Bau petrichor menusuk indra penciuman setiap nyawa yang berada di beranda kedai tempatnya berpijak. Tak sedikit pula dari mereka yang memesan kopi sekedar untuk menghangatkan tubuh daripada hanya berteduh dari langit yang sedang meraung pada bumi.
Sedangkan perempuan itu tangannya tak henti henti membidik setiap jengkal aspal yang kian membasah. Pias nya sudah ikut membasahi legamnya surai
"Hujan tidak turun hanya untuk membuat manusia di bumi terbaring sakit, hingga tak bisa melihat bumi mengering. Setidaknya cobalah americano nya juga"
Perempuan itu memilih geming sesaat, bahkan netra madu nya masih terpaku pada kamera jadul yang ia gunakan. Tak menghiraukan seonggok kertas yang telah di sodorkan dari pelakon lain di dekatnya.
Tuk...tuk...
Baru kemudian sang empu mendongak, melihat lawan bicara yang mengetuk meja di depannya, seolah bertanya 'ada apa?'
Kemudian bisu meliputi atma, seakan sinyal dari mata lawan bicara tak dapat terbaca. Akhirnya kembali laki-laki itu menyodorkan lembaran kertas di genggamannya.
Kening sang tokoh utama berkerut memahami tiap bait kata pada tinta hitam, ia berfikir sejenak laki-laki di depannya penyuka sajak. Ah, atau dia pegawai kedai ini yang meng-kode supaya ia membeli?
"Americano 8 shoot" sontak hitam jelaga pelakon lain membola. Buru buru tangannya mecari pena dan sebuah note kecil di kantong Hoodie
"Maaf, saya bukan pegawai kedai. Kata orang tak kenal maka tak sayang bukan, aku Nawasena" lagi, ia tak mengerti kenapa pemuda di depannya harus repot repot menulis note dari pada berbicara langsung
"Ah, maaf. Aku bisu dan tuli jadi harus pakai note" sontak rasa bersalah menyelimuti hati. Gistara mengangguk kaku, ia tak tau harus merespon seperti apa. Memang terlihat di telinga laki-laki ini terpasang semacam aerphone berwarna hijau, mungkin alat bantu dengar?
"Jadi mau pesan minum? Kalau tidak keberatan aku akan memesankan nya untuk mu" benar saja laki-laki bernama Nawasena itu masuk ke dalam kedai dan kembali dengan dua buah cup Americano kemudian ia menarik kursi kosong di hadapan gistara
"Kelihatan nya kamu seorang fotografer?" Sebuah kalimat yang Gistara baca di dalam hati dari Nawasena sebelum kepalanya mengangguk, ia menatap laki-laki di depannya
"Dan lo suka sajak?" Tanyanya kemudian
"Iya aku menyukai sajak, ingin mendengarnya?" Siapa orang di dunia ini yang tidak mengenal sajak? Bahasa indah yang memiliki sejuta makna, tentu saja Gistara mau mendengarnya. Baginya ini kesempatan langka
Nawasena cepat cepat menggoreskan tinta hitamnya pada selembar note yang ia sobek dari bukunya. Bibirnya tetap menyunggingkan senyum tipis yang menawan.
"Kata orang saat hujan datang bertamu kita hanya punya dua pilihan, bergelimang rindu atau mengenang sendu. Tapi bagiku tidak keduanya, aku tak perlu repot pada rindu dan sendu yang rumit. Cukup kamu ada di jangkauan mata, rindu dan sendu ku terjawab."
Pipi Gistara bak buah persik, tak ada yang tahu karena dingin yang tak kunjung usai atau sederet kalimat kuno yang menggentarkan hati. Ia cepat cepat menetralkan wajah lalu menatap ragu pada Nawasena
"Kalau gue foto lo boleh?" Ia berdecak kesal dalam hati merutuki kebodohannya. Kenapa malah berkata seperti itu? Rasanya ia ingin menangis dan tenggelam dari bumi
Nawasena tertawa tanpa suara, kemudian mengangguk
Tanpa waktu lama tangan kurus gistara langsung mengotak-atik Nikon D1 1999 di genggamannya, memfokuskan bidikan nya lalu memencet tombol 'shutter' . Di sana, Nawasena tersenyum menawan meski dengan background mendung yang tengah merundung bandung.
"Aku berteduh dari jumantara saat kelabu, dulu ku pikir akan sakit jika terkena rintiknya. Namun, aku bak menelan empedu sendiri, aku rela berdiri kokoh di bawah raungan biru pada bumi demi segaris senyuman manis dari bibirmu. Aku tak menyesal jika pias selalu membasahi tubuh asal aku ada di samping mu"
Kemudian Nawasena berlalu setelah meninggalkan beberapa baris sajak sebagai tanda perkenalan pada Gistara.