webnovel

Bab 32

"Rindi,"

Panggilan itu membuat mereka berdua menengok ke arah belakang mereka dimana Daffa berdiri dengan tatapan sendu dan tajamnya.

"Oh Hay Daf, duduklah bergabung dengan kita." Percy mempersilahkannya untuk duduk di samping Rindi.

"Aku sepertinya sudah selesai makan," ucap Rindi hendak beranjak tetapi di tahan Daffa.

"Please, aku ingin berbicara denganmu."

"Tidak ada yang perlu di bicarakan lagi, Daf."

"Banyak yang perlu di bicarakan." Percy sedikit tak nyaman dalam kondisi seperti ini.

"Sebaiknya kalian berbicara berdua saja, gue balik duluan yah. Bye Rin,"

Percy beranjak dari duduknya dan berjalan melewati Rindi.

Deg

Percy mematung saat Rindi menahan pergelangan tangannya.

Satu tangan Daffa menahan tangan kanan Rindi dan tangan kiri Rindi menahan pergelangan tangan Percy.

Seketika situasi menjadi lebih menegangkan dan canggung.

"Antarkan aku pulang, Per." Rindi hendak beranjak tetapi di tahan Daffa.

"Aku tidak perduli dengan Mamaku, percayalah aku begitu mencintai kamu, Rindi. Sungguh,"

"Daffa, tolong pahamilah. Aku tidak ingin mengulangnya lagi, cukup satu kali aku merasakan rasa sakit itu." Rindi mengatakannya dengan sendu.

"Rindi, kalau kamu tidak percaya. Aku akan melamarmu sekarang juga dan menikahimu, dengan atau tanpa restu dari wanita itu!" ucapnya penuh penekanan.

"Maafkan aku, tetapi sebaiknya carilah wanita lain."

Deg

Daffa mematung di tempatnya, Rindi mulai menjauhi Daffa dan melepaskan pegangannya pada Percy yang mematung di tempatnya. Ia beranjak meninggalkan kedua pria itu yang masih mematung.

"Gue akan mencoba berbicara padanya," ucap Percy beranjak pergi mengikuti Rindi yang beranjak pergi menyusuri jalanan.

"Rindi tunggu, hey." Percy mengejar Rindi yang menjalankan rodanya dengan kecepatan tinggi, bahkan Percy harus sedikit berlari. "Rindi tunggu, kenapa kamu jadi marah padaku."

Percy berhasil menahan kursi roda Rindi, dan berjalan ke hadapannya. Rindi terlihat sudah menangis terisak dengan menunduk. Percy duduk rengkuh di hadapan Rindi.

"Aku mencintainya, hikzz..." Rindi langsung menjatuhkan tubuhnya ke pelukan Percy. "Aku mencintainya, sangat..hikzzz"

Percy terdiam membisu mendengar penuturan Rindi dan pelukan mendadaknya.

Perlahan kedua tangannya terangkat untuk mengusap kepala Rindi. "Menangislah," gumam Percy.

"Bawa aku pergi dari sini, aku tidak ingin dia melihatku menangis seperti ini. Aku mohon,"

"Baiklah," Rindi melepas pelukannya dan menghapus air matanya. "Kamu tunggu disini, aku bawa mobil dulu." Rindi hanya menganggukan kepalanya dan Percy berlalu pergi meninggalkannya sendiri.

Di parkiran cafe, Daffa melihat Percy membawa Rindi pergi. Hatinya merasa sangat sakit, tidak bisa di pungkiri kalau dia merasa sangat cemburu,

***

"Apa yang sebenarnya terjadi?" itu pertanyaan pertama yang meluncur dari bibir Percy saat mereka tengah berada di dalam mobil.

"Bisakah kamu membawaku jalan-jalan, memutar kemana saja asal jangan pulang sekarang. Kalau kamu mau sekalian mencari Rasya, aku ikut untuk hari ini saja."

Percy menatap Rindi yang menatap kosong keluar jendela mobil. "Baiklah,"

Tak ada yang membuka suara, Percy dan Rindi sama-sama terdiam membisu. Sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.

"Ibunya tidak menyetujui hubungan kami," ujar Rindi membuat Percy menoleh padanya. "Ini sangat konyol, tetapi hal ini kembali terjadi." Rindi terlihat terkekeh dengan mata yang berkaca-kaca seakan mengejek dirinya sendiri.

"Apa alasannya?" tanya Percy.

"Apalagi, aku tidak pantas bersanding dengan seorang aktor tampan dan terkenal seperti dia. Aku ini hanya wanita cacat yang bergantung hidup pada kursi roda dan juga obat dokter," ucapnya seakan mengejek dirinya sendiri. Air matanya luruh membasahi pipi.

"Kamu tidak bisa seperti itu, Daffa bilang akan memperjuangkanmu. Tadi kamu dengar sendiri bukan,"

"Aku lelah, aku sudah lelah mendengar kata memperjuangkan tetapi tidak ada hasilnya." Ucapan Rindi mampu menyindir Percy.

"Apa kamu menyindirku?' tanya Percy sedikit tak nyaman membuat Rindi menoleh padanya.

"Apa kamu merasa tersindir?" tanyanya,

"Sedikit," kekehnya.

"Aku hanya lelah, aku sudah mengalami hal ini, dan aku tidak ingin masuk lagi dalam lingkaran menyakitkan itu." Percy terdiam mendengarkan penuturan Rindi.

"Apalagi aku ini hanya wanita cacat yang hidupnya serba bergantung. Aku tidak ingin Daffa menghabiskan waktunya hanya untuk mengurusiku. Sebaiknya aku sadar diri dan mundur dengan perlahan."

"Aku sebenarnya tidak tau harus bicara apa, tetapi sebaiknya kamu memberinya kesempatan. Beban kalau di tanggung oleh dua orang akan lebih ringan daripada di tanggung sendiri." Ucapan Percy membuat Rindi terdiam.

"Aku tidak tau,"

Tak ada yang membuka suara, keduanya diam membisu.

***

Percy duduk di balkon apartementnya sambil meneguk botol berisi anggur.

'Kamu dimana sebenarnya Sya? Aku sangat mengkhawatirkanmu.'

Ia meneguk kembali anggur dalam botol itu. Setiap malam ia selalu meminum minuman keras tanpa memikirkan kondisinya yang semakin menurun.

Kondisi Percy sudah tak sesegar dan serapih biasanya, ia terlihat begitu kacau. Wajahnya pucat, ada lingkaran hitam di bawah matanya. Wajahnya sudah di penuhi bulu-bulu halus yang cukup lebat. Badannya sedikit kurusan karena tidak terurus.

Ini sudah satu bulannya dari kepergian Rasya, dan masih belum ada pencerahan sama sekali. Ia sudah sangat putus asa, tetapi ia tidak akan pernah berhenti sampai di sini. Ia akan terus mencari keberadaan Rasya. Dia akan terus mencari istri dan calon anaknya itu sampai ketemu.

Itulah janji seorang Percy Johnson.

***

Di kediaman Erlangga, ia sedang merawat istrinya yang semakin drop karena hilangnya putri kesayangan mereka dalam keadaan hamil.

Siang tadi para istri brotherhood berkunjung menengok keadaan Ratu yang semakin drop. Tetapi dia tidak ingin di rawat di rumah sakit dan meminta Angga untuk merawatnya di rumah saja.

"Sayang, sekarang makan buburnya dulu yah." Angga duduk di sisi ranjang dan menyimpan mangkuk bubur di nakas. Ia membantu Ratu untuk bangun dan bersandar ke kepala ranjang.

Angga mulai mengambil mangkuknya kembali dan menyodorkan sendok berisi bubur ke bibir istrinya itu. Ratu terlihat terbatuk-batuk saat memakannya dan Angga dengan telaten memberinya segelas air hangat.

"Bagaimana yah Rasya, apa dia makan dengan enak. Tinggal dimana mereka," gumam Ratu dan seketika air matanya kembali luruh membasahi pipinya.

Tidak ada seorang ibu manapun yang bisa tenang saat anaknya hilang tanpa kabar.

"Aku yakin Rasya baik-baik saja, dia bukan lagi gadis balita. Dia bukan Acha kecil kita yang banyak ngomong dan suka makan," ucap Angga.

"Dia begitu suka makan, sampai aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Bagaimana kalau dia kekurangan makan?" tanya Ratu,

"Kartu yang aku berikan pada Rasya, masih di tangan dia. Dan aku yakin dia tidak akan kekurangan apapun karena aku terus mengirimkan uang."

"Tapi bukankah dia belum melakukan transaksi apapun?" kali ini Angga hanya diam saja, apa yang di katakan oleh istrinya memang benar.

Ratu kembali menangis terisak, membuat Angga menjadi serba salah. "Sayang, kamu belum sehat. Kondisi kamu semakin menurun, kalau kamu seperti ini terus, kamu bisa di opname." Angga mengusap kepala Ratu dengan lembut.

Ratu adalah wanita yang begitu kuat dan tegar, wanita yang tidak pernah terlihat rapuh sedikitpun. Bahkan saat hamilpun, saat Angga terpaksa meninggalkannya karena pekerjaan yang mengharuskannya lebih lama di rumah sakit daripada menemani Istrinya. Tetapi Ratu tidak pernah mengeluh, ia selalu tabah dan tegar.

Itulah yang begitu Angga sukai dari seorang Ratu.

Tetapi saat melihatnya begitu rapuh seperti ini, sungguh Angga merasa dadanya begitu sesak dan terhimpit sesuatu yang begitu keras di dalam sana.

Rasya juga memiliki sifat itu, sifat yang di miliki oleh Ratu.

Angga menarik Ratu ke dalam dekapannya. "Aku sudah menyebar banyak anak buah untuk melacak keberadaan putri kita. Bahkan brotherhoodpun membantu mencari keberadaannya. Yakinlah Rasya dan bayinya baik-baik saja."

"Aku tidak bisa tenang sebelum mendapat kabar darinya," isaknya.

Tak lama pembantu rumah tangga masuk ke dalam membuat Angga melepaskan pelukannya. "Masuklah Bi," ucap Angga.

"Maaf Nyonya, Tuan, ada telpon untuk kalian," ucapnya menyerahkan telpon rumah berwarna hitam itu ke Angga.

"Terima kasih Bi," pembantu rumah tangga itu segera berlalu pergi meninggalkan kamar tuan besarnya.

"Hallo," mata Angga membelalak lebar. "Rasya,"

Ratu langsung menatap Angga dengan keterkejutannya. Angga segera menekan tombol di gagang telpon itu hingga terdengar suara Rasya.

"Hallo Papa,"

"Rasya sayang kamu dimana?" tanya Ratu yang sudah menangis.

"Mama,,"

"Kamu dimana?" tangis Ratu langsung pecah, Rasya juga terdengar menangis di sana.

"Mama, maafkan Rasya. Rasya terpaksa pergi tanpa mengabari kalian."

"Kamu dimana Nak? Bagaimana keadaan kamu? Papa jemput yah," ucap Angga bertubi-tubi.

"Maaf aku tidak bisa memberitahu kalian sekarang aku ada dimana, aku hanya ingin kalian tau kalau aku disini baik-baik saja. Bayiku juga sehat Ma, Pa. Kalian jangan terlalu mengkhawatirkan aku, aku bisa menjaga diriku sendiri."

"Tapi kamu tidak pernah hidup sendiri dan jauh dari kami, Sayang," isak Ratu.

"Rasya sudah dewasa sekarang, Rasya ingin hidup Rasya kembali. Rasya butuh sesuatu yang baru dan orang-orang yang baru. Rasya pastikan bisa menjaga diri Rasya juga bayi Rasya," isaknya terdengar memilukan.

"Kenapa kamu tidak kembali saja, Percy-"

"Tidak Papa, jangan katakan apapun. Aku tidak ingin mendengar namanya, aku menghubungi kalian karena aku tidak ingin membuat kalian khawatir."

"Rasya hanya ingin mengabari kalian kalau Rasya disini baik-baik saja. Jadi kalian tidak perlu khawatir lagi, Rasya akan pastikan keadaan Rasya dan calon bayi Rasya."

"Sayang dengarkan Papa dulu, sebaiknya kita bicarakan ini baik-baik. Kamu selesaikan masalah ini dengan Percy."

"Maaf Papa, Mama. Rasya harus pergi, jaga diri kalian. Sehat selalu yah, Rasya akan pulang nanti kalau keadaan Rasya sudah membaik. Selamat malam, Assalamu'alaikum."

Panggilan telponpun terputus sepihak, Angga dan Ratu hanya bisa saling pandang.

"Mungkin dia butuh waktu," ucap Angga yang di angguki Ratu.

"Setidaknya aku sudah tenang, karena dia baik-baik saja begitu juga bayinya." Angga mengangguk menyetujui ucapan Ratu.

Tetapi Angga tetap mengirimkan pesan ke Percy untuk datang ke rumahnya dan segera melacak keberadaan Rasya dimana. Angga tau Percy juga begitu terpukul dan membutuhkan Rasya, ini semua hanya kesalahpahaman.

***

Rindi baru saja kembali dari taman, ia hendak masuk ke dalam rumahnya tetapi di tahan oleh seseorang.

Rindi menghela nafasnya saat tau siapa pria yang menahannya itu.

Daffa...

"Aku mohon dengarkan aku dulu,"

"Apa kamu tidak lelah terus membuntutiku?" tanya Rindi yang kali ini merasa lelah menghindari Daffa seperti beberapa minggu sebelumnya. Daffa sungguh tidak pernah menyerah.

Daffa memegang setiap sisi kursi roda yang di duduki Rindi. Ia duduk rengkuh di hadapan Rindi.

Rindi menatap Daffa yang mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jaketnya. Tatapan Rindi menatap wajah Daffa yang jauh dari kata baik-baik saja. Bahkan bulu-bulu halus sudah tumbuh di rahangnya.

Lamunan Rindi tersadar saat Daffa menyentuh tangannya. Ia melihat apa yang hendak Daffa pasangkan di jari manisnya.

"Menikahlah denganku,"

Deg

Deg

Deg

Rindi menatap Daffa dengan mata yang berkaca-kaca, air matanya perlahan luruh membasahi pipinya. Dulu ia begitu menginginkan Percy mengatakan ini padanya. Dulu dia selalu memimpikan pernikahan yang sempurna.

Rindi masih diam saja saat Daffa memasangkan cincin itu di jari manis Rindi, ia mencium tangan Rindi dan menangkup wajah Rindi yang menangis.

"Aku mohon percayalah padaku, selama ini aku tidak pernah seserius ini pada seorang wanita selain padamu. Aku mencintaimu, Rindi. Sungguh,"

"Tapi Ibumu, dia tidak merestui kita. Aku tidak mau menambah masalah di antara kalian. Aku ini cacat, sudah cukup aku merepotkanmu," isak Rindi.

Daffa menyatukan kening mereka berdua. "Aku tidak perduli pada mereka, aku hanya perduli padamu dan hatiku. Aku mencintaimu, sangat Nona Jutek."

Rindi sedikit terkekeh di tengah isakannya karena panggilan itu. "Apa kamu yakin akan menikahi gadis lumpuh ini?"

Rindi menatap mata Daffa yang terlihat memerah seperti menangis. "Iya, kalau tidak untuk apa aku terus menunggumu di sini selama berminggu-minggu."

Rindi terkekeh karena merasa senang, "Apa kamu akan tetap menikahiku walau aku tidak menjawab lamaranmu."

"Aku tidak memintamu, tetapi aku memaksamu. Jadi aku tidak membutuhkan jawabannya." Keduanya terkekeh kecil,

"Dasar pemaksa."

"Aku mencintaimu, Rindi. Jadi menikahlah denganku," bisiknya membuat Rindi membeku disana. Daffa mencium bibir Rindi perlahan membuat Rindi memejamkan matanya menikmati ciuman lembut yang di berikan Daffa.

Ciuman yang tidak menuntut, ciuman itu begitu lembut dan penuh cinta membuat Rindi terbuai karena ciuman Daffa yang begitu intens.

Daffa melepaskan ciumannya dan mengecup kening Rindi. "Ayo kita bertemu kedua orangtuamu, aku akan melamarmu saat ini juga."

Rindi tersenyum melihat sikap Daffa yang begitu memperjuangkannya. Selama ini Rindi tidak buta, dia melihat dan mengetahui kalau Daffa selalu membuntutinya.

Bahkan setiap malam, Rindi masih melihat mobil Daffa terparkir tak jauh dari rumahnya. Bahkan pernah semalaman Rindi tak tidur dan hanya menatap jendela memperhatikan Daffa yang kadang duduk di depan mobilnya sambil menyulutkan rokok. Atau kadang berjalan mendekati rumah Rindi dengan pandangan ke kamar Rindi.

Rindi kadang bingung melihat Daffa yang tak pernah beranjak sedikitpun. Kemanapun Rindi pergi, pasti dia akan membuntutinya. Tetapi seminggu ini Rindi tidak keluar dan Daffapun tak beranjak meninggalkan tempatnya di sana.

Bahkan pernah sewaktu-waktu Rindi melihat Daffa menyapa Papanya Arseno dan Irene. Entah apa yang di katakan orangtuanya tetapi ekspresi Daffa terlihat murung sekali.

Rindi sudah berpikir matang-matang, mungkin sekarang saatnya ia berusaha percaya pada Daffa. Dia yakin kalau Daffa bisa membahagiakannya karena perjuangan Daffa yang membuat Rindi salut. Akhirnya ada pria yang memperjuangkannya tanpa lelah,,

Saat ini Daffa dan Rindi duduk berhadapan dengan Arseno dan Irene juga Randa. Keadaan mendadak canggung, tak ada yang mengeluarkan suaranya.

Arseno masih menatap Daffa dan Rindi bergantian.

"Apa kamu yakin akan menikahi putri kami?"

"Iya Om, saya sangat yakin sekali." Daffa menoleh ke sampingnya dimana Rindi berada. "saya begitu mencintai putri Om,"

Rindi semakin menunduk karena malu dan merasa salting. Rona merah jelas sekali tersirat di pipinya yang putih.

"Kamu tau kan keadaan Rindi?" tanya Seno kembali.

Daffa masih Rindi dengan lekat di sampingnya. "Iya Om, saya sangat paham. Dan saya tidak perduli akan hal itu, saya akan tetap menikahinya dan membantu dia untuk bisa berjalan kembali. Saya tidak akan membiarkan dia terluka sedikitpun, saya bisa pastikan itu."

Rindi menoleh ke arah Daffa hingga tatapan mereka bertemu dan terpaut satu sama lain seakan tengah mendalami mata masing-masing.

Arseno dan Irene saling pandang dengan senyuman mereka. Akhirnya putri mereka menemukan kebahagiaannya.

"Kalau begitu kapan acara pernikahannya." Ucapan Arseno membuat mereka tersadar dan memutuskan tatapan mereka.

"Saya ingin secepatnya,"

"Oke lusa saja,"

"Papa,," tegur Rindi.

"Ada apa Sweety? Bukankah lebih cepat lebih baik," goda Seno.

"Saya setuju Om," kekeh Daffa bersemangat.

"Tidak, aku tidak setuju." Ucap Rindi. "Setidaknya beri waktu satu bulan saja, Papa tau kan keadaan sedang tak mendukung. Verrel dan Leonna, lalu Rasya yang hilang. Setidaknya aku ingin mereka lebih baik dulu. Aku ingin berbagi kebahagiaan pada mereka," ucap Rindi.

"Aku setuju dengan Rindi, kita butuh menyiapkan segalanya. Dan kamu tau, Honey. Aku harus mengundang semua ibu ibu arisan, aku ingin pernikahan putriku meriah dan mewah." Ucap Irene begitu antusias, membuat mereka terkekeh.

Irene tetaplah Irene yang selalu heboh.

"Randa, apa loe akan melangsungkan pernikahan dulu dengan Samuel?" tanya Rindi.

"Tidak, kalian lebih dulu. Gue baru saja di kontrak untuk satu tahun ke depan, gue tidak bisa menikah dalam waktu dekat ini. Dan Samuel menyetujuinya, jadi kalian saja duluan. Dah loe Daf, berani nyakitin kembaran gue, hidup loe gak akan tenang." Ancam Randa yang membuat semuanya terkekeh.

"Dan gue bisa pastikan, ancaman loe itu tidak akan pernah terjadi," ucap Daffa membelai kepala Rindi dengan sayang.

Hingga suara televisi menghentikan kekehan mereka. Mereka memang sedang berada di ruang televisi dan televisi tengah menyala.

Di sana ada ibu Daffa yang menangis di depan camera. Ia menangis mengatakan kalau Daffa anak pembangkang, dan dia tidak mengakui ibunya karena sudah sukses.

Semuanya menatap Daffa yang hanya bisa menghela nafas, perempuan itu hanya bisa membuat Daffa semakin hancur dan tersakiti.

Daffa menoleh saat tangannya di genggam oleh tangan mungil yang begitu lembut. Ia menoleh ke sampingnya dimana Rindi menampilkan senyumannya yang terlihat tulus seakan menguatkan Daffa.

"Sepertinya saatnya aku pensiun dari dunia keartisan," kekehannya. "Om dan Tante tenang saja, saya memiliki usaha lain. Saya memiliki usaha bersama sahabat saya sebuah club malam di Jakarta dan juga usaha rumah makan di Makasar, kampung halaman mendiang Papaku. Tidak banyak yang tau, tetapi rumah makan itu sudah memiliki beberapa cabang di Makasar."

"Walau saya berhenti dari dunia keartisan ini, saya masih bisa menafkahi Rindi dengan usaha saya itu." Ucapnya dengan mantap.

"Kami tidak terlalu memikirkan itu Daffa," ucap Arseno. "Bukan kami ingin sombong, tetapi kebahagiaan putri kami yang utama. Uang bukanlah masalah bagi kami."

Daffa mengangguk paham, ia tau kalau Arseno seorang pengusaha sukses di Indonesia.

"Oh my God!" pekik Randa membuat semuanya menoleh.

"Ada apa?" tanya Irene.

"Sebentar lagi kalian akan di kejar banyak wartawan," kekeh Randa memperlihatkan handphonenya.

Di sana ada foto Daffa dan Rindi yang tengah berciuman di depan tadi. Foto itu di unggah beberapa menit lalu oleh salah satu berita keartisan.

Di bawah foto juga ada caption. 'Daffa Arya lebih memilih gadis ini dan membangkak Ibunya sendiri.'

"Sebaiknya kalian luruskan masalah ini," usul Arseno.

"Saya akan meminta manager saya untuk menyiapkan acara jumpa pers."

Setelah selesai berbincang-bincang, Rindi mengantar Daffa ke depan rumahnya.

"Pulanglah dan beristirahat jangan tidur di mobil lagi," ucapan Rindi membuat daffa mengernyitkan dahinya.

"Kamu tau?" Rindi mengangguk.

"Aku juga tidak tidur, aku terus memperhatikan kamu."

Daffa duduk rengkuh di hadapan Rindi, tangannya membelai pipi Rindi yang tirus dan menyampirkan rambutnya ke belakang telinga. "Aku akan pulang, kamu juga beristirahatlah. Besok aku akan menjemputmu untuk melakukan terapi."

Rindi mengangguk, "Aku pulang yah,"

Daffa mengecup bibir Rindi dan mengecup kepalanya. Ia mengusap kepala Rindi sekilas dan berlalu pergi meninggalkan Rindi yang masih duduk memperhatikan Daffa yang semakin menjauh.

Jodoh, Mati, dan Rezeki memang tidak mampu di tebak. Segalanya sudah ada yang mengaturnya.