Menolong orang adalah perbuatan yang sangat mulia, asal tidak dibarengi dengan sifat iseng. Karena kalau itu dilakukan bisa bikin repot orang sekampung. Tidak percaya? Inilah cerita sahabatku waktu kecil, Sandika. Selain bongol, Sandika juga terkenal suka iseng. Kalau orang jawa boleh dibilang Sandika itu orangnya jahil petakilan alias orang yang tidak bisa diam.
Siang itu diperempatan jalan, tempat kita biasa jalan-jalan, terjadi kecelakaan hebat. Dua sepeda motor saling berhadapan adu bagian depan. Dua orang meninggal ditempat dan dua lainnya luka berat. Kami semua serentak ikut menolong korban, dan sebagian lagi ikut membawa korban yang hidup ke rumah sakit Siloam Surabaya (saat ini RS. Itu sudah jadi sekolah menengah atas). Dua korban yang meninggal memang terkenal jago ngebut dan preman yang cukup disegani di daerah kami. Setelah jenazahnya dibawa ke rumah sakit, kami berempat Rusdiman, Muji dan Sandika lalu mencari tanah untuk menimbun bekas-bekas darah yang menggenang lumayan banyak itu. Nah, saat mencari tanah itu keisengan Sandika kambuh, "errr ayo kita minta jeruk peras ke bu mugi" katanya berbisik kepadaku "untuk apa, dik ?" "sudahlah, kamu tahu beres saja" "katanya dengan mimik lucu. Tanpa minta persetujuan dengan yang lain, Sandika lalu melangkah pergi menuju warungnya bu Mugi. Tidak sampai lima menit, Sandika sudah datang dengan satu buah jeruk peras yang cukup besar. Melihat Sandika membawa jeruk peras, rusdiman rupanya tanggap " dik ojo aneh-aneh lho…awas nek onok opo-opo aku ndak gelem tanggung jawab (awas kalau ada apa-apanya aku tidak ikut bertanggung jawab)" katanya sambil cepat-cepat menimbun darah itu dengan tanah.
Sandika hanya cengar-cengir, setelah dirasa aman karena bapak-bapak yang tadi ramai-ramai menolong kecelakaan sudah pada pergi, Sandika lalu mengucuri darah-darah itu dengan perasan jeruk nipis, "awassss rasakno kowe pekade..(awas rasakan kamu PKD) " katanya. Rupanya trauma perlakuan PKD terhadap Sandika tempo hari masih berbekas dihati Sandika. Ya waktu itu memang PKD dengan bengis mengusir kami dari lapangan bola, padahal kami sedang menyelenggarakan kompetisi sepak bola mini. Nampaknya, Sandika dendam dan ingin membalas sakit hatinya dengan jalan mengucuri darah alm. PKD dengan air jeruk nipis. Konon dengan cara itu, arwah korban akan mengalami kesakitan yang luar biasa. Setelah puas mengucuri sisa-sisa genangan darah PKD, Sandika lalu menimbuninya dengan pasir. Melihat apa yang dilakukannya, kami hanya bisa geleng-geleng kepala, tanpa pernah memikirkan bahwa ini akan menjadi awal terror bagi kampung kami.
Sorenya, setelah puas bermain bola. Kami berempat langsung menuju markas besar kami yakni, pos kamling yang ada diujung perempatan itu. Badan yang lelah membuat kami kehilangan nafsu untuk ngobrol ngalor ngidul. Kami lebih memilih merebahkan badan dan tidur-tiduran saja, untuk menunggu sholat berjamaah dimasjid. Setelah selesai sholat, kami memutuskan tidur di pos kamling itu. Rasa kantuk yang datang, sudah membuat kami lupa tentang tingkah laku iseng dari Sandika tadi siang. Sampai-sampai mas lutfi yang datang dan menawari nasi goreng tidak begitu kita sambut dengan antusias. Jadinya mas lutfi hanya pesan nasi goreng untuk dirinya dan pak hodo yang memang dapat tugas untuk kamling. Belum terasa lama kami tidur, ketika tiba-tiba Sandika membangunkan diriku "errr tangi-tangi, kae rungokno (er bangun-bangun, coba dengarkan)" katanya dengan mimik ketakutan. Dengan malas aku bangun, dan segera mau tidur lagi, namun Sandika terus menggoncang-goncangkan badanku. "yooo…yoooo onok opo sih dik (ya..ya aku bangun, ada apa sih)" kataku sambil membetulkan letak sarungku. Begitu aku bangun, yang lainpun ikut bangun termasuk mas lutfi dan pak hodo. Samar-samar terdengar suara lirih yang makin lama makin kecang.."aduhhhhhh aduhhhhhhhh perihhhhh, periiiiiihhhhhh mbok, tulongono akuuuuuu (aduh-aduhhhh perih bu, tolonglah aku)" suara menyayat itu terdengar timbul tenggelam, kadang sangat dekat kadang terasa sangat jauh. Kami berenam hanya bisa diam, sambil menajamkan telinga dan mata kami mencari sumber suara yang meyayat hati itu. Sandika yang terkenal pemberani dan suka iseng itu, langsung meloncat dan memilih duduk disebelah mas lutfi. "aduhhhhhh perihhhhhhhhhh, perihhhhhhh sopo sing kurang ajar ngeceri getihku yo...perihhhhh mbok, perihhhhhhh tulungono aku mbok(aduhhh perih, siapa yang kurang ajar memberi darahku dengan perasan air jeruk ya, aduhhh perihhhhh tolonglah aku bu)" terdengar lagi suara rintihan itu. Serentak pandangan kami tertuju kearah Sandika, "kapok kowe dik, saiki demite kardi diku (kapok kamu dik, arwahnya kardi (pkd) keluar) " kata rusdiman kesal. Belum sempat kami beranjak, tiba-tiba Sandika berteriak "kae….kae…..nong prapatan kae…(itu…itu persis diperempatan itu)" sambil tangannya menunjuk kearah tempat kejadian kecelakaan tadi siang. Serentak pandangan kami arahkan ke perempatan, "hiiiiii....onok pocongannnnnn, onokkkk pocongan (hiii hiiii ada pocongan) " kali ini giliran muji berteriak histeris sambil menunjuk kearah perempatan. Masya Allah…kami semua melihat sosok pocongan yang jalan terhuyung-huyung agak melayang kearah kami, bulu kuduk kami meremang dibarengi dengan keringat dingin yang mengucur deras. "tolonggggggg perihhhhh aduhhhhhh perihhhhhhhhhh" terdengar suaranya purau, belum sempat kami pergi, pocongan itu sudah berdiri persis dimuka kami berenam, wajahnya hancur tapi samar-samar kami tahu persis bahwa wajah itu adalah wajahnya PKD yang siang tadi meninggal diperempatan itu. "tolongggggg perihhhhhhhhhhh….perihhhhhhh, kurrrrrrrranggggg ajarrrrrrrrr sopo sing ngeceri jeruk (siapa yang telah mengucuri dengan air jeruk). Tanpa dikomando kami berenam langsung loncat dari pos kamling itu dan lari tunggang langgang dengan celana basahhh, terkencing-kencing, menuju ke rumah masing-masing. Sandika yang terkenal badungpun, larinya paling kencang sambil teriak-teriak "tolooooooong….tolonggggg ada poconggggg". Dengan sekencang-kencangnya kami berusaha lari, tapi kaki terasa sangat berat. Apalagi suara itu terus menerus terdengar menyayat hati persis kaya memakai earphone, nempel habis ditelinga, belum lagi aroma kembang kuburan, bercampur kapur barus dan juga kemenyan dan bau bangkai seperti menempel dihidung kami masing-masing. Malam itu, hampir semua dari kami tidak ada yang mampu finish dirumah masing-masing, kami pingsan dan membikin geger orang sekampung.
Selama hampir 40 hari, tiap malam kampung kami disatroni pocong korban kecelakaan itu, rumah demi rumah didatangi. Ada yang didatangi diteras rumahnya, ada yang dikamar mandi, ada pula yang dipergoki diujung jalan itu. Tak perduli rumah gedong atau semi permanen, semua dapat giliran. Warung bu mugi yang paling parah, sampai-sampai bu mugi ngungsi ke rumah familinya yang ada di patangpuluhan. Berbagai upaya telah dilakukan mulai dari mengundang paranormal sampai pengajian, namun terror pocong kesakitan itu tidak berkurang, bahkan makin menghebat. Sampai-sampai sebuah Koran lokal yang bertiras besar meliput kejadian itu lengkap dengan bumbu-bumbu penyedapnya. Jadinya, kampung kami tidak saja makin terkenal juga selama 4o hari penuh bagai kampung mati, tidak ada yang berani keluar dari rumah. Hampir semua warga lebih memilih tidur berimpit-impitan dan tidak ada yang berani tidur sendiri. Sementara pocong itu dengan seenaknya bisa muncul dimanapun, tanpa kulonuwun dulu. Anehnya setelah 40 hari, terror pocong itu hilang dengan sendirinya. Persis pepatah datang tak diundang pulang tak diantar.
tamat