webnovel

Dia (Kisah pelik, mengagumi dan mencintai secara diam-diam)

Alfan cowok super nakal di sekolah, terancam di DO oleh pihak sekolah. Hobbynya gonta-ganti cewek, dan membuat patah hati kaum hawa, hanya untuk menambah deretan nama koleksi mantan pacarnya. Sampai akhirnya Alfan mengenal satu cewek yang sama sekali tidak terpengaruh dengan gombalan Alfan sedikitpun, Alfan melakukan berbagai cara untuk menundukkan cewek yang satu ini. Kisah Alfan ini akan di bungkus dengan kisah masalalu Alfan yang kelam, dan membuat Alfan broken home. Apakah Alfan akan berhasil meraih cinta cewek ini...? Atau malah Alfan yang dibuat patah hati...?

33nk · แฟนตาซี
เรตติ้งไม่พอ
20 Chs

Playboy kacangan

Jarum jam berputar lambat, hingga bel pulang sekolah berteriak nyaring. Semua siswa berhamburan keluar kelas, Dito melangkah kebelakang menghampiri Disvi yang memasukkan buku-bukunya kedalam tas satu persatu.

"Kamu langsung pulang...? Dito titip Disvi ya, Dito ada pertemuan Osis", Dito memberi pengumuman kemudian langsung berlalu begitu saja.

Alfan merebahkan kepalanya diatas meja, kemudian menatap lekat wajah Disvi. Alfan mengulurkan tangannya kanannya, "Kita belum kenalan", Alfan memasang senyum terbaiknya.

Disvi dengan ragu menerima jabat tangan Alfan.

"Alfan Bagustian, biasa dipanggil Alfan sama fens-fens Alfan", Alfan nyengir kuda.

"Disvi Oktarina, biasa dipanggil Disvi", Disvi menjawab malas, berusaha menarik kembali jemari tangannya.

Alfan tetap menahan jemari tangan kanan Disvi, hingga Disvi menatap ke wajah Alfan bingung.

"Alfan panggil Vio saja, biar beda sama yang lain", Alfan melemparkan senyum terbaiknya kepada Disvi.

Disvi menarik paksa tangan kanannya. Kemudian memasang tasnya di punggungnya.

Alfan menarik paksa tas Disvi, kemudian menjinjing ringan tas Disvi.

"Balikin", Disvi bicara kesal.

"Saya antar pulang, sesuai amanah Dito", Alfan bicara penuh keyakinan.

"Saya bisa pulang sendiri", Disvi bicara tidak mau kalah.

"Lumayan kakak hemat ongkos ojek, bisa buat jajan", Alfan bicara asal, kemudian berlalu meninggalkan Disvi menuju arah parkiran.

Begitu Alfan sudah menghidupkan motornya, dan menjemput Disvi yang sudah menunggu di gerbang sekolah. Belum juga Disvi naik seorang perempuan mendaratkan tamparan ke pipi Alfan.

"Astagfirullah hal'azim", Disvi tersentak kaget.

Alfan menatap perempuan yang baru saja menampar pipinya.

"Jadi kamu duain aku sama Cita...?", perempuan itu berteriak kesal.

"Terus...? Masalahnya dimana...?", Alfan menjawab santai.

"G'ak punya hati kamu Fan, Cita itu teman akrab aku. Kamu tega giniin aku sama Cita. Mau kamu apa sih Fan...?", perempuan itu bicara kesal.

"Kita udahan aja yah", Alfan menjawab santai. Kemudian menatap ke wajah Disvi, "Naik", Alfan memberi perintah.

Disvi segera naik keatas motor Alfan, berlalu meninggalkan perempuan itu menangis di gerbang sekolah.

"Jahat kamu Fan", perempuan itu berteriak sekuat tenaga.

Alfan memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Alfan menghentikan motornya tepat di arena balap liar.

"Kok kesini...?", Disvi bertanya bingung, saat Alfan turun dari motornya.

"Lho... ada kamu...?", Alfan bicara santai, kemudian tertawa renyah menatap lekat wajah Disvi. "Saya ada balapan, habis ini langsung saya antar pulang, janji", Alfan mengacungkan dua jari tengahnya kehadapan Disvi.

"Ayo mulai, sudah ditunggu dari tadi juga", seorang lelaki bicara kesal.

Semua yang ada mulai menjauh dari arena balap, Alfan segera menuju garis star, balapan dimulai dengan sangat sengit. Pada putaran terakhir, Alfan berhasil meninggalkan lawannya cukup jauh. Teman-teman Alfan langsung memeluk Alfan.

Alfan menghampiri motor lawannya, kemudian mengulurkan tangan kanannya menagih hadiah kemenangannya. Lelaki itu mengeluarkan amplop coklat dari dalam jaketnya, menyerahkan ke tangan Alfan dengan kesal. Lagi-lagi dia kalah dengan Alfan.

"Terima kasih, lain kali hubungi saja", Alfan memberi kode telfon dengan tangan kanannya.

Alfan tersenyum penuh makna menghampiri teman-temannya, kemudian mengambil beberapa lembar uang seratus ribuan dari dalam amplop, memasukkan kedalam saku celananya. Alfan menyerahkan amplop coklat kesalah satu temannya.

"Atur saja sama anak-anak", Alfan bicara pelan, kemudian melalukan tos perpisahan dengan teman-temannya.

"Mau kemana lagi kamu Fan...?", lelaki itu bertanya bingung begitu melihat Alfan menaiki motornya lagi.

"Nganterin tuan putri pulang, sebelum ngamuk", Alfan nyeletuk asal.

Disvi memukul pelan pundak Alfan.

Alfan bukannya marah malah tertawa lepas melihat kekesalan Disvi.

Alfan segera menjalankan motornya perlahan, "Rumah Vio dimana...?", Alfan bertanya lembut.

"Panti asuhan", Disvi menjawab pelan.

Tidak ada suara lagi setelah itu, Alfan menghentikan motornya tepat di depan gerbang panti. Alfan menyerahkan tas Disvi begitu Disvi turun dari motor.

"Terima kasih, Tian", Disvi bicara pelan.

Alfan menarik kembali tas Disvi yang belum lepas dari tangannya, "Apa...?", Alfan bertanya lagi.

"Panggilan Alfan terlalu keras buat kamu, Tian lebih manis, biar bisa lebih sopan jadi cowok", Disvi melontarkan alasan sekenanya, kemudian menarik paksa tasnya, berlalu masuk kedalam panti.

Alfan tersenyum menatap punggung Disvi yang menghilang di balik daun pintu panti asuhan.

Keesokan harinya Alfan sengaja pergi ke sekolah pagi-pagi, diluar kebiasaan Alfan yang terkenal rajanya telat.

Begitu sampai di sekolah Alfan memilih untuk tidak masuk ke kelas, Alfan lebih tertarik melihat perempuan yang sedang asik main basket sendirian.

Alfan melempar asal tasnya diujung lapangan, kemudian berusaha merebut bola dari perempuan itu. Pertarungan sengit, hingga akhirnya Alfan berhasil memasukkan bola kedalam ring.

"Yes...!!!", Alfan berteriak puas.

"Alfan...!!!", seorang perempuan berteriak kesal menghampiri Alfan.

Perempuan yang menjadi lawan main basket Alfan memilih untuk duduk bersila di tengah lapangan basket, dalam diam di posisi menatap tontonan sinetron gratis yang ada di hadapannya.

"Kamu kemana saja sih...? Aku hubungi susah bener", perempuan itu bertanya kesal.

"Alfan sibuk, seleksi basket", Alfan menjawab asal. Tatapan Alfan tertuju pada perempuan yang muncul dari belokan gerbang sekolah, "Mati aku", Alfan bergumam pelan.

"Siapa yang mati...?", perempuan itu bertanya bingung.

"Ah... g'ak, udah siang. Kalau kamu tidak cepat-cepat ke sekolah, kamu bisa terlambat", Alfan melemparkan alasan sekenanya.

"Ya sudah, aku pergi dulu. Nanti malam ke rumah", perempuan itu bicara manja.

Perempuan itu segera berlalu pergi, selang beberapa detik kemudian perempuan yang tadi muncul dari belokan gerbang menghampiri Alfan.

"Siapa perempuan tadi...?", perempuan itu bertanya ketus.

"Oh... anak sebelah, mencari bola katanya masuk kesini, ternyata di kebun belakang", Alfan memberikan alasan asal.

"Tumben kamu datang pagi-pagi...?", perempuan itu kembali protes.

"Hahaha... Alfan ada seleksi basket pagi ini", Alfan tertawa renyah.

"Nanti tungguin aku pulang, sudah lama kita g'ak jalan bareng", perempuan itu bicara ketus.

"Siap", Alfan melemparkan senyum tipis.

Perempuan itu berlalu dari hadapan Alfan, menuju kelasnya yang cukup jauh dari posisi Alfan.

"Hah...", Alfan duduk di sebelah Disvi.

"Playboy kacangan", Disvi nyeletuk asal, Disvi segera berdiri bermaksud ingin meninggalkan Alfan.

Alfan segera meraih pergelangan tangan Disvi, hingga Disvi tertarik ke arah Alfan. Beruntung Disvi punya refleks yang cepat, sehingga Disvi meletakkan telapak tangan kirinya tepat di dada Alfan, menahan agar tubuhnya tidak memeluk Alfan.

"Vio ngomong apa...?", Alfan bicara semanis yang dia bisa, dengan senyum menggoda yang menghiasi bibirnya.

"Tian playboy kacangan", Disvi kembali mengulang ucapannya kata perkata penuh penekanan.

Alfan menatap lekat wajah Disvi, sorot matanya langsung menembus bola mata Disvi.

"Kalau g'ak mikir kamu pacarnya teman ku, sudah Alfan tembak kamu", Alfan bicara penuh makna.

Disvi segera mendorong tubuh Alfan, tidak siap dengan gerakan Disvi yang tiba-tiba, Alfan terbaring diatas lapangan.

"Resek", Disvi mengupat kesal, kemudian berlalu menjauh dari Alfan.

Alfan kembali duduk merangkul kedua kakinya, tersenyum penuh makna menatap punggung Disvi yang menghilang dibalik daun pintu kelas.

"Kenapa harus Dito, Vio...? Kenapa bukan aku saja...?", Alfan bicara lirih.

Tidak ada satupun yang tahu arti makna senyuman yang di buat oleh bibir Alfan.