"Lau, ini laporan gue yang harus lo periksa. Supaya cepet dapet izin."
Laura meninggalkan komputernya dan berpaling pada sebuah berkas yang Jasmin berikan. Wanita itu membaca bait demi bait dengan teliti, tidak peduli seberapa lama waktu yang dibutuhkan.
"Semalem lo bawa pulang gue sendirian?" Jasmin kembali bersuara, kali ini membawa Laura keluar dari topik.
"Nggak. Semalem gue ketemu sama orang yang mau bantu kita. Kalau nggak ada dia, mungkin lo udah gue tinggal di kelab."
Jasmin dan Laura memang berada di satu tempat kerja yang sama. Keduanya menjadi karyawan di PT. Dewantara's Company. Di mana perusahaan tersebut bekerja di bidang makanan, berupa berat maupun ringan.
Laura menjabat sebagai Ketua Divisi Bidang Pemasaran. Di mana ia harus mengatur segala perizinan dan memeriksa keamanan serta rasa dari produk yang akan diolah, sebelum benar-benar dijual di pasaran.
Sedangkan Jasmin, wanita berusia dua puluh lima tahun itu bekerja sebagai Ketua Divisi Ahli Gizi. Keduanya saling berkesinambungan. Namun, Jasmin akan berada di dalam laboratorium sepanjang hari.
"Emang siapa, sih? Cowok?"
Laura mengangguk, sembari menyerahkan kembali berkas tersebut. "Gue tinggal nyicipin rasanya. Kalau soal gizi, gue yakin lo nggak akan bikin perusahaan ini bangkrut."
"Ya nggak bakal, lah," sahut Jasmin. Keduanya beranjak dari ruangan Laura dan bersiap untuk pergi ke ruang meeting. Hari ini, Presiden perusahaan mereka akan memperkenalkan Direktur baru, pengganti Direktur lama yang hampir melakukan korupsi.
"Gue cari makan di perusahaan ini, mana mungkin gue punya niat sejahat itu." Jasmin masih mengomel sepanjang langkah, mengabaikan Laura yang tengah mengecek ponsel pribadinya. "Lau, tunggu!"
Kedua kaki Laura terhenti di depan ruangan yang mereka tuju. Dia mengangkat wajah, "Apa?"
"Cowok yang nganter kita pulang ... lo inget orangnya? Siapa tahu bisa gue ajak kenalan."
"Gak. Gue lupa bentuk wajahnya kayak gimana. Nggak usah aneh-aneh lo. Ayo masuk, bentar lagi meetingnya mulai."
Jasmin mencebikkan bibir dan memasuki ruangan, mengikuti Laura dari belakang.
Ruang meeting telah dihadiri oleh beberapa orang dari divisi yang berbeda. Laura dan Jasmin duduk bersebelahan setelah menyapa para rekannya.
"Mbak Issabel, ini kapan mulainya, ya?"
"Aduh, Jasmin ... kamu baru aja duduk, lho, udah tanya kapan mulai."
Bibir Jasmin menggerutu. Dia segera memalingkan wajah, daripada harus beradu mulut dengan Issabel. Asisten Keuangan yang culasnya minta ampun.
"Lau, lo tau kenapa Pak Dewan nerima Mbak Issabel jadi Asisten Keuangan?"
"Kenapa?" tanya Laura, penasaran.
"Karena sikapnya judes, kayak tetangga gue. Mungkin supaya nggak ada yang berani sama tuh perawan tua. Pantes aja Direktur kita yang lama kabur sebelum dapet apa-apa."
Laura memukul paha Jasmin cukup keras. Mulut temannya itu memang perlu diberi makan bangku sekolah. "Kalau ngomong jangan sembarangan!" tegurnya. "Gimana kalau Mbak Issabel denger?"
"Bodo amat."
Suara pintu membuat para peserta meeting mengangkat wajah. Mereka semua berdiri, menyambut kedatangan Presiden dan seorang pria yang mungkin akan dikenalkan sebagai Direktur baru.
Semua orang terpana oleh ketampanan pria itu. Termasuk Jasmin.
"Selamat siang, semuanya."
"Selamat siang, Pak," balas seluruh karyawan.
"Baik. Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, hari ini saya dan pihak perusahaan akan memperkenalkan Direktur baru yang akan memimpin perusahaan ini. Langsung saja, namanya Edgar Sebastian. Dia ini lulusan dari Universitan terkenal dengan nilai sempurna dan mengambil jurusan Manajemen Bisnis. Silakan, Edgar."
Pria bernama Edgar itu mengangguk dan melangkah maju. Dia mulai memperkenalkan diri secara pribadi dengan gaya bahasa yang formal.
"Lau, Pak Edgar cakep banget, ya. Mukanya berkharisma gitu, lho. Kira-kira dia udah punya istri belum, ya?"
Laura mengabaikan ocehan Jasmin. Wajahnya tetap menatap lurus ke depan, menghargai pria yang saat ini tengah berbicara.
"Saya harap, kita dapat bekerja sama dengan baik." Edgar mengakhiri perkenalannya. Pria itu mengedarkan pandang, menatap satu per satu para karyawan yang hadir.
Namun, tatapannya langsung terhenti, tatkala melihat seorang wanita yang membuat dahinya mengerut.
'Dia siapa? Kok wajahnya kayak nggak asing?' batin Edgar.
"Baik, Edgar. Sekarang meetingnya bisa kita mulai. Semuanya silakan duduk."
Edgar duduk tidak jauh dari Dewantara tentu saja. Sejak acara dimulai dan dia melihat wanita itu, sepanjang materi yang disampaikan Edgar tidak melepas pandangannya.
Pria berusia dua puluh tujuh tahun itu mencoba terus mengingat. Siapa wanita yang mencuri perhatiannya di hari pertama bekerja itu? Apa mereka pernah bertemu sebelumnya?
"Laura, bagaimana dengan produk yang akan dipasarkan minggu depan?"
Laura mengangguk sangat pelan, sebagai tanda penghormatan. "Produk yang akan segera kami pasarkan adalah nasi goreng instan. Mungkin sangat aneh dan terdengar asing untuk masyarakat di sini. Namun, masih banyak para Karyawan, Mahasiswa bahkan siswa-siswa SMA yang tidak sempat sarapan pagi di rumah." Laura menjeda sejenak. "Maka dari itu, kami berpikir untuk membuat makanan yang bisa memberi sedikit bantuan kepada mereka. Dan nantinya, nasi goreng instan ini akan di jual di minimarket 24 jam dekat sekolah, atau perusahaan dan kampus."
'Laura? Kayaknya nama itu nggak asing di telinga gue.'
"Pak Edgar, bagaimana menurut anda?"
Edgar mengerjap dan berdeham pelan. "Sebenarnya saya masih bingung dengan konsep nasi goreng instan ini. Apa anda yakin, kalau produk kita bisa terjual di luaran sana? Sedangkan seperti yang kita tahu, nasi goreng adalah salah satu makanan khas yang bisa dibuat kapan saja di rumah."
"Izin menjawab, Pak,"
"Silakan." Edgar memfokuskan tatapan serta pikirannya pada Laura. Sambil mendengarkan, Edgar juga berpikir keras tentang siapa wanita itu.
Kemudian tatapannya beralih pada wanita di samping Laura. Saat itu juga, pikirannya terbuka dan ingat siapa Laura.
'Mereka cewek yang ada di kelab kemarin malam,' ucapnya membatin.
"Oke. Gimana kalau setelah ini saya ikut kalian ke lab?"
"Oh, tentu saja boleh, Pak. Makanan dari perusahaan kami memang harus keluar dengan gizi yang baik."
Diam-diam Edgar merasa kagum dengan kecerdasan dan penguasaan komunikasi Laura.
Wanita itu sangat pintar berbicara. Meski begitu, tata bahasa yang digunakan pun sangat baik, sopan, tanpa menyakiti lawan bicara sedikitpun.
"Baik kalau begitu, meeting hari ini kita akhiri saja. Saya dan Pak Edgar akan berkeliling perusahaan. Meeting ditutup."
"Terima kasih, Pak." Seluruh anggota rapat langsung beranjak membubarkan diri, begitupun dengan Laura dan Jasmin. Mereka kembali memasuki ruangan Laura, dan bersiap menyambut Direktur bari di laboratorium.
"Menurut gue, ya, itu Direktur baru kayaknya bakal lebih ketat deh, Lau. Gue kok malah punya feeling ngga enak, ya."
Laura melepas blazzer hijaunya dan menyampirkannya di punggung kursi. "Tadi lo bilang dia ganteng. Sekarang malah suudzon. Mau lo apa sih, Jas?"
"Mau gue? Mau gue, ya ... Pak Edgar bisa bersikap baik sama kita. Awas aja kalau dia ngacak-ngacak tempat kerja gue."
Teman baik Jasmin itu hanya tertawa dan berjalan keluar. "Sebelum diacak-acak, mending kita siapin dulu semuanya. Ayo."
Di saat kedua wanita itu pergi, tanpa mereka sadari bahwa Edgar tengah memperhatikan Laura. Pria yang sedang berdiri di depan pintu ruangan Dewantara itu tersenyum, dengan posisi kedua tangan terlipat di depan dada.
"Cantik," gumamnya.