DINDA
BAB 10. Gue Pelacur, Za.
Seperti biasa Erza menjemput Baim di sekolahan, dia udah stan by dari tadi di atas motor hijaunya. Menerawang ke arah lain, mencoba menghindar pintu gerbang, siapa tahu matanya berpapasan dengan Dinda. Sudah satu minggu sejak kejadian itu. Baik Erza maupun Dinda tidak ada yang meminta maaf.
Dinda tampak acuh melewati Erza yang membelakanginya, Erzapun melakukan hal yang sama. Venny memandang lesu ke arah Dinda. Walaupun Dinda tak pernah menceritakan kisahnya dengan Erza, namun Venny sudah bisa menebak dengan apa yang sedang terjadi.
Venny berpamitan dengan Dinda di ujung jalan, namun bukannya berbelok dia malah berlari kembali ke sekolahan.
"Kak Erza bukan?" dengan ragu Venny memanggil Erza.
"Siapa?" Erza bingung, nggak ngerasa kenal.
"Namaku Venny.. Er..bisa bicara sebentar, Kak?" tanya Venny ragu-ragu.
"Bicara apa?"
"Tentang Dinda.. hmm.. gimana, ya? Gue sahabatnya Dinda dari kecil, Kak." Venny mencoba membuka pembicaraan.
"Gue nggak mau dengar apapun tentang Dinda. Gue nggak kenal Dinda."
"Eh.. Venny." tiba-tiba Baim datang menghampiri Erza dan menyapa Venny.
"Eh.. Kak Baim, hallo.. mau ngobrol sama Kak Erzanya." Venny tersipu malu melihat Baim.
"Mau ngobrolin apaan?" tanya Baim heran.
"Itu.. tentang Dinda, mungkin Kak Erza sudah tahu kalau Dinda itu....." Venny kehabisan kata.
"Cewek murahan." Erza menyambung kalimat Venny.
"Kok kasar gitu sih, Kak??! Dinda jadi kayak gitu juga bukan karena keinginannya.. Dia juga tersiksa tahu?!" Venny emosi.
"Maksud loe apa? Gue nggak ngerti?!" Erza menatap lekat wajah gadis itu.
"Ibu Dinda menderita kangker stadium 4, Kak, sudah menjalar sampai ke perut atas. Kakak tahukan kalau Dinda sudah nggak punya Ayah?!" Venny mulai menjelaskan keadaan Dinda saat ini.
"..."
"Cuma Ibunya satu-satunya keluarga yang dimiliki Dinda. Dia hanya berusaha mempertahankan Ibunya, Kak. Walaupun caranya memang salah." lanjut Venny.
"Gue ngelihat Dinda kembali ceria saat mengenal elo, Kak. Jadi please jangan bikin Dinda kembali murung." Venny mengakhiri ceritanya.
Erza kaget mendengar cerita Venny, selama ini dia sama sekali nggak pernah sedikitpun memikirkan perasaan Dinda. Amarahnya menutupi akal rasionalnya. Dinda pasti terluka mendengar ucapannya tempo hari. Tanpa pikir panjang Erza langsung memacu motornya mengejar Dinda.
"Oooiii.. wah sial.. kelihatannya gue mesti jalan kaki nih." Baim merapatkan sikunya di depan wajah.
"Mau bareng, Kak?" tanya Venny yang masih berdiri di samping Baim.
"Boleh."
•••DINDA•••
Erza menghentikan laju motornya dan membiarkan motor itu tergeletak begitu saja. Ditariknya tangan Dinda sebelum berjalan lebih jauh lagi.
"Apaan sih!!" Dinda melepaskan tarikan Erza.
"Gue mau bicara sama elo, Din." pinta Erza.
"Za, gue itu bukan cewek baik-baik. Gue itu pelacur, gue jual diri tiap malem!" tanpa malu Dinda mengakui semua kenyataan pahit tentang dirinya.
"..." Erza hanya diam, tetap memandang penuh arti pada Dinda.
"Jauhin gue, Za. Gue bukan cewek yang pantas buat elo." Dinda membalas tatapan Erza dengan mata sayunya.
"Elo masih marah gara-gara kejadian kemarenkan? Gue minta maaf, Din. Please maafin gue." Erza mencoba meminta maaf.
"Gue nggak punya hak buat marah sama elo, Za. Yang elo bilang kemaren semuanya bener, nggak ada yang salah. Jadi please jauhin gue." Dinda mendorong Erza dan lari menyebrang jalan.
Erza bangkit dan mencoba untuk mengejar Dinda, namun padatnya arus lalu lintas membuat Erza menghentikan niatnya. Erza hanya bisa melihat Dinda menaiki angkot dan pergi menjauh.
"SIAL!!"
•••DINDA•••
Lembaran cek dengan nominal angka yang cukup besar akhir-akhir ini banyak keluar dari rekening Satrio. Widya istrinya sedikit kaget saat mengecek rekening koran dari bank dan mencocokannya pada pembukuan perusahaan.
"Bagaimana mungkin cek 20 juta bisa keluar 3x tanpa sepengetahuanku?" pikirnya heran.
Tanpa menunda-nunda Widya menutup semua pembukuannya dan merapikan meja. Di sahutnya tas merah yang tergeletak di samping kursi. Secepat kilat dia berjalan menuju mobil dan menelfon suaminya.
"Hallo.. papa di mana?"
"Papa ada meeting dengan klien sebentar, Ma. Ada apa?" Satrio bergegas mengenakan kembali pakaiannya.
"Bisa kita bertemu sekarang, Pa?!" Widya tampak curiga dengan jawaban suaminya.
"Baik, temui papa di resto biasanya, ya. Papa akan segera ke sana." Satrio langsung menutup ponselnya.
"Maaf Dinda, Om nggak bisa ngaterin kamu. Jadi kamu naik taxi aja, ya." Satrio mencium kening Dinda. Dilemparkannya beberapa lembar uang ratusan ribu ke atas ranjang.
Dinda sama sekali tak menjawab pamitan dari Satrio. Tangannya sibuk mengumpulkan uang yang tersebar di atas ranjang. Air mata ikut menetes seiring kepergian Satrio.
"AAARGGG!!!!" Disapunya uang tadi dan bertebaran di lantai marmer yang dingin.
Dinda menangis sejadi-jadinya, tangannya terus mengacak-acak dan menjambak rambut hitamnya. Diremattnya erat selimut yang menutup tubuh indahnya. Hanya tangisannya yang terus menggema dan menjadi saksi akan semua dosa yang dilakukannya. Kesedihan, penderitaan, pengorbanan, rasa malu, rasa hina dan kotor bercampur menjadi satu di dalam benak Dinda saat ini.
"WAAAA....!!!"
•••DINDA•••
Terus dukung kisah cinta mereka ya gaes..
Klik like, comment, dan pencet fav❤️
Jangan lupa kasih dukungan buat author yang haus pujian ini..><
Wkwkwkwkwk
Selamat membaca ^^
❤️❤️❤️❤️
Bagi banyak cinta untuk banyak orang