DINDA - S2
BAB 37. Rumah Lama.
Suara gemricik hujan menemani perasaan Dinda siang itu. Dinda berjalan tanpa arah menyelusuri trotoar di jalanan ibu kota. Jaket hoodienya mulai basah karena air hujan turun semakin deras. Dinda masih melamun, semua orang menatapnya. Banyak yang heran, kenapa gadis ini tak berteduh padahal hujan begitu deras.
Dinda menurunkan tudung jaketnya, kini rambutnya yang mulai memanjangpun menjadi basah. Dinginnya hujan menyentuh kulit kepalanya dan mengalir dengan deras turun membasahi tubuhnya. Dinda menyilangkan tangannya di dada dan mencengkraam kuat kedua lengannya.
Dinda melangkahkan kakinya sampai di depan sebuah rumah kosong di dekat SMA N 2. Dinda memandang sekilas pada rumah kosong itu. Gelap gulita, debu dan sarang laba-laba memenuhi langit-langit dan lantai. Catnya mengelupas, handle pintunya mulai berkarat. Dengan gemeratan karena rasa dingin Dinda memutar knop pintu. Membuka pintu rumah itu.
Bau apek dan lembab begitu terasa menggelitik hidung. Dinda mengacuhkannya. Ia masuk dan meraba-raba saklar lampu. Lampu berkedip-kedip sampai akhirnya menyala. Cahayanya tidak seterang dulu, namun cukup untuk menerangi pengelihatan Dinda.
Dinda membuka seluruh kain putih yang menutup setiap prabotannya. Debu menyembul keluar, membuat Dinda terbatuk-batuk ringan. Dinda melanjutkan langkah kakinya menuju ke dalam kamar. Pintunya tidak terkunci, bau apeknya sangat menyengat. Dinda masuk dan duduk di sebuah kursi di samping ranjang. Tangannya meraih bingkai foto di atas meja nakas.
"Dinda pulang Ayah, Ibu." Dinda memandang foto yang ada di dalam bingkai kayu itu, debu tebal menutup permukaannya dan Dinda menggosoknya dengan lengan jaket.
Air mata menetes jatuh di atas permukaan kaca bingkai foto itu. Dinda merasakan hatinya sangat kacau dan sangat sakit saat ini. Tidak ada lagi tempatnya pulang dan mengadu perasaan.
Dinda meletakan foto itu kembali ke tempatnya dan berjalan menaiki tangga ke lantai dua. Suara dencitan terdengar riuh menemani langkah kakinya. Satu per satu anak tangga terlewati sampai akhirnya Dinda sampai di ujung tangga. Hanya ada satu buah kamar di atas, dan itu adalah kamarnya.
Dinda masuk ke dalam, kamar itu masih rapi. Buku-bukunya semasa SMA pun masih tersusun dengan baik, hanya saja sudah menguning karena termakan usia. Debunyapun tak kalah tebal dengan bingkai foto tadi.
Dinda mendekati meja belajarnya, tak banyak yang bisa di bawanya saat dia pergi dulu. Hanya beberapa lembar pakaian dan uang seadaanya. Dinda duduk di kursi kayu yang mulai reot, ia menikmati kenangan masa lalunya saat masih tinggal di kamar ini. Belajar, mengerjakan pr, menulis diary, dan memikirkan Erza.
Iya, Dinda pernah memikirkan Erza di setiap saat sebelum tidur lelapnya. Memimpikan untuk menjadi seorang gadis normal yang mencintainya. Merasakan menjadi gadis biasa yang bisa berjalan dengannya tanpa ada rasa malu dan penyesalan.
"Gue cinta sama loe, Za. Tapi gue udah nggak tahan lagi." Dinda mengambil sebuah cutter di laci meja belajarnya.
"Rasanya sangat sakit."
•••DINDA•••
"Dinda??!"
"Dinda?! Elo di mana?" Erza memeriksa seluruh bagian apartemen, namun tetap tidak ada jawaban.
Erza mengambil ponselnya dan menghubungi ponsel Dinda.
Trriingg...
Dinda meninggalkan ponselnya di atas meja. Erza melirik dan menatap ponsel itu dengan sebal.
"Sialan!!" geram Erza.
Erza menghubungi Venny, namun Venny tidak tahu ke mana Dinda pergi.
"Elo kemana sih, Din??! Padahal di luar hujannya sangat deras." Erza duduk dan menjambak rambutnya.
Erza terus menduga-duga kemana Dinda pergi. Namun pikirannya buntu. Dinda tak memiliki saudara ataupun teman selain Venny. Dia juga tidak membawa ponsel dan juga dompetnya. Bajunya tidak ada yang kurang, sepatu dan tas nya masih tersimpan rapi di rak.
"Anjing!!" Erza mengumpat marah karena merasa mentok, dan juga sebal dengan dirinya sendiri.
Nggak ada gunanya juga Erza duduk dan melamunkan hal ini. Dia sadar kalau wawancara Sena kemarin pasti membuat Dinda sakit hati. Tapi Erza tak punya pilihan, dia tak bisa meninggalkan pekerjaannya begitu saja. Tak bisa mengabaikan proses syuting itu begitu saja.
Erza keluar menyelusuri jalanan dan berhenti di warung dan mini market di sekitar apartemen. Siapa tahu Dinda hanya mampir untuk membeli sesuatu. Namun tidak ada, Dinda tidak di sana.
"Pliss, Din. Elo di mana? Gue khawatir?!" Erza terus membelokkan setir mobilnya, kini mencari di beberapa blok lebih jauh.
Hujan turun semakin deras, jalanan menjadi sangat macet. Erza memukul stir mobilnya dan nekat keluar dari mobil. Hujan langsung membasahi pakaiannya, Erza tak peduli. Ia hanya peduli pada keberadaan Dinda saat ini. Hanya ingin menemukannya, memeluk dan mendekap kekasihnya.
"Ya ampun, tadi ada cewek hujan-hujan, sekarang cowok. Kejar-kejaran kaya film india aja." celoteh seorang pejalan kaki yang berteduh di halte bus.
Erza langsung menghentikan langkah kakinya. Ia mundur dan menghampiri wanita tua itu.
"Ibu lihat seorang cewek kaya gini nggak?" Erza menunjukkan foto Dinda pada wanita itu.
"Ehm...iya, kayaknya bener cewek tadi. Tadi dia juga hujan-hujan, pergi ke arah sana."
"Terima kasih, Bu." Erza tersenyum dan langsung berlari menuju arahan yang diberikan wanita itu.
Langkah Erza terasa berat karena bajunya sangat basah. Erza berbelok dan bertanya pada orang sekitar dan benar saja, jejak Dinda mulai ketemu. Semua jejaknya mengarah pada SMA N 2. Erza melihat-lihat ke dalam sekolahan, namun tidak ada sosok Dinda di sana.
"Ayo pikir Erza, kemana lagi Dinda akan pergi???!" pikir Erza.
"Ah.. bodohnya gue." Erza kembali berlari, nafasnya menderu dengan berat di tengah hujan deras.
BRAK!!
Erza tiba di rumah Dinda yang lama, ia melihat jejak kaki pada debu tebal di lantai bawah. Dengan segera Erza membuka pintu kamar Dinda.
"Apa yang loe lakuin Dinda?" Erza langsung menyahut pergelangan tangan Dinda sebelum Dinda sempat menggoreskan cutternya.
"Erza??!" Dinda kaget, bagaimana Erza bisa kemari dan menemukannya.
"Kenapa loe bawa cutter?? Elo mau bunuh diri? Elo mau ninggalin gue lagi??" Erza menggeram marah, cengkramannya semakin kuat sampai Dinda meringis dan menjatuhkan cutternya.
"Gue udah nggak tahan lagi, Za. Gue pengen pulang ke rumah, ketemu sama Ayah dan Ibu." Dinda menunduk dan menangis.
"Dengan cara ninggalin gue? Apa elo udah nggak sayang sama gue? Udah nggak cinta?" Erza menggoyangkan tubuh Dinda.
"Masih, Za. Masih... makanya hati gue sakit banget saat lihat elo di sampingnya." Dinda menahan rasa sakit di hatinya.
"Gue juga nggak mau, Din. Gue juga benci harus berpura-pura cinta sama cewek yang nggak gue cintai!! Tapi gue ngelakuin ini juga buat elo!! Buat kita!!" Erza memeluk Dinda, memeluk Erat tubuh mungil Dinda.
"Erza..maafin gue.."
"Elo jahat, Din. Elo jahat!!! Kenapa elo mau ninggalin gue?"
Dinda terperosok dan jatuh ke bawah, ia menangis dan menangis.
"Semua gara-gara gue, Za. Andai aja kita nggak pernah ketemu. Elo pasti bisa bahagia." Dinda menangis lebih histeris.
"Kenapa?? Kenapa elo nggak ngerti-ngerti sih, Din????" Erza ikut terperosot.
"Bagi gue bahagia itu ya sama Elo!! Elo itu berharga, mau masa lalu, mau saat ini, mau masa depan, kalau nggak ada elo ya gue nggak akan bahagia..!" Erza memeluk Dinda, menyalurkan kehangatan dan menghilangkan gemetaran di sekujur tubuh Dinda.
"Hiks..hiks..maafin gue, Za. Gue bodoh.. harusnya gue tahu, perasaan kita berdua aja cukup untuk menjalani semua ini." Dinda menangis.
"Iya Dinda. Perasaan kita berdua saja cukup." Erza ikut menangis.
"Jangan pernah pergi, Din. Jangan pernah!! Sedetikpun jangan!!" Erza mencium bibir Dinda yang membiru karena kedinginan.
"Iya, Erza. Iya."
"Kita pasti akan melalui semuanya dan hidup dengan bahagia." Erza menggendong Dinda menuruni rumah.
Dalam rintikan hujan yang mulai terang Erza berjalan dan menggendong Dinda di atas pundaknya. Kembali menuju apartemennya. Meninggalkan semua luka dan penyesalan, rasa sakit dan kekecewaan di rumah lama itu.
•••DINDA•••
Sena memandang ponselnya, sudah satu jam dan Erza tidak muncul di studio. Padahal hari ini adalah wawancara live terakhir mereka sebelum Sena launcing single baru. Kalau pencitraan ini gagal, dirinya tidak akan bisa menaikkan single terbarunya. Yang ada malah pergunjingan dan haters yang tertawa di atas penderitaannya.
"Sialan!! Cowok brengsek!" Sena mengumpat dan membanting skrip naskahnya.
"Sabar Sena. Mungkin dia terlambat, kena macet, kan hujannya deras." Managernya mencoba menenangkan Sena.
"Sudah hampir sejam!! Apa dia nggak tahu betapa pentingnya ini buat gue? Mentang-mentang ganteng dan terkenal dia seenaknya."
"Halah, elo juga sukakan sama dia?!" goda penata rias yang ikutan denger.
"Iya, gue juga naksir, tapi kalau masalah pekerjaan gue profesional kok." Sena tersenyum kecut.
"Nah tu yang di omongin nongol." bisik managernya.
"Kak Erza!!" Sena bangkit berdiri dan langsung memanggil nama Erza dengan lantang.
"Sena, maaf gue terlambat. Gue harus nganterin Dinda ke rumah sakit dulu karena demam." Erza tersenyum, semalam Dinda terkena flu karena hujan-hujan dengan Erza.
"Sialan cewek itu lagi!!" pikir Sena sebal.
"Nggak apa-apa, Kak. Ini skripnya." Sena melingkarkan tangannya menggandeng tangan Erza.
"Sena lepasin! Kita cuma pura-pura." Erza menarik tangannya.
"Ah.. Kakak, walaupun cuma acting harus menghayati donk. Hari inikan terakhir kita live. So jangan galak-galak donk sama Sena." pinta Sena manja.
"Oke, tapi pliss jangan kaya kemarin lagi. Elo jangan main asal cium aja." tolak Erza.
"Yah kakak.. padahal Sena seneng hlo bisa cium Kak Erza."
"Sebenernya, Sena juga mau kok nerusin hubungan ini. Sudah lama Sena naksir kak Erza." ucap Sena malu-malu.
"Sena?? Sory gue hormatin hubungan kita sebatas hubungan kerja aja. Ga ada yang lebih."
"Sena tahu kok, Kak. Kak Erza sudah punya kak Dinda. Tapi setidaknya boleh donk Sena naksir Kak Erza." Sena masih memandang Erza dengan penuh perasaan.
"...."
"Kasih Sena kesempatan untuk menyukai kak Erza ya.." Sena bergelayut manja di lengan Erza.
•••DINDA•••
Waduh..
Trus apa jawaban Erza?
Tetep aja dukung kisah cinta Erza dan Dinda .. trus pelakornya bagimana?
Like comment dan klik fav
Akacih
❤️❤️❤️