webnovel

#15 Tentang Kayisa

Mataku masih terus mencari, yang mana dari deretan nama yang tercantum di layar laptopku yang merupakan akun milik Kayisa Nur Aini, perempuan yang digadang-gadang akan dijodohkan dengan Kang Sugi.

Kayisa memang masih satu desa dengan kami, aku pun sudah tahu seperti apa oranganya, namun sudah lama sekali kami tidak berinteraksi. Kabarnya, dia sekarang bekerja di kota besar sebagai karyawan sebuah perusahaan besar. Terakhir bertemu dengannya, aku sudah lupa, tapi yang ada dalam ingatanku, dia perempuan yang sangat cantik, dan kecantikannya tidak jauh-jauh dari Sri Rahayu.

Sebenarnya pagi ini, teman-temanku mengajak bertemu untuk membelikan kado Ayuk. Ya, kami memutuskan untuk iuran membelikan Ayuk kado, itu lebih pantas karena pastinya barang yang bisa kami beli dari iuran itu lebih mahal tentunya. Tapi, aku sengaja mencari alasan untuk tidak ikut, aku masih kepikiran dan penasaran dengan Kayisa. Misiku pagi ini, mencari tahu seperti apa Kayisa itu.

Kayisa adalah anak dari saudara jauh kami. Aku tidak tahu pasti asal usulnya, hanya saja aku memanggil ayahnya dengan panggilan Pak Dhe. Meskipun begitu, hanya kedua orangtuanya yang akrab dengan keluarga kami, Kayisa dan saudaranya yang lain tidak.

Setelah hampir setengah jam, mencari nama-nama Kayisa di seluruh dunia ini, akhirnya aku menemukan Kayis yang kumaksud. Dia tidak memiliki akun Facebook atau Twitter, sepertinya dia hanya bermain Instagram.

Aku kaget ternyata follower gadis itu lumayan banyak, sampai menyentuh angka belasan ribu. Di laman profil juga ditautkan akun perusahaan dimana ia bekerja. Dan setelah aku lihat, memang itu sebuah perusahaan bonafit.

Meskipun dalam ingatanku gadis itu tergambar sangat cantik, namun aku tidak menyangka, dia lebih cantik lagi di foto yang ia posting di media sosial. Sekelas lah dengan Ayuk. Tapi kemudian aku berpikir, apakah dia mau dengan Kang Sugi? Apalagi dengan masa lalu trauma Kang Sugi tentang percintaan yang belum selesai.

Aku semakin penasaran, apakah benar gadis secantik Kayisa dan tinggal di kota besar belum mempunyai pacar? Padahal menurutku, mudah saja ia mencari pasangan yang berduit secara parasnya yang digemari banyak laki-laki. Namun setelah kugulir sampai jauh ke bawah, di laman media sosial Kayisa memang tidak ada tanda-tanda itu. Ia cenderung mengunggah fotonya seorang diri, atau dengan teman perempuannya.

Aku masih tidak percaya dengan berita perjodohan itu, apakah itu hanya bulan Mamak sebagai penghibur diri atau memang demikian adanya. Kayisa juga nyaris sempurna, seperti halnya Sri Rahayu. Kecantikannya pasti diakui siapapun, dia sekolah tinggi, dia sekarang bekerja di perusahaan-perusahaan besar yang tentunya gajinya menyentuh dia digit. Masa iya, dia akan mau dengan Kang Sugi? Jangan sampai Kang Sugi menanggung sakitnya penolakan dua kali, batinku.

Karena terus kepikiran, aku pun keluar kamar mencari ibu. Memastikan apa yang terdengar oleh telingaku kemarin. Seperti biasa, pagi-pagi begini ibu pasti masih di dapur. Meskipun semua sudah makan, ibu akan masak yang lain, cemilan misalnya.

"Bu.." kataku hati-hati. Kulihat ibuku sedang membuat kerupuk Matari. Mata beliau tak beralih dari adonan dan wajan.

"Hmmm…" beliau pun hanya berdehem, masih tanpa menoleh.

"Ibu benar nggak, Kang Sugi mau dijodohkan?" Kataku masih dengan hati-hati, Ibu langsung menoleh.

"Tahu darimana?" Tanya ibu tajam.

"Nggak sengaja dengar percakapan ibu dengan Bapak kemarin. Jadi benar, Kakang akan dijodohkan dengan Kayisa?

Ibu kembali fokus pada adonan dan wajan di hadapan beliau, tak menggubris perkataanku. Sepertinya beliau memang tidak ingin mengatakan ini padaku. Tapi aku masih terus diam di samping beliau, menunggu jawaban.

"Bu…" panggilku lagi, ibu menoleh malas.

"Menurut cerita Mamakmu memang demikian. Tapi ini masih rencana yang sudah dibicarakan antara Mamakmu dengan Bapaknya Kayis. Tapi ibu tidak setuju karena keluarga Kayis itu matre, mereka pasti hanya mengincar tanahnya Sugi yang berhektar itu, apalagi Sugi anak tunggal." Jawab Ibu. Lalu kami sama-sama terdiam. Ya, bisa jadi memang alternatif lain seperti itu. Tapi jika memang niat mereka buruk seperti itu, akan kasihan Kang Sugi.

"Kasihan Mamak dan Kang Sugi jika seperti itu." Kataku menanggapi, sambil mencomot kerupuk Matari yang sudah matang dan tidak panas, tidak lupa aku mencari yang tampilannya agak gosong, favoritku. Ibu mengangguk.

"Maka dari itu, Bapak dan Ibu bingung. Apalagi Mamak itu saat ini hatinya sedang buta. Dia hanya pengen Kang Sugi segera dan mau menikah, siapapun dan seperti apapun gadis itu. Ya, tentunya Mamakmu memang sudah pilih-pilih yang terbaik untuk dijodohkan anak semata wayangnya itu. Karena Sugi kan seleranya tinggi.

Tapi kamu jangan bicara dengan siapapun dulu tentang ini. Ini masih rahasia, bahkan Kakangmu pun belum tahu. Karena pengennya Mamakmu merencanakan semua ini agar kesannya alami, bukan perjodohan."

"Tapi Ibu sudah pernah memperingatkan Mamak tentang perkiraan niat buruk itu?" Tanyaku, ibu mengangguk. "Lalu?" Tanyaku lagi.

"Dia malah marah-marah dan menuduh Ibu buruk sangka. Ya memang, ibu tidak punya bukti, hanya kata hati saja yang kurang sreg dengen keluarga itu." Ibu menghela nafas dengan kasar, seperti lelah dengan apa yang kami bicarakan.

Mamak Mun memang terkenal kolot dan keras kepala, jika punya kemauan sukar sekali dinego. Ini yang sepertinya menurun pada Kang Sugi. Namun celakanya, jika kemauannya itu buruk, ia tetap sudah menerima masukan orang lain.

"Yang penting ibu sudah mengingatkan, gugur sudah kewajiban ibu sebagai saudara."

"Ya, ibu tetap tidak rela saudara ibu celaka."

"Kita doakan saja semoga itu benar hanya dugaan kita saja, Bu." Ibu mengangguk mendengar perkataanku. Kami lalu terdiam selama beberapa saat, aku sibuk mengunyah kerupuk Matari.

"Bu, Nanti Dhila mau keluar." Kataku santai.

"Kemana?" Jawab ibu tidak kalah santai.

"Undangan syukuran ulang tahun Ayuk."

"Ayuk? Sri Rahayu?" Ibu menyahut dengan cepat, beliau keheranan mendengar aku menyebut nama itu. Karena setahu ibu, aku memang tidak dekat dengannya. Aku segera mengangguk.

"Tumben sekali kau diundang? Apa karena dia ingin manas-manasi keluarga kita ini?" Kata ibu terdengar tidak suka. Ibu memang cenderung sentimentil dengan sesuatu yang menyenggol keluarganya. Bagi ibuku, Ayuk adalah penyebab kedukaan yang terjadi pada keluarga Mamak.

"Tidak, Bu. Kami baru saja bertemu, mungkin itu alasan Ayuk mengundangku."

"Bertemu dimana?"

"Di bank, tidak sengaja. Lagi pula, Ayuk itu orangnya baik, Bu."

"Oooh, ya sudah."

"Dhila pergi kesana ya, Bu."

"Terserah kau saja."

Aku berbalik ke kamar untuk merapikan laptop lalu bersiap-siap tidur siang. Akhir pekan adalah jadwal istirahat bagiku. Apalagi undangan ke rumah Ayuk masih selepas ashar nanti. Nanti Fathia temanku, aku menjemputku pukul tiga sore. Jadi aku masih punya cukup banyak waktu.