarah ke sisi dalam. Dari tempatnya berdiri sekarang ia bisa melihat pemandangan menakjubkan di lantai satu: sebuah taman, dengan tanaman-tanaman rapat setinggi tiga meter disusun membentuk labirin, menuju sebuah gazebo di bagian tengah taman.
Raya beranjak dari balkon dan masuk ke kamar. Ia baru saja meletakkan telepon genggamnya dan hendak ke kamar mandi ketika tiba-tiba ada sebuah lengan kokoh merengkuhnya dari belakang. Menempelkan sebuah sapu tangan ke penciumannya sekaligus menyuntik sesuatu di leher belakangnya, dia lunglai. Tertidur atau mungkin pingsan.
***
2027
Di sebuah taman yang indah. Hanya ada hamparan bunga-bunga yang bermekaran dengan indahnya. Langit sangat cerah dan yang terlihat selain bunga-bunga itu adalah sebuah bangku panjang di bawah sebuah pohon. Tidak ada siapa-siapa disana. Kecuali seorang wanita yang berdiri diantara bunga-bunga itu.
Seorang wanita berada di tengah-tengah hamparan bunga tersebut. Rambutnya berkibar diterpa angin yang sepoi.
Matanya tak bisa lepas dari pemandangan di
sekitarnya yang sangat menawan. Dia terkagum-kagum dengan semua yang dilihatnya. Namun,
ia bingung, mengapa dia ada di tempat seperti ini?
Apakah aku sudah mati? tanya wanita itu dalam hatinya. Sementara matanya terus
melahap pemandangan disekitarnya sampai seorang anak perempuan kecil menghampirinya.
"Mama,"
Wanita itu menoleh kearah anak kecil itu.
Wajah anak itu tampak sangat ceria namun
seperti dipaksakan. Memakai baju putih berenda.
Rambutnya diberi bando seperti mahkota.
Sangat cantik.
"Mama kenapa ada disini?" tanya anak kecil tersebut, "Apa mama mau tinggal disini?"
Wanita itu mengerutkan kening, "Maksud kamu?"
"Raya!!!"
Sebuah suara mengalihkan perhatian perempuan itu. Ada yang memanggil namanya. Wanita bernama Raya itu menoleh ke belakang. Benar.
Ada yang memanggil namanya.
Sesosok tubuh yang memanggilnya tadi berlari menghampirinya. Raya terdiam di tempatnya. Anak kecil yang tadi ada di dekatnya tahu-tahu saja menghilang saat Raya melihat
ke sebelahnya.
"Kemana anak kecil tadi?" gumamnya.
Makin lama sosok tubuh itu makin mendekati Raya. Dia menaungi matanya dengan
sebelah tangan dan menyipitkan mata.
"Siapa itu?"
"Raya!!!"
Suara itu seperti dikenal oleh Raya. Raya sangat mengenalnya. Tapi siapa?
"Raya!!!", suara itu memanggil lagi.
Raya tidak bisa melihat siapa yang memanggilnya karena sinar matahari yang terlalu terang. Bahkan tubuhnya seperti teguncang. Atau mungkin tempatnya berdiri sekarang yang bergetar?
To Be Continued