Tampak Satori akan masuk ke apartemen, tapi ia terdiam ketika melihat Matthew yang berjalan keluar dari apartemen itu, membuatnya terdiam.
Mereka tidak saling kenal, tapi Satori merasakan sesuatu yang berbeda. "(Siapa itu, asing sekali... Kenapa aku tak pernah melihatnya? Apa dia bukan orang sini, atau dia hanya mengunjungi seseorang di apartemen ini? Jika aku benar, dia pasti mengunjungi Nona Akai. Nona Akai memang khusus dalam menjalani berbagai info penting, termasuk lelaki yang terlihat penting itu tadi... Sudahlah, yang seharusnya kupikirkan adalah bagaimana caraku meminta maaf pada Nona Akai soal kejadian terakhir itu. Bahkan, kita belum bertemu selama beberapa hari sejak hari itu,)" pikir Satori sambil berjalan ke dalam. Dia masih memikirkan hal yang sudah berlalu, tentu saja dia merasa bersalah dan sekarang dia harus memikirkan sesuatu untuk kehidupan nya setelah mengetahui fakta yang di berikan oleh Neko.
Ketika sampai di dalam apartemen, dia melihat sekeliling. "(Karena aku selalu bosan, jadi aku akan melakukan kebiasaanku sejak dulu ketika sudah tak memiliki sesuatu yang harus dikerjakan. Aku akan membersihkan apartemen,)" ia mengambil benda-benda pembersih dan mulai merapikan tempatnya. Namun, pada saat itu juga, ada yang membuka pintu, yakni Roiyan.
"Tuan Roiyan, Anda sudah pulang?" Satori berjalan mendekat, seperti biasa, dia mencoba menjadi sosok yang baik untuk Roiyan.
"Yeah, aku sedang lelah, jadi aku pulang lebih cepat," balasnya dengan wajah yang lemas dan lelah.
"Biarkan aku membawakan tasmu," Satori memegang tas Roiyan.
"Terima kasih, aku akan tidur sekarang," Roiyan berjalan melewatinya, membuat Satori terdiam.
"(Aku selalu seperti ini... Setiap kali dia pulang bekerja... Dia bilang hanya lelah, setelah itu tidur, bahkan tak pernah mengatakan, 'Aku rindu padamu,' atau 'Aku ingin kamu tidur denganku.' Tidak sama sekali... Apakah benar ini bukan hal yang harus dilakukan? Bukankah dia adalah tunanganku? Kami berdua adalah tunangan, tapi kenapa sikap dan sifatnya membuat seolah-olah ini semua seperti kita hanyalah adik dan kakak? Atau malah aku pembantu di sini... Kami saja belum pernah saling mencium bibir, dia juga tak pernah memelukku. Aku ingin dia lebih peka padaku, tapi sepertinya itu sulit,)" Satori terdiam dan menghela napas panjang, kecewa. Rupanya kehidupan nya bersama Roiyan memang terdengar membosankan dan tak ada butiran hubungan cinta yang dekat juga.
Hari berikutnya, di kampus, Satori berjalan ke kampus sambil memikirkan sesuatu. "(Aku harus mencari cara agar bisa minta maaf pada Nona Akai, tapi aku malu untuk mengungkit hal kemarin. Bagaimana ini... Aku tetap harus minta maaf, aku tak sengaja tak bisa mengendalikan tubuhku,)" dia masih mencoba untuk memikirkan bagaimana mencari cara untuk meminta maaf atas perbuatannya menyiram air lengket pada Neko ketika di kafe.
Ia terus melamun memikirkan hal itu hingga hanya melihat jalan di bawah, membuat semua orang yang melihatnya menjadi bingung.
"Satori..." tiba-tiba seseorang memanggilnya dan ia menoleh. Ternyata itu Choka, yang juga ada di kampus. Choka, yang dikenal oleh Neko, ternyata benar-benar satu kampus dengan Satori.
"Choka, kupikir kau keluar dari kampus."
"Ahaha, tidak kok. Aku baru saja dibawa ayahku berlibur, dan dia akan menjemputku. Padahal aku sudah pulang cukup lama, tapi kita sudah lama tidak bertemu, ya. Sebenarnya aku selalu mencarimu. Ketika aku mendengar dari beberapa teman, mereka bilang kamu selalu ingin buru-buru pulang dan berangkat mepet seperti ini. Itu membuat kita tak bisa bertemu, benar kan?" tatap Choka.
"Maafkan aku, itu karena aku memiliki masalah dengan pasanganku," Satori menatap sedih.
"Ya ampun, aku tak tahu kamu punya masalah itu. Apa yang terjadi?" Choka menatapnya, benar-benar sebagai teman yang baik.
"Aku akan cerita lain kali saja. Bagaimana denganmu? Apa kamu baik-baik saja?"
"Haha, aku selalu baik-baik saja. Ayahku benar-benar sangat baik, dia kali ini meluangkan banyak waktu untukku. Dia mengurangi fokus bisnisnya dan lebih menghabiskan waktu bersamaku."
"Ayahmu, wah, sepertinya menyenangkan memiliki orang tua seperti itu. Apa aku bisa melihat wajah ayahmu?" Satori menatapnya.
"Tentu, saat pulang nanti akan kutunjukkan. Sekarang, ayo kita ke kelas bersama," Choka menatapnya lalu Satori mengangguk dan mereka berjalan masuk bersama.
"Oh iya, bisa aku bertanya sesuatu? Di mana kamu pergi saat itu?" Satori mengobrol dengannya.
"Ah, itu, aku ke desa Jeongju."
"Kudengar desa itu penghasil panen yang besar, kan? Di sana banyak sekali buah maupun sayuran yang dikirimkan ke kota melalui desa itu," tatap Satori.
"Ya, itu benar sekali. Di sana banyak pekerja keras dan juga kaya akan hasil tanaman. Aku juga bertemu seseorang yang sangat unik sekali... Dia juga ada di kota, tapi mungkin aku bisa memperkenalkanmu dengan dia... (Kemarin aku berhasil mengajak Nuna di kafe. Kita mengobrol dan aku sangat senang jika dia juga bisa menikmati obrolan kita. Aku harap bisa memperkenalkannya pada Satori,)" pikir Choka, tanpa mengetahui bahwa Satori juga kenal dengan Neko.
Saat pulang, mereka masih berjalan bersama dan melihat seseorang yang membuat Satori terdiam.
"(Kita bertemu lagi...)" dia melihat Cheong yang berdiri di samping mobil hitam, menunggu di antara mereka berdua.
"Ayah," Choka mendekat. Satori ikut menatap dan dia seketika terkejut. "(Ayah!! Choka memanggilnya ayah?! Apa aku tak salah dengar! Ini beneran?!)" Satori memang tak tahu bahwa ayah Choka adalah Cheong.
"Ayah, dia Satori, temanku," kata Choka.
"Salam kenal, Satori. Aku harap putriku tidak menyusahkanmu," Cheong menatap dengan tampang elegannya. Dia menganggap ini seperti baru pertama kali, padahal tanpa sepengetahuan Choka, dia bertemu Satori hampir setiap hari.
"Ah, tak masalah, Tuan," Satori membalas dan mencoba bersikap seolah baru kenal. Dia tak menyangka bahwa akan ada kenyataan seperti itu.
"(Ayahnya Choka... Dia ayahnya Choka!! Aku benar-benar sangat malu!! Jika aku bisa menghilang, aku ingin menghilang sekarang...)"
--
Setelah itu, tampak Satori terdiam di apartemennya setelah kejadian di kampus tadi, yakni mengetahui fakta bahwa Cheong adalah ayah dari Choka, dan bahwa ayahnya Choka adalah Cheong, pria yang selalu datang menemui Satori. Jika ditanya kenapa melakukan itu, jawabannya memang benar, karena memiliki kepentingan sendiri, yakni sekalian menjemput putrinya dari kampus.
"(Aku benar-benar tidak menyangka, rupanya pria yang selalu bertanya dan memberitahuku soal Tuan Roiyan dan hubungannya dengan orang yang disukai Tuan Roiyan... Rupanya itu semua bukan Tuan Cheong, melainkan ayah dari Choka. Aku seharusnya tahu dari awal karena wajah mereka sangatlah mirip. Aku benar-benar lupa pada Choka, karena itulah aku tidak bisa menganggap mereka mirip... Sudahlah... Aku tidak mau memikirkan itu,)" ia terdiam di sofanya dengan masih menggunakan wajah tidak nyaman sekali.
"(Yang seharusnya kupikirkan adalah cara meminta maaf pada Nona Akai. Bagaimanapun juga, aku yang harus duluan minta maaf,)" ia terdiam, lalu berjalan keluar ke balkon apartemennya. Dia menatap ke atas, tepatnya menatap balkon apartemen Neko, kosong, tak ada Neko di sana.
"(Aku rindu masa-masa aku melihat dia pertama kali di sini, di balkon ini... Apakah itu memang sebuah takdir aku bisa mengenal orang sepertinya?)"
Sementara itu, di sisi lain, di kantor gedung departemen kekuasaan museum, tampak Pei Lei mengetuk pintu kantor Neko dan membukanya, melihat Neko menatap laptopnya sendiri sambil mengemut permen tusuk di bibirnya.
"Luna," panggilnya, membuat Neko menoleh.
"Maaf mengganggu, ini laporan seminggu ini," Pei Lei meletakkan beberapa dokumen di meja Neko.
"Baiklah, kembali bekerja," balas Neko, masih sibuk dengan laptopnya, membuat Pei Lei terdiam.
"Um... Luna... Bisa aku mengatakan sesuatu?"
"...? Katakan saja," tatap Neko.
"Apa kau mau ikut aku ke bar malam ini? Kita minum bersama?"
"Astaga... Aku sudah cukup soal jika harus minum alkohol. Kesehatanku memburuk jika aku terus meminum minuman itu."
"Oh, maafkan aku... Kalau begitu, bagaimana jika makan malam bersama? Aku akan mentraktirmu," tatap Pei Lei.
Neko terdiam sebentar, lalu menatap ponselnya. "Jika aku ada waktu, aku bisa ikut denganmu..."
"Ah, baik, terima kasih... Aku akan menunggu jawabanmu selanjutnya," Pei Lei menatap senang, lalu dia berjalan pergi.
Neko terdiam, bingung. "(Ada apa dengannya... Kenapa dia begitu aneh sekali... Apa dia ingin mengatakan sesuatu padaku...)"
Sementara itu, di sisi lorong lain, terlihat salah satu karyawan yang dulu pernah memperkenalkan dirinya, yakni Xun, yang sudah lama tidak terlihat. Dia berjalan di lorong dengan santai dan sedikit meregangkan tubuhnya.
"(Ha... Aku berhasil menyelesaikan proposal itu tepat waktu. Sangat susah jika harus menyelesaikannya sendiri... Tapi paling tidak aku sudah bekerja keras, dan pasti proposalnya diterima...)" ia tampak percaya diri sendiri hingga bertemu dengan Roiyan secara kebetulan.
"Oh, Xun," Roiyan memanggilnya, membuat Xun menoleh.
"Bagaimana dengan proposalmu sendiri? Kau benar-benar mengerjakannya sendiri?" tatap Roiyan.
"Yeah, ada apa memangnya? Apa ada sesuatu di kantor ketika aku pergi untuk mengerjakan proposalku? Aku juga butuh waktu yang sangat lama untuk mengerjakannya," kata Xun.
"Tidak ada, hanya saja kau tidak beruntung jika dibandingkan dengan Pei Lei. Dia menang banyak dengan Luna. Proposal mereka diterima dengan baik, bahkan jika dilihat, mereka sebentar lagi akan dipilih sebagai proposal terbaik... Padahal jika Luna ikut denganku, aku juga pastinya berada di posisi Pei Lei..."
"Hah, dari mana kau tahu proposal sudah dipilih?"
"Yeah, baru saja. Aku yakin Pei Lei dan Luna belum tahu akan hal ini..."
"Astaga... Aku bahkan tidak tahu bahwa Luna bisa bekerja sama dengan proposalnya. Cih... Pei Lei benar-benar licik. Dia bilang padaku bahwa proposal dikerjakan secara sendiri."
"Ya, itu memang benar. Proposal itu dikerjakan sendiri. Antara aku dan Pei Lei memang menawari Luna untuk ikut dengan siapa, dia pilih dua-duanya, tapi ujung-ujungnya, dia membantu Pei Lei sepenuhnya, sementara dia hanya membantuku 50 persen... Itu benar-benar curang," kata Roiyan dengan wajah kesal, membuat Xun ikut kesal.
"Sialan kau, Pei Lei... Sia-sia aku mengerjakan proposalnya sendiri..."