webnovel

Bab 8

Aku bergegas. Langkahku cepat dan tak terkendali, membabi buta. Setiap debu yang berterbangan maka seperti itulah gambaran hatiku. Buram dan dipenuhi ketakutan serta terombang-ambing. Sinar matahari melewati lubang-lubang daun jati di atas kepalaku, menimbulkan efek layaknya lampu sorot. Bergerak-gerak, berpindah mengikuti gerakan daun-daun yang rimbun, meneduhkan langkahku di jalan sepi serta mencekam yang kulewati.

"Maudy, keadaan sekacau ini kenapa kau berangkat? Pulanglah," begitulah kata Pak Van Mook yang tadi kutemui di tengah perjalananku menuju sekolah. Ini hari yang buruk, memang seharusnya aku tidak keluar rumah. Jalanan aneh dan penuh ancaman, serdadu dimana-mana, menyandang senjata api dengan posisi siaga. Tak seorang pribumi pun yang berani menampakkan batang hidungnya, mereka seperti lenyap ditelan bumi. Hilang entah kemana.

Kupercepat lagi langkahku, sesekali mataku mengawasi kesana kemari. Suara gesekkan daun dan ranting semakin membuatku resah tak karuan. Semakin lama, aku justru merasa bahwa rumahku semakin jauh.

"Maudy,"

"Aaaaa," aku nyaris menjerit tanpa mampu berlari ketika sebuah suara mengejutkanku, memaksaku untuk berhenti melangkah. Sedikit bisa bernapas lega setelah kulihat Piet muncul dari tikungan jalan di depanku. Dia terlihat semakin gagah dengan seragam baru dan senapannya. Senyuman ramah tersungging di wajahnya ketika dia melangkah menghampiriku.

"Maaf mengejutkanmu, kau terlihat ketakutan,"

"Suasana memaksaku, banyak serdadu dan jalan ini sepi sekali,"

"Sejak kapan kau takut serdadu? Aku disini," katanya sedikit melawak tapi sayang tak berhasil membuatku tersenyum apalagi tertawa.

"Aku tidak takut padamu, tapi serdadu lain yang belum pernah kulihat,"

"Mereka maniskan? Ayo kuantar pulang," Dia kembali menggoda, menggerakkan tangan layaknya seorang pangeran mempersilakan putrinya. Kali ini, dia lumayan berhasil membuatku kegelian karena tertawa.

Sepanjang perjalanan, Piet memainkan sebuah ranting pohon yang dia ambil langsung dari pohonnya, mematahkan dan memisahkannya dari bagiannya. Dia memetik daun-daun kecilnya satu per satu seolah memperhitungkan sesuatu, iya atau tidak, benar atau salah atau mungkin dia sedang mengundi gadis mana yang akan dia kencani.

"Piet,"

"Ya," dia meresponku dengan nada datar sembari memutar-mutar ranting yang dia apit dengan jari telunjuk dan jari tengahnya.

"Sebenarnya apa yang sedang terjadi?"

"Apa maksudmu?" Dia masih bersikap biasa meskipun perhatian matanya sudah teralih padaku. Kugigit bibir bawahku, beberapa kali aku berpikir apakah memang seharusnya aku bertanya dan kata serta kalimat apa yang tepat untukku memulainya?

"Ehn, aku," kumainkan tali tasku kemudian perlahan-lahan kuhentikan langkah. Piet turut berhenti.

"Aku merasa keadaan tempat ini menjadi tidak nyaman," dengan terbata-bata aku mengungkapkan satu per satu kata-kata yang telah tersusun di otakku, "sekolah diliburkan, serdadu dimana-mana dan semua pintu rumah tertutup. Aku,"

"Kau khawatir?" Piet menyahut dengan suara lembut, mata hijaunya menatapku dalam-dalam, berusaha meneduhkan.

"Kemarin," kataku lagi setelah mengangguk, mengiyakan, "mungkin kau tidak melihatku tapi aku melihatmu dan Richard di kebun. Kalian berdebat dengan pekerja. Semalam aku melihat serdadu Belanda berkeliling, sudah lewat tengah malam. Apa ini ada hubungannya dengan semua itu? Aku kemarin juga melihat orang dari pemerintah datang ke rumahku,"

"Sudahlah, semua akan baik-baik saja. Belanda hanya khawatir kalau terjadi hal buruk,"

"Tapi sekarang semua terasa lebih buruk. Apakah ini perintah Tuan Schoonhoven?"

"Maaf telah membuatmu cemas. Ini bukan perintahnya, tapi keputusan bersama pemerintah. Tuan Schoonhoven pergi bersama Josh sejak empat hari lalu. Apa kau tidak tahu?"

"Aku tahu," kini aku kembali melangkah sambil memainkan jemari tanganku.

"Aku baru tahu kemarin, bujangnya memberikan surat dari Josh yang dia tulis sebelum dia pergi. Heh,"

"Te erg!" Piet mengumpat, "seharusnya dia bertemu denganmu,"

"Aku tidak pa pa,"

"Hah! Kau ini, mendadak jadi anak baik,"

Aku diam, tak membalas ledekan Piet dan terus berjalan bersamanya menuju rumahku yang tinggal beberapa meter di depan. Sesekali kulirik Piet, serdadu Belanda yang sangat baik dan menyayangiku. Aku ingat sekali ketika pertama kali aku bertemu dengannya di pos sekitar empat tahun yang lalu. Bahasa Indonesianya minim tapi terlewat percaya diri untuk mengajakku berbincang-bincang dan bermain. Sama seperti saat pertama kali aku bertemu Josh, Piet mengira aku orang Belanda. Dia sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri sama seperti Kak Rusli meskipun menurutku Piet lebih baik.

"Terimakasih Piet, hati-hati," kulambaikan tanganku padanya yang mulai melangkah menjauh dariku. Kupandangi punggungnya hingga dia lenyap di tikungan ujung jalan. Sesaat kulayangkan pandanganku ke sekeliling. Sepi seperti biasanya karena rumah kami memang jauh dari para tetangga. Jadi, tak kurasakan perbedaan seperti di tempat lain.

Seekor kupu-kupu bersayap kuning dengan bintik-bintik oranye melintas di depan mataku. Dia berputar-putar seolah memamerkan sayap indahnya, melayang rendah lalu hinggap di sekuntum bunga melati dekat pagar rumah. Aku tersenyum, memikirkan sebuah fakta menggelikan. Kenapa Josh begitu takut pada serangga lucu ini? Dia bilang kupu-kupu itu monster bahkan dia berani bersumpah padaku bahwa dia pernah digigit kupu-kupu. Konyol sekali dia.

"Anak itu benar-benar kurang ajar !'' Suara Kak Rusli yang memekakkan telingaku, menyeruak dari dalam rumah, setelah berpikir sejenak seperti orang linglung, akhirnya kuputuskan untuk bergerak, berlari-lari kecil melewati pendapa depan. Aku berhenti di depan pintu, nampak olehku Kak Rusli dan ibu berdiri di depan pintu kamarku. Dua raut wajah dengan ekspresi berbeda, kemarahan dan kecemasan tengah beradu pandang di depan sana.

"Kenapa kau selalu mempersulit hal kecil ? masalah tanah yang ada di wewenang ayahmu kau usik, sekarang Maudy berteman dengan siapa pun, kau memprotes ini-itu. Apa maumu nak ?"

Suara ibu nyaris tak terdengar , lirih tapi masih bisa kutangkap juga apa yang terlontar dari bibirnya. Tidak salah lagi, mereka sedang membicarakanku dan kedekatanku dengan orang-orang Belanda. Apa Kak Rusli melihatku pulang bersama Piet ?

"Ibu, kapan ibu bisa mengerti ? bahwa hanya akan ada malapetaka. Tidak masalah jika hanya berteman, sekadar berbicara. Tapi ini sudah melampaui batas !" Kak Rusli merentangkan kedua belah tangannya kemudian mengacungkan selembar kertas ke udara hingga atas kepalanya.

Masih kuingat dengan jelas kertas apa itu. Kertas yang membuat pikiranku teralihkan dari pembicaraan serius dan menyebalkan antara ayah,ibu dan Kak Rusli malam itu. Kertas pembawa pesan rindu, berisi rangkaian kata-kata pilihan dan manis, tersusun secara apik dan indah, membuat hatiku nyaman serta ingin membacanya berulang-ulang. Sebuah kertas yang membawa aroma tubuh pengirimnya, seseorang yang kurindukan dan kuyakin bahwa dia juga merindukanku. Kertas surat dari Josh.

Diriku terpaku di pijakanku. Kakiku ragu harus mengambil langkah atau mundur, tak ada bedanya. Semua pasti akan berakhir sama saja. Pikiranku kacau hingga diriku sendiri tak tahu apa yang sedang kupikirkan. Darimana Kak Rusli mendapatkan surat itu ? bagaimana dia bisa menemukan hal yang kusembunyikan rapat-rapat padahal dia tidak mendengar teriakan-teriakan tentang diriku dan Josh dari orang-orang di luar sana ? Kenapa Kak Rusli selalu hidup dengan idealisme dan harga diri yang dia junjung hingga atas kepalanya ? aku yakin Kak Rusli merasa dirinya sangat berkuasa , dia tidak mau mendengarkan perkataan orang lain dan memilih untuk mengacak-acak privasiku. Apa maunya ? aku benar-benar ingin mengetahui bagaimana cara otaknya bekerja.

"Kenapa kakak mengambil milikku?" Entah ada keberanian darimana, akhirnya aku angkat bicara sembari melangkah lebar menghampiri Kak Rusli dan Ibu yang terkejut menyadari kehadiranku. Kurebut kertas itu dari tangan Kak Rusli. Kepalaku mendongak, menatap tajam matanya yang runcing seperti mata elang. Kak Rusli kini melotot, bola matanya seolah-olah hendak meloncat keluar meninggalkan kelopaknya. Aku mampu merasakan hawa panas di antara aku dan Kak Rusli. Membuat ibu yang berada di antara kami, memperhatikan penuh kekhawatiran.

"Apa itu?" Kak Rusli mulai berbicara, dari nadanya aku tahu bahwa dia sedang berusaha menahan amarah yang bergejolak dalam dirinya, "Kau bertingkah seperti orang tak beraturan. Tulisan bodoh apa ini? Ha!" secepat kilat dia merebut kertas dari genggamanku.

"Lihat ini!" Dia mengacung-acungkan kertas itu tepat di depan wajahku, "lihat ini dan bercerminlah untuk menyadari seperti apa dirimu sebenarnya. Kau menjalin hubungan terlampau jauh dengan anak seorang meneer. Apa yang ada di otakmu, Maudy?"

"Cukup Rusli, jangan berteriak padanya," Ibu mencoba menenangkan Kak Rusli, memegangi lengan Kak Rusli, berharap kelembutan yang ada dalam dirinya bisa tersalurkan ke dalam diri putranya. Aku hanya tertunduk, tak mampu berbicara apa pun, tiada kata yang kutemukan untuk membantah kalimat panjang Kak Rusli yang ditujukannya kepadaku.

"Ibu terlalu lembut dan memanjakannya. Sekarang lihatlah ! Dia bertingkah sesuka hati,"

"Adikmu hanya berteman, tidak ada yang perlu kau ributkan seperti ini,"

"Berteman seperti apa? Aku cukup paham kata-kata di surat ini. Dia dan anak Tuan Schoonhoven yang bernama Josh itu lebih dari teman. Kau mau mengelak apa lagi?"

"Kenapa kakak selalu mengusikku?" kudongakkan kepalaku, menatap mata tajamnya dengan mataku yang mulai basah karena air mata.

"Kenapa kakak selalu menganggap hal yang kulakukan salah? Aku berteman dan berbicara dengan orang Belanda, kakak memarahiku, Aku berpakaian seperti ini, tidak memakai kebaya seperti orang lain, kakak juga tidak pernah berhenti mengomel. Apa yang kakak inginkan sebenarnya? Aku sudah muak dengan semua ini!"

"Aku peringatkan tanpa henti pun, kau tidak berubah."

"Karena aku memang seperti ini kak. Inilah diriku, Maudy!" Aku berteriak frustasi di depan wajahnya yang mulai merah padam, "kenapa kakak tidak pernah menganggapku? Aku tahu aku hanya anak angkat, aku tahu itu. Tapi yang harus kakak tahu, aku juga memiliki perasaan. Apa kakak tidak pernah berpikir betapa aku sangat terluka setiap kali kakak bilang kakak benci Belanda, kakak benci dan ingin menghancurkan semua hal yang berbau Belanda. Apa kakak tidak sadar bahwa aku juga orang Belanda. Darah dari tanah mereka mengalir di tubuhku!"

"Maudy tenanglah," Ibu memelukku hangat ketika aku mulai tak terkendali hingga tangisku pecah. Akhirnya kukatan juga apa yang selalu kupikirkan dan membebani diriku selama ini. Akhirnya.

"Aku tahu," Kak Rusli kembali berbicara, nada bicaranya merendah, berusaha untuk sedikit mengendalikan suasana , "Dan mungkin karena kau masih keturunan mereka, maka kau bertingkah seperti ini,"

"Rusli jaga kata-katamu!" Ibu berteriak, Nampaknya dia dibuat terkejut oleh kata-kata Kak Rusli, sama sepertiku. Akhirnya dia katakan juga apa yang kutakutkan selama ini. Idealisme Kak Rusli telah mengubahnya menjadi seseorang yang menakutkan.

"Terus saja hidup seperti itu! Kakak tidak sadar betapa hati para inlander itu lebih busuk daripada kelakuan kompeni!"

Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kananku, nyaris tak ada jeda dari akhir kalimatku. Kak Rusli, dia memberikan tamparan kerasnya yang menyakitkan, aku tak bisa melakukan apa pun kecuali menatapnya, beradu emosi yang bergejolak lewat sorot mata.

"Rusli!" Ibu menggertak, dia menampar pipi kiri Kak Rusli seakan dia adalah perpanjangan tanganku yang tak terima atas perlakuan Kak Rusli. Mata Kak Rusli tak berkedip sekalipun. Dia menatap Ibu yang memandang hampa telapak tangannya. Menyesal karena tangan lembut itu telah melukai putra kebanggaannya yang sangat dia sayangi.

"Maafkan ibu, nak," Perlahan Ibu meraih kedua belah pipi Kak Rusli. Aku mundur beberapa langkah. Memang seperti ini. Aku tahu pada akhirnya akan seperti ini, aku bukan apa-apa, tak ada artinya jika dibandingkan dengan Kak Rusli di hati ibu. Sadarlah Maudy, aku hanya anak angkat. Anak angkat, gadis malang yang mendadak mendapat keberuntungan, diangkat sebagai anggota keluarga bangsawan, Mangunbrata.

Kubalikkan badanku kemudian berlari keluar rumah. Tak kudengar seruan dari dalam yang memintaku untuk berhenti, meneriakkiku supaya kembali. Tidak ada, apa lagi? Apa lagi yang kuharapkan? Seharusnya aku menyadari semua ini sejak dulu, aku harus merasa cukup dengan diperbolehkan tinggal bersama, hidup dan bernapas di tempat yang sama dengan orang-orang terhormat seperti mereka.

Lariku terkoyak, aku nyaris terjatuh karena terhuyung, terantuk batu. Angin sore menerpa tubuhku, menyisir lembut rambut kecoklatanku dan membuatnya terkibas-kibas di udara. Berlari dan terus berlari, hanya itu yang mampu kulakukan. Apa yang ada di otakku pun aku tak tahu. Entah dimana aku akan berhenti, tujuan saja aku tak punya, bagaimana mungkin aku tahu dimana langkahku berujung? Debu di bawah kakiku berterbangan , kerikil berserakan ketika setiap hentakkan menimpa tanah jalan yang berbatu.

"Dan mungkin karena kau masih keturunan mereka , maka kau bertingkah seperti itu!" Busuk! Terkutuklah kata-kata Kak Rusli itu. Apa salahnya menjadi orang Belanda? Kenapa dia selalu membandingkan antara Belanda dan pribumi? Membuat permainan menggunakan boneka-bonekanya. Boneka Belanda dan boneka pribumi, meletakkan kedua kubu dalam satu kehidupan soial kemudian menjadikan boneka Belanda sebagai tokoh antagonis. Dia selalu berpikir bahwa dia berada di pihak orang-orang benar bersama orang-orang benar untuk membela kebenaran orang-orang benar menurut versinya sendiri. Apa dia pikir dia itu Tuhan yang berwenang untuk menilai dan memutuskan? Awalnya kukira ketika kukatakan bahwa aku, adiknya ini juga keturunan Belanda, dia akan sedikit berpikir. Tetapi, kenyataannya, jurusku justru menyerangku sendiri. Fakta yang lebih menyakitkan telah kudapatkan, kakakku membenciku sama seperti dia membenci para kompeni.

"Maudy!" sebuah seruan terdengar dari kejauhan, kuusap sejenak air mata yang menghalangi pandanganku. Aku menoleh sekejap dan kudapati Richard berdiri di bawah tiang listrik, dia membawa senapan panjang sama seperti Piet. Tak kuhiraukan seruannya, aku kembali fokus pada jalan di depan mataku yang kembali memudar terhalang oleh air mata yang kembali membasahi pelupuk mataku.

Josh, dimana kau? Aku membutuhkanmu.

Aku berdiri di depan tangga batu bukit, lariku berakhir disini. Di tempat sepi yang tak dilirik dan cenderung dijauhi oleh semua orang karena mitos bodohnya. Kulangkahkan kakiku perlahan, setapak demi setapak seakan-akan kuhayati setiap anak tangga di bawah sepatuku. Menikmati udara sejuk yang kurasa berbeda, terasa lebih menyejukkan daripada udara di bawah sana. Tak ada gemerisik ranting serta dedauanan yang terbuai angin sore, sepi. Kesunyian melanda dan membuatku semakin tidak baik.

Tiga kupu-kupu bersayap hijau kekuning-kuningan terbang melintas rendah di depanku, membuat langkahku terhenti. Kuperhatikan ketiga kupu-kupu cantik yang kuanggap aneh karena berkeliaran di sore hari seperti ini. Kupandangi ketiga kupu-kupu yang terbang berputar-putar membentuk lingkaran kecil, pandangan hampa tanpa arti. Aku tak tertarik untuk mengungkapkannya tapi mereka justru menggodaku dan tak mau beranjak dari hadapanku. Menyebalkan, apa yang tidak memuakkan bagiku? Bahkan angin yang datang berhembus bersamaan dengan saat kembali kulangkahkan kakiku, meninggalkan kupu-kupu pun kupertanyakan kenapa dia tidak datang sejak tadi? Dunia dan takdir seperti tak bosan bermain-main denganku hari ini.

Matahari kuning kemerah-merahan mulai malu-malu atau mungkin sudah lelah menyinari dunia. Si mesin penghangat abadi itu perlahan turun dan bersembunyi di balik garis cakrawala sebelah barat tapi berkas-berkas sinarnya masih menghiasi langit, membuat bumi tempatku duduk memeluk lutut menjadi dipenuhi warna jingga yang megah dan mempesona.

Bersamaan dengan angin petang berhembus, pikiranku mulai terbang kemana-mana. Memori-memori menyakitkan kembali berputar-putar di depan mata, begitu banyak dan bertumpuk-tumpuk seakan-akan aku tak pernah mendapat kebahagiaan. Aku adalah tempat segala kemurkaan dunia dilimpahkan. Dunia kejam dan kita tak bisa mengelak, tetapi kenapa harus aku? Apakah tak ada orang lain di dunia ini yang lebih pantas dibanding aku?

Di Belanda, lima tahun pertama aku menghirup oksigen kuhabiskan dengan ibuku. Kami dicibir dan tak diakui, ibuku bukan warna negara Belanda dan sulit mendapatkan pekerjaan. Aku ingat ibu tak pernah tidur nyenyak, setiap malam kulihat dia menghitung golden demi golden miliknya. Sering juga, kudapati ibu menangis dalam gelap malam, aku ikut menangis karenanya dan lalu ibu mendekapku dalam pelukan hangatnya.

Hari terkutuk pertamaku tiba. Tanpa sengaja aku menabrak seorang pria di sebuah taman bermain. Aku terjatuh, ibu menghampiri dan mengucapkan maaf kepada pria itu. Tetapi, keramahan itu lenyap seketika saat pria Belanda yang gagah dan tampan itu membuka kaca mata dan topinya. Senyuman picik serta raut wajahnya. Dia menyeretku dan ibu menuju kapal barang busuk ke tempatku sekarang, Hindia Belanda.

Aku selalu bertanya kepada ibu, "kenapa kita tak ke Rotterdam lagi? Kenapa ada banyak orang membawa senjata api? Kenapa kita disini? Kenapa orang itu membuat kita berada disini?" Dan masih ada begitu banyak lagi kata kenapa yang kutujukan kepada ibu. Aku tidak tahu dan tidak suka karena hanya itu alasanku. Kenapa aku bertanya? Tak ada jawaban jelas kudapat, semua berlalu bersama waktu hingga aku juga melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana mendadak ibu lunglai di tanah karena timah panas serdadu biadab dan bodoh, kemudian dia berkata di kesempatan terakhirnya "laki-laki itu ayahmu?"

Dia membongkar rahasia besar yang tak pernah kupertanyakan kepadanya. Sebuah pertanyaan yang tak pernah terbesit di benakku justru terjawab dengan sangat mengejutkan di hari terakhirku bersama ibu. Aku benci laki-laki yang juga ayahku itu. Tak akan kuingat lagi wajahnya dan juga sorot mata menakutkan yang selalu terbayang di depan mataku.

"Hiduplah bahagia dan tersenyumlah Maudy,". Itulah pesan terakhir ibuku untukku.

Aku pernah berpikir Mangunbrata adalah akhir dari segala hal menyakitkan. Tapi sekarang aku mengerti bahwa setiap yang kuterima selama beberapa tahun terakhir adalah awal untuk hari ini. Payahnya, aku tidak tahu bagaimana harus kujalani esok hari. Dor! Suara tembakan mengejutkanku, membuatku tersadar dari lamunan. Kuperhatikan sekitarku yang telah menjadi gelap gulita. Waktu berlalu tanpa kurasakan setiap detik yang telah hilang. Pohon-pohon nampak seperti siluet-siluet hitam besar. Raksasa menakutkan.

Kuraba dadaku untuk menemukan liontin koin berbatu safirku, menggenggamnya agar aku bisa merasakan kehadiran ibuku disini, di sampingku dan memelukku. Membuat diriku merasa lebih baik sebaik diriku ketika bersamanya. Ibu, andai dia disini sekarang. Semua sungguh sulit dan aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Sejenak kupejamkan mataku, mencoba mendapatkan ketenangan. Namun, tembakan kedua membuatku semakin tak tenang.

Aku hendak berdiri dan berlari tapi kuurungkan niatku. Kemana lagi aku harus pergi? Turun kemudian mati tertembak? Aku yakin Belanda sedang memberikan peringatan kepada para pekerja. Di bawah sana suasana pasti lebih tidak menyenangkan dan tentunya membahayakan. Kurapatkan punggungku ke pohon dan memperat pelukanku pada tubuhku sendiri.

Ini untuk kali pertama tempat favoritku membuatku takut. Mungkin karena aku sekarang berada disini di malam hari, karena aku datang dengan rasa takut yang kubawa dari rumah atau mungkin juga karena suara tembakan tadi dan, tidak menutup kemungkinan karena ketiganya. Entahlah, aku hanya berharap tidak ada hantu semacam pocong, wewe gombel atau genderuwo. Andai saja ada orang lain di sisiku.