webnovel

Entering a Dream

Mereka bertemu empat tahun lalu. Dan tidak ada yang menyuruh mereka untuk saling mendekat. Dimulai dari seorang teman kerja, perlahan muncul rasa ketertarikan, dan tidak lama pun muncul rasa kasih dan benih cinta di antara keduanya. Teman mereka mendukung, bos mereka juga tidak menentang, dan bisa dibilang kedua orang tua mereka sudah memberi ijin. Tapi sebagai seorang artis, yang setiap harinya harus berakting di depan kamera... Berakting adalah pekerjaan mereka dan itu adalah sesuatu yang mereka ingin lakukan dengan sepenuh hati. Tapi, apa akting itu sendiri juga harus mereka lakukan di kehidupan pribadi mereka? Haruskah mereka melanjutkan akting ini untuk menutupi cinta mereka? Akhir seperti apa yang menanti mereka dengan menutupi jalinan kasih mereka di depan banyak orang? Hidup di dunia yang penuh kepura-puraan ini, mau tidak mau mereka ikut terseret ke dalamnya. Yang pada akhirnya hanya membuat keduanya saling terluka. Meski sekali lagi itu bukan salah mereka.

Mikina09 · สมัยใหม่
เรตติ้งไม่พอ
9 Chs

5 - Sister's Bonding (III) & the Explanation

"Kalau bicara soal aku dan Adrian, siapa yang sangka kalau kami bakal pacaran nantinya. Waktu aku kenal dia pertama kali, dia sudah punya pacar. Yah, well, udah diambang putus sih. Kita baru sama-sama gabung di agensi, sama-sama anak baru, sama-sama gak ada pengalaman buat jadi aktor. Dia memang cakep, tampan, dan ramah. Orang yang enak buat jadi teman. Dan karena kita juga sama-sama anak baru, kita rasanya jadi cepet dekat. Omongan kita soal kerjaan juga nyambung..." Alora mengingat-ingat lagi semua yang terjadi antara dia dan Adrian. "Dan akhirnya kita bener jadi temen baik juga karena kita merasa cocok dan nyaman satu sama lain. Kita suka saling bercanda, godain satu sama lain, suka ngobrol juga di aplikasi... Dan dia itu laki-laki pertama yang bikin aku merasa deg-deg-an."

Alora menaruh tangan di dadanya. Dia merasa rasa deg-deg-an yang baru dia sebut mulai kembali muncul. "Dan sampai sekarang juga rasa itu belum hilang. Aku cuma sudah lebih pintar untuk bisa gak kasih lihat dengan jelas. Tapi, rasa deg-deg-an selalu ada kalau aku bareng dengan Adrian, atau seperti sekarang, waktu sedang bicara soal dia."

Alora adalah orang yang seseorang lebih suka mengatakan pendapatnya langsung daripada dipendam sendiri. Tapi dia bukan orang yang frontal, yang akan menyerang orang langsung, tanpa pikir panjang. Kalau dia bisa menahan dan tidak menimbulkan masalah, dia akan memilih hal itu. Seperti yang dia lakukan dua tahun belakangan ini.

"Dua tahun... Dalam dua tahun itu, satu tahun penuh dengan rasa senang yang luar biasa, dan satu tahun lagi adalah tahun untuk menahan diri, satu tahun yang membuat kepala sakit." Alora menarik nafas dalam dan mengeluarkannya dalam desahan. "Aku bukannya tidak mau melanjutkan, atau tidak mau bertahan lagi. Adrian bilang dia serius dengan hubungan ini, kalau dia serius mau terus seperti ini sampai nanti ada waktu yang tepat. Dan aku juga mau begitu sebenarnya."

"Alora, kenapa kau yakin sekali dengan Adrian sih?" Vanya bertanya. Ini adalah satu pikiran yang selalu mengganjal dalam hatinya setiap melihat Alora dan Adrian. "Kau dan Adrian kan masih muda, dan meski ini pertama kalinya kau pacaran, tapi Adrian itu punya banyak mantan pacar. Kau itu pacarnya yang kesekian. Terus, bagaimana kau bisa yakin kalau dia itu memang serius? Serius yang BENER-BENER serius?"

"Kalau aku bilang cuma dari perasaan sendiri, percaya gak? Di sini," Alora menepuk dadanya. "ada sesuatu yang kuat, sesuatu yang gak pernah aku rasakan sebelumnya. Dan Adrian berhasil membuat sesuatu itu muncul entah dari mana."

Alora memang tidak pernah pacaran. Dia tidak pernah benar-benar mencintai seorang pria. Tapi bukannya dia tidak pernah naksir dengan pria lain. Bahkan dia punya banyak pria yang dia taksir, tapi tidak pernah mengatakannya secara langsung. Semua pria yang dia suka, yang dia taksir rata-rata adalah temannya. Dia punya cukup banyak teman laki-laki dan mereka semua akrab dengannya. Dengan berjalannya waktu, mereka tetap menjadi teman dan rasa naksir itu tidak pernah bertahan lama. Sampai dia bertemu dengan Adrian.

"Teman laki-lakiku bukan cuma satu atau dua orang. Aku juga akrab dengan mereka semua sampai sekarang. Dan aku juga pernah naksir pria lain. Tapi di antara mereka semua, cuma Adrian yang bisa membuat aku bisa merasakan sesuatu itu." Alora menjawab dengan yakin. "Darimana aku tahu kalau Adrian juga sama seriusnya? Dengan dia membawa aku bertemu orang tuanya, bagiku itu sudah merupakan tanda kalau dia memang serius dan benar-benar serius."

Benar, Alora sudah bertemu dengan kedua orang tua Adrian. Alora pergi menemui orang tua Adrian setelah mereka pacaran selama satu tahun. Waktu itu, Alora panik setengah mati saat tahu Adrian mengajaknya bertemu dengan orang tuanya. Baginya itu terlalu cepat dan dia tidak tahu harus berbuat apa. Mereka itu baru pacaran satu tahun! Masih dalam tahap 'percobaan'. Tapi justru karena hal itu, Alora tambah yakin kalau Adrian tidak menganggap hubungan mereka berdua hanya main-main saja. Dan bisa dibilang, dia semakin jatuh cinta pada Adrian.

"Membawamu bertemu dengan orang tuanya memang bisa menunjukkan kalau dia itu serius. Aku sendiri tidak pernah dibawa secara langsung bertemu dengan orang tua mantan-mantanku." Carla setuju dengan pendapat Alora. "Dan aku bisa bilang kalau Adrian itu benar-benar peduli, care, dan matanya selalu berfokus ke arahmu."

"Yah, aku setuju soal itu," Vanya sependapat. "Dia itu seperti orang yang tidak pernah pacaran saja. Matanya itu beneran tidak bisa bohong. Selalu melihat ke arahmu terus kalau dia pikir tidak ada yang lihat."

"Dia itu benar-benar memanjakanku. Aku memang pernah dengar sih kalau dia itu selalu baik dengan pacarnya waktu dia pacaran. Jadi aku pikir kalau itu bukan hal spesial. Tapi dalam menjalani masa pacaran, aku tahu kalau dia itu tulus. Dan karena itu, aku juga bisa membalas dia dengan tulus. Makanya, aku mampu bertahan menjalani hubungan kami yang seperti itu sampai sekarang."

"Sampai kemarin," Vanya membenarkan.

"Yah, sampai kemarin," jawab Alora kecil.

"Tadi kau bilang kalau kau sadar dengan satu hal dan itu yang membuatmu akhirnya putus dengan Adrian. Apa yang kau sadari memangnya?" tanya Carla penasaran.

"...Kita semua sekarang dalam masa prihatin karena virus rocona kan? Meski daerah kita belum sampai benar-benar kena, tapi siapa yang tahu nantinya akan jadi bagaimana."

"Cuma gara-gara soal virus kau jadi putus dengan Adrian?" tanya Vanya tidak percaya. "Darimana akhirnya bisa nyambung ke situ?"

"Dengar dulu sampai selesai," Carla memotong sebelum Vanya mulai bicara lebih banyak.

"Virus rocona dinamai rocona karena keluarga pertama yang jadi korban virus ini adalah keluarga Rocona yang terkenal di negara ini. Satu keluarga besar tiba-tiba terjangkit virus dalam satu malam tanpa diketahui penyebabnya dan karena tidak ada pertolongan segera, mereka semua mati. Dan setelah mayat mereka diperiksa dokter, baru diketahui ada jenis virus baru ini."

"Dan... kita semua sudah tahu itu, Alora. Kita juga baca dan nonton berita. Yang kutanya itu, kenapa virus rocona jadi membuatmu putus dengan Adrian?" Vanya mulai tidak sabar.

"...Aku dan Adrian, kita masih baru berumur 20 tahunan. Pengalaman kita belum banyak dan karir kita juga baru dimulai. Baru mulai dikenal orang banyak... Dan kita ini masih belum punya backing yang kuat." Alora mengambil bantal di sofa dan memeluk bantal itu ke dadanya. "Kalau aku memaksakan hubunganku dengan Adrian, cuma akan jadinya seperti bantal ini. Semakin ditekan dan ditekan. Dan nantinya kalau sudah tidak kuat lagi, semua isinya bisa keluar semua dan jadi rusak."

Sambil memberi penjelasan Alora juga melakukan yang dia alegorikan. Bantal di dadanya jadi semakin tidak berbentuk karena tekanan kuat yang Alora berikan.

"Kalau misalkan isi bantal ini kuat dan tahan dengan tekanan, elastis dan tidak gampang rusak, mau ditekan seperti apapun dia akan tetap bertahan dan bisa kembali seperti semula. Tapi kalau tidak, ujung-ujungnya cuma akan rusak." Alora berhenti menekan bantal di tangannya dan menaruhnya lagi di sebelahnya.

"Kenapa aku bahas soal virus rocona, itu karena apa yang terjadi dengan keluarga rocona sekarang mirip dengan aku dan Adrian. Mereka semua mati akhirnya karena mereka tidak dapat bantuan tepat waktu, karena hal asing yang tidak diketahui menyerang mereka. Mereka tidak punya persiapan untuk menghadapi virus itu," Alora coba menjelaskan. "Banyak faktor luar, yang belum kita lihat sekarang, bisa membuat hubunganku dan Adrian jadi kacau. Salah satunya adalah penggemarnya. Siapa yang sangka kalau mereka akan terlalu agresif seperti itu akhirnya?"

"Jadi maksudmu, kau mau cari backingan yang kuat, yang bisa mendukung supaya kalian bisa pacaran?" tanya Vanya mengambil kesimpulan.

"Bukan seperti itu juga," Alora menggeleng. "Pak Leo kurang apa buat jadi backingan yang kuat? Dia itu bos agensi kita dan pengaruhnya termasuk besar di kalangan dunia hiburan. Tapi itu juga tidak cukup buat membuat penggemar Adrian tidak menyerangku di sosmed dan secara langsung."

"Terus, apa maksudmu?"

"Aku dan Adrian harus punya suatu dasar, sesuatu yang tidak akan bisa digoyang, mau apapun yang terjadi. Dan dasar itu harus milik kami sendiri, yang sudah diakui banyak orang. Dan tidak mengandalkan orang lain," Alora berkata dengan tegas. "Dan yang pasti, kita juga tidak melibatkan pihak-pihak yang lain."

Alora membiarkan Vanya dan Carla menyerap apa yang baru dia katakan. Mereka berdua tidak berkomentar apa-apa dan hanya menatap Alora dengan diam. Mereka tahu, masih ada penjelasan lebih lagi yang mau Alora katakan.

"Aku benar-benar merasa wabah virus rocona ini mirip sekali dengan keadaanku dan Adrian. Yang pertamanya virus ini hanya ada dalam satu keluarga, tapi sekarang sudah hampir di mana-mana karena ternyata penyakit ini sesuatu yang menular. Dari satu keluarga, akhirnya yang jadi korban bukan satu, tapi ribuan keluarga.

"Masalahku dan Adrian sebenarnya karena kami tidak memberitahukan ke publik kalau kami ini pacaran. Kami jadi harus sembunyi dan belum lagi aku dituduh yang membuat Adrian putus dengan pacarnya sebelumnya. Dan kalian juga tahu kalau itu sama sekali tidak ada hubungannya sebenarnya.

"Dari situ, dari hanya soal kami, tapi lama-lama jadi merambat ke mana-mana. Setiap hal kecil jadi dibesar-besarkan. Yang tidak ada hubungannya jadi dihubung-hubungkan. Rasanya kami berdua selalu dilihat dari semua sisi, tidak ada privasi, dan tidak ada istirahat. Dan yang paling bikin aku kesal adalah mama mulai ikut 'diserang' di sosmed. Benar-benar sudah tidak terkontrol."

"Kau itu hebat juga bisa menghubungkan virus rocona dengan masalahmu. Sesuatu yang sama sekali tidak akan terlintas di kepalaku." Vanya menggelengkan kepala. "Tapi... Itu semua kan bukan salah kalian. Dan sebenarnya hal itu yang paling aku sesalkan soal putusnya kau dan Adrian." Vanya mengutarakan simpatinya dan Carla juga ikut menggangguk.

"Siapa yang bilang kalau ini salah kami?" Alora tidak setuju dengan Vanya. "Aku sama sekali tidak pernah berpikir kalau ini salah kami. Kupikir Adrian juga punya pikiran yang sama.

"Kami ini masih saling sayang, perasaan itu masih ada dan masih kuat."

"Soal dasar yang kau bilang tadi, sudah tahu apa yang jadi dasar itu? Lalu, kalian berdua putus lewat telepon kemarin apa juga bicara panjang lebar seperti yang baru kau bilang ke kami?" tanya Carla.

"Soal apa yang harus jadi dasar yang kumaksud, sudah ada di pikiran. Tapi aku belum bisa mengatakan dengan jelas. Dan kemarin aku dan Adrian tidak bicara sebanyak ini."

"Jadi Adrian belum tahu jelas kenapa kalian putus?" Vanya bertanya sambil menaikan salah satu alisnya.

"Dia tahu sebabnya kenapa, tapi untuk alasan kenapa aku minta putusnya sekarang, dia belum tahu."

"Well... gak heran kalau begitu dengan sikap spontannya yang tiba-tiba meng-unfollow swittermu. Dia pasti sekarang lagi stres berat. Aku jadi kasihan." Vanya tidak kaget lagi dengan alasan Adrian meng-unfollow switter Alora. Pertama kalinya dia lumayan kaget, karena itu seperti bilang ke semua orang kalau mereka berdua sudah putus.

"Yah, meski aku kaget waktu dengar ini dari Kak Lu, tapi menurutku itu tidak jelek juga. Malah tadi sebelum kalian datang, aku lagi mengecek akun switterku dan lagi berpikir apa lebih baik aku meng-unfollow dia juga."

"Kau bilang dulu pada manajermu. Kau tahu sendiri bagaimana manajermu itu kalau sudah marah." Carla memperingatkan. Sebagai orang di agensi yang sama, Carla kurang lebih tahu beberapa sifat orang-orang di sana. Dan Lucia Nohreen adalah orang yang tidak mau kau buat kesal atau marah.

"Iya, nanti aku diskusi dulu dengan Kak Lu," Alora juga setuju. "Tapi dia setuju atau tidak, sepertinya tetap akan kulakukan. Akun yang ku unfollow itu akun resminya. Bukan akunnya yang lain. Yang lain kan tidak tahu soal ini."

"Kau benar." Vanya dan Carla mengangguk setuju.

Dan pembicaraan tentang Adrian berhenti sampai di situ. Tapi ketiganya masih melanjutkan 'girls chat' mereka sampai tengah malam. Dua kotak pizza yang dibawa Carla mereka habiskan tanpa sisa. Dan bir yang dibawa Vanya kemarin juga mereka habiskan tidak bersisa (Vanya, lalu Carla yang paling banyak minum, Alora punya perasaan keduanya masih kesal dengan apa yang terjadi pada mereka sebelum ke apartemennya).

Malam itu, Alora bisa tidur dengan tenang, karena setelah bercerita barusan, Alora merasakan dia sepertinya mulai bisa menemukan jawaban yang dia cari. Sebuah jawaban yang dia perlukan untuk bisa bersama dengan Adrian.

Chapter kali ini cukup panjang. Meski namanya tentang penjelasan (explanation), ini cuma awal dari journey yang bakal jadi cerita utama.

Untuk di mana negara ceritanya terjadi, tidak akan disebut dengan pasti. Silahkan berimajinasi.

Penjelasan ini adalah titik awal Alora bakal menemukan apa yang harus dia lakukan. Bukan konklusi.

Virus rocona itu fiksi (cuma mirip virus corona), jadi asalnya juga fiksi.

N chapter berikutnya dari pov nya Adrian. Gimana dia setelah putus dengan Alora?

Mikina09creators' thoughts