webnovel

Entering a Dream

Mereka bertemu empat tahun lalu. Dan tidak ada yang menyuruh mereka untuk saling mendekat. Dimulai dari seorang teman kerja, perlahan muncul rasa ketertarikan, dan tidak lama pun muncul rasa kasih dan benih cinta di antara keduanya. Teman mereka mendukung, bos mereka juga tidak menentang, dan bisa dibilang kedua orang tua mereka sudah memberi ijin. Tapi sebagai seorang artis, yang setiap harinya harus berakting di depan kamera... Berakting adalah pekerjaan mereka dan itu adalah sesuatu yang mereka ingin lakukan dengan sepenuh hati. Tapi, apa akting itu sendiri juga harus mereka lakukan di kehidupan pribadi mereka? Haruskah mereka melanjutkan akting ini untuk menutupi cinta mereka? Akhir seperti apa yang menanti mereka dengan menutupi jalinan kasih mereka di depan banyak orang? Hidup di dunia yang penuh kepura-puraan ini, mau tidak mau mereka ikut terseret ke dalamnya. Yang pada akhirnya hanya membuat keduanya saling terluka. Meski sekali lagi itu bukan salah mereka.

Mikina09 · สมัยใหม่
เรตติ้งไม่พอ
9 Chs

8 - The Call

"Hai."

"Kenapa?"

"Kenapa kau tidak menjawab video callku, Alora?"

"Bukannya sekarang sudah kujawab?"

"Ini phone call."

"Sama saja."

"...Aku mau melihatmu."

"...Aku tidak mau melihatmu sekarang."

"Kenapa?"

"Tidak ada alasan khusus. Hanya tidak mau saja."

"Kita ini kan masih teman. Kenapa sikapmu seakan kita ini bukan?"

"Benar aku ini masih temanmu? Bukannya kau sudah meng-unfollowku di swittermu?"

"...Apa itu perlu dibahas sekarang? Lagipula, kau juga sudah meng-unfollowku..."

"Adrian, KAU dulu yang mulai. Jangan mencoba membuatku merasa bersalah. Itu tidak akan mempan."

"...Aku meng-unfollowmu karena tidak sengaja. Pikiranku sedang kacau dan dalam keadaan setengah sadar.. aku melakukannya. Tengah malam."

"...Bagaimana keadaanmu sekarang?"

"Sudah lebih baik tapi bukan yang terbaik."

"Aku lihat di akun switterku kalau kau mengirim friend request lagi padaku. Apa karena ini kau meneleponku sekarang?"

"Salah satunya memang tentang itu. Tapi alasan utamanya karena aku mau bicara saja denganmu."

"Adrian..."

"Kita masih teman, kan? Kalau teman mau ngobrol dengan temannya, tidak perlu alasan khusus kan?"

"Status teman kita bukan seperti arti teman biasa di luar sana. Dan aku tidak harus menjelaskannya padamu apa maksud dari status teman kita itu."

"Kau belum menjawab pertanyaanku."

"Yang mana?"

"Kita ini masih teman, kan?"

"Kalau kau bukan temanku, teleponmu tidak akan kujawab mau kau menelponku lewat media apapun. Dan bukannya tadi sudah kubilang status TEMAN kita yang tidak biasa? Aku sudah bilang kalau kita ini masih teman, dear friend."

"...Kau tidak bisa membayangkan betapa paniknya aku tadi saat aku tahu kau meng-unfollowku di switter. Pak Leo sampai harus memberiku bantuan supaya aku bisa ingat bernafas lagi."

"Kau baru bertemu dengan Bos?"

"Tadi siang. Felice bilang padaku kalau Pak Leo mencariku. Dan... aku jadi sedikit curhat dengannya. Dia juga yang memberitahuku soal kau meng-unfollow akun resmi switterku."

"Well, asal kau tahu. Aku juga kaget waktu kemarin Kak Lu datang ke rumahku dan bilang kau meng-unfollow akun resmi switterku. Untung saja aku terduduk waktu mendengarnya. Kakiku langsung lemas rasanya waktu dengar berita itu."

"Kau juga.... bagaimana keadaanmu sekarang?"

"Aku tidak apa-apa. Hanya lagi mengurus Vanya dan Carla yang kepala mereka masih pusing karena kebanyakan minum semalam. Mereka menginap di sini."

"Apa kau cerita pada mereka juga?"

"Menurutmu?"

"Oke, setidaknya kau juga punya seseorang untuk diajak bicara. Aku bicara dengan Bos soal keadaan kita juga. Di samping aku butuh orang yang juga tahu tentang keadaan kita, dia juga orang yang harus kita beri penjelasan sebagai atasan. Jadinya, sekali menyelam minum air. Dan... karena sudah bicara dengan Pak Leo, keadaan pikiranku juga sudah tenang sekarang."

"Oh."

"Oh saja?"

"Aku bisa bilang apa lagi? Oh itu maksudnya, oh syukurlah... Hah~"

"Aku mendegarmu mendesah."

"Aku mendesah karena lega."

"Apa yang membuatmu lega?"

"Lega kalau kau sepertinya jauh lebih baik dari yang kukira."

"Darimana kau tahu keadaanku baik atau tidak? Apa kau lupa tadi kalau aku bilang aku sempat panik waktu dengar kau meng-unfollow switterku? Kau tidak tahu seperti apa paniknya aku waktu tadi..."

"Dan kau juga tidak tahu kan mukaku sempat membiru waktu tahu kau meng-unfollow switterku? Unwritten rules di sosmed Adrian..."

"Kita ini sama-sama sedang menyesuaikan diri tentang status baru kita. Tidak ada dari kita yang baik-baik saja, Alora."

"Lega yang kumaksud adalah setidaknya kau mau bicara dengan orang lain tentang hal yang mengganggu pikiranmu. Kau ini, meski terlihat easy going dan mudah bergaul, tapi kalau punya masalah kau hampir tidak mau untuk cerita ke orang lain. Berapa kali akulah yang harus memancingmu untuk cerita soal masalahmu? Sudah kukatakan kan kalau akan jauh terasa lebih enak setelah kau ceritakan masalahmu pada setidaknya satu orang saja. Dan aku lega karena kau mengikuti saranku itu."

"Mungkin kalau bukan perbuatan konyolku meng-unfollow akun switter resmimu... aku tidak akan berpikir untuk cerita sedetail itu pada Pak Leo. Ya, aku akan memberitahu kita pu-tus... Tapi aku tidak akan punya keinginan untuk bilang padanya untuk bilang apa yang tadi kubicarakan dengannya."

"Waktu kau meng-unfollow switterku, sempat terpikir kalau status teman yang kita bicarakan itu sudah tidak berlaku lagi. Kalau kau memang benar-benar tidak mau berhubungan denganku lagi."

"Yang mau kita berdua putus itu KAU. Mana mungkin aku bisa terpikir untuk benar-benar putus denganmu. Nonsense! Ada juga aku yang terpikir kalau kau yang tidak mau berteman denganku lagi waktu kau meng-unfollow switterku..."

"Oke, oke. Itu semua cuma salah paham. Kita berdua cuma kaget karena ketidaksengajaan. Tidak usah membahas hal ini lagi. Dan... lagipula yang ku-unfollow kan akun resmimu. Bukan akun privatemu. Dan cuma akun switter resmimu saja. Tidak yang lain-lainnya."

"Ya, aku tahu... Tapi akun itu adalah akun yang diketahui dan dilihat publik. Dengan kita meng-unfollow satu sama lain, sebenarnya seperti memberitahukan pada orang banyak kalau iya, kita putus."

"Dan bagiku itu bukan hal yang salah. Membuat shock memang pertamanya, tapi setelah dipikir lagi, memang itu yang kita mau. Supaya publik tahu kalau kita tidak lagi pacaran. Official atau tidak."

"Makanya kau bilang pada Bos kalau kau mau meng-unfollow akun resmi switterku?"

"Setelah diskusi dengan Kak Lu, dia juga setuju dengan hal ini. Waktu aku bilang ke Bos, dia tanya kenapa, dan aku bilang kalau kita sedang mengambil jarak. Dia tidak bertanya secara detail, tapi akhirnya dia setuju."

"Iya, setelahnya dia bertanya tentang detailnya padaku. Dan soal ini, dia bilang kalau lebih baik kita memang meng-unfollow satu sama lain. Jadi... kau delete saja friend request yang baru kukirim tadi. Status teman kita tidak akan berubah sekarang meski kita saling meng-unfollow switter masing-masing."

"Maksudmu? Sekarang tidak berubah, tapi..."

"Tapi kita tidak akan hanya tetap menjadi teman saja di masa depan. Kau tahu apa yang kubicarakan dan jangan bilang kalau kau tidak punya pikiran yang sama denganku."

"...Tidak untuk waktu dekat ini."

"Memang tidak untuk waktu yang dekat. Tapi tidak untuk waktu yang lama juga. Kalau kita mau untuk sampai di waktu yang tepat, kita berdua harus bekerja sama supaya waktu itu tiba. Alora, perasaanku padamu sudah amat yakin."

"...Perasaanku juga sudah yakin padamu."

"Kalau begitu ayo kita berkomitmen."

"Kau tidak akan menyesal dengan komitmen ini? Mungkin kau akan bertemu dengan yang lebih cocok dan baik lagi daripadaku?"

"Kau serius bilang ini padaku?"

"Habisnya... Aku ini kan bukan pacar pertamamu."

"Justru karena kau bukan pacar pertamaku makanya aku bisa yakin kalau kau adalah yang kucari! Aku tidak akan melepaskanmu, Alora."

"..."

"Alora?"

"Kita ini sedang tidak main drama. Kenapa kau bisa mengucapkan kata-kata gombal seperti itu mudah sekali? Oh Tuhan..."

"Ke siapa lagi aku bisa bilang hal ini? Dan itu memang yang sebenarnya kurasakan."

"Oke, stop. Cukup. Kita ini teman sekarang. Aku tidak mau dengar hal itu dengan status kita yang sekarang... simpan itu untuk nanti."

"Tapi aku serius tentang membuat komitmen denganmu. Supaya kau tahu betapa serius dan sungguh-sungguh aku terhadapmu. Kalau tidak akan ada yang lain lagi selain kau yang akan jadi pasanganku."

"Adrian..."

"Kau bisa pegang perkataanku ini, Alora."

"...Aku bersedia. Aku... akan menunggu sampai kita bisa merealisasikan komitmen ini. Karena aku juga yakin, kalau laki-laki yang kucari adalah kau."

"Aku sayang padamu, Alora..."

"Perasaanku tidak berubah padamu."

"Kita punya tugas untuk bisa mewujudkan mimpi kita untuk menjadi aktor yang terkenal dan juga supaya kita bisa menjadi pasangan kekasih lagi, dan kali ini akan secara resmi kita umumkan."

"Mimpi yang akan kita wujudkan secara bersama dengan cara kita masing-masing."

"Kita sedang masuk ke dalam mimpi baru yang pastinya akan kita pastikan terwujud nantinya. Bukan lagi mimpi dulu yang akhirnya jadi mimpi buruk."

"Kau sudah siap?"

"Aku sedang melakukan persiapan itu."

"Aku juga sedang menyusun rencana untuk masuk mimpi itu."

"Kali ini, kita pasti bisa membuat mimpi itu terwujud."

"Aku akan menunggu sampai kita bisa mewujudkannya."

"Aku dengar namamu dipanggil."

"Vanya dan Carla masih akan menginap malam ini. Sepertinya akhirnya mereka sudah bisa bergerak lagi dari hangover mereka. Well, ini juga sudah lewat makan siang. Kurasa mereka kelaparan sekarang. Aku akan menutup teleponnya, oke?"

"Alora."

"Apa?"

"Jawab video call-ku kalau aku menelepon lagi nanti."

"Iya, iya. Aku tahu."

"Dan ingat, aku ini juga teman baikmu. Jadi kalau ada apa-apa kau tetap bisa bilang padaku. Minta bantuan juga boleh."

"Temanmu ini bukan seseorang yang suka merepotkan temannya yang lain. Kita lihat saia nanti, oke?"

"Alora-"

"Adrian. Kita ini TEMAN."

"Oke... teman."

"Bye, then dear friend."

"Yeah, bye."