webnovel

Yang Terlupakan

Tentu saja aku tidak berakhir di surga. Aku belum pernah melakukan kegiatan kemanusiaan yang mulia atau mengikuti organisasi kemasyarakatan. Bergaul bukan keahlianku. Aku juga bukannya orang yang taat. Malahan, aku pasti masuk neraka karena mengakhiri hidupku sendiri.

Siksaan alam baka pertamaku adalah suhu sedingin Rockside Bay yang diterjang badai Pasifik. Bahkan lebih dingin dari itu. Aku belum pernah ke kutub bumi, jadi tidak ingin mengada-ada. Akan tetapi, rahangku sepertinya membeku karena aku bahkan tidak bisa menggigil.

"Ally? Sialan," kudengar suara berat yang terasa asing memanggil namaku. Yang jelas itu bukan ayahku atau Jimmy Choi–satu dari sedikit orang yang bisa kusebut teman karena kami sama-sama dianggap pecundang di sekolah, namun kami bukannya sedekat itu. "Bangunlah!" suara memanggilku dengan lebih keras."Brengsek! Ayolah, kumohon."

Jadi neraka sama saja seperti dunia tempatku tinggal. Orang-orang di sini sama kasarnya, memohon sambil mengumpat. Aku membuka untuk melihat utusan neraka macam apa yang menghukumku. Tak kusangka sang utusan mengambil bentuk menyerupai Zach Archer–cowok paling populer di angkatanku sekaligus teman lamaku, yang tentu saja, sudah melupakanku karena aku tidak populer.

Aku tidak yakin bagaimana utusan neraka seharusnya mengambil bentuk, tapi Zach memang mimpi buruk bagiku. Mengingatkanku bahwa teman bukan sesuatu yang bisa kau andalkan selamanya. Siapapun bisa berpaling, berubah dan berkhianat demi hal-hal duniawi seperti popularitas, kekayaan dan keuntungan lainnya.

Namun, sialnya, aku tidak bisa menyangkal bahwa utusan neraka ini luar biasa tampan. Persis seperti Zach. Tubuhnya tegap dan jangkung, mata cokelat gelap yang dalam, rambutnya gelap acak-acakan, rahang yang kuat dan aroma yang maskulin. Ia bahkan berpakaian serampangan seperti Zach yang kulihat di sekolah.

"Terima kasih, Tuhan!" Zach tiba-tiba memelukku. Sangat erat hingga udara di sekitarku menyusut, namun aku tidak keberatan. Kehangatan menjalariku dan aku merasa lebih baik. Sekarang aku tidak yakin apakah aku benar-benar di neraka.

"Zach?" Aku mencoba memanggil namun bunyi cicitan lirih lah yang keluar.

"Apa kau baik-baik saja?" Zach melepaskan pelukan, menangkup wajahku dengan kedua tangannya yang besar. Pipiku menghangat karena suhu tubuh lelaki itu.

"Apa aku mati?" bisikku. Aku berdeham membersihkan tenggorokanku yang kering. Lalu kuulangi. "Aku ingat aku mati."

"Sialan, Al. Jangan menakut-nakutiku. Aku tadi berpikir–" Zach menghentikan kalimatnya dan menggeleng untuk mengganti pernyataannya. "Aku pikir sesuatu terjadi padamu. Jangan lakukan itu lagi."

Aku tidak bisa berpikir jernih. Rasanya aku seperti selesai lari maraton di musim panas dan tidak dibekali air. Aku sangat haus. Aku tidak pernah merasakan haus separah ini seumur hidupku. "Aku minta air. Kalau boleh."

"Kau akan menggigil. Akan kubuatkan teh," katanya sambil membantuku berdiri. "Sialan. Apa sih yang kau pikirkan?"

"Aku hanya butuh air. Sungguh." Yang kupikirkan hanyalah segalon air. Meskipun tubuhku terasa beku, namun bukan teh atau cokelat panas lezat yang ada di pikiranku.

Aku mengamati sekitarku. Tempat itu asing sekaligus familiar, ini rumah Zach. Aku bahkan masih bisa mencium aroma laut hingga membuatku bergidik, mengingatkanku dengan kematian yang kualami kira-kira satu jam yang lalu. Aku benar-benar mengingat sensasi laut dalam yang mematikan dan kegelapan pekat yang menyambutku setelahnya seolah tak ada lagi esensi kehidupan yang tersisa dariku.

Masuk ke dalam rumah Zach masih terasa sama namun lebih sempit daripada yang kuingat saat kecil. Dulu kami bisa berlarian, sekarang dengan langkah kaki kami jarak tiap ruang kurang dari sepuluh kaki sehingga aku nyaris tidak mengenali tempat ini.

Zach melilitkan selimut ke tubuhku, menyodorkan segelas air padaku, juga mengambil cangkir teh di lemari dapurnya. Tipikal Zach yang keras kepala, akan membuat teh ketika ia bermaksud untuk membuatnya meski aku menolak. Tanganku gemetar saat menerima air, namun aku menghabiskannya dalam sekali tenggak. Merasa telah dipenuhi energi, aku pun mengambil air lagi dari keran.

"Kau sehaus itu?" sahut Zach. "Aku bahkan masih menyeduh."

Tanpa kusadari aku telah menenggak empat gelas air. Demi mempertahankan rasa malu, aku pun berhenti. Aku masih agak haus, namun merasa lebih baik. "Terima kasih untuk airnya. Aku permisi."

"Ally!" Zach menarikku sebelum aku sempat mengambil langkah. "Ini hampir pukul sepuluh. Rumahmu jaraknya dua kilo dari sini, demi Tuhan! Kau kedinginan dan di luar berbahaya."

Aku melihat jam di meja dapur Zach. Benar saja, pukul sepuluh. Aku mengingat matahari terbenam yang mengikutiku menarikku ke lautan. Apa aku tenggelam selama 4 jam. Yang sepertinya mustahil karena aku sudah beberapa meter jauhnya dari permukaan air, pasti juga sudah bermil-mil jauhnya dari bibir pantai. Aku tidak bisa berenang dan tidak ada yang menyadari kepergianku untuk sempat menyelamatkanku. Yang benar saja, aku memilih Samudra Pasifik karena suatu alasan. Aku bisa lebih cepat dimakan hiu, atau mati kedinginan. Kalau pun aku diselamatkan, aku sudah berakhir di UGD, bukannya berada di dapur rumah Zach.

"Bagaimana tepatnya aku ke rumahmu?" tanyaku pada Zach.

Zach terlihat terkejut dengan pertanyaan itu. "Ally, kau lah yang menggedor rumahku tanpa ampun. Padahal kau bisa membunyikan bel, aku pasti bisa mendengarmu dari lantai atas. Kupikir kau ingin menghancurkan pintu rumahku."

Mulutku terbuka dan menutup beberapa kali, tidak yakin harus mengatakan apa. "Baiklah." Akhirnya hanya itu yang keluar dari mulutku. Aku tidak mengingat itu. Aku tidak pernah lagi ke rumah Zach sejak kelas 6.

"Aku panik karena tidak yakin siapa yang datang sekasar itu, tapi kau sudah tergeletak di terasku," lanjut Zach. "Aku tidak pernah memegang tubuh seseorang sedingin itu. Kau membeku dan aku tidak bisa merasakan denyut nadimu, kupikir sesuatu terjadi. Aku berusaha beberapa kali menghubungi layanan darurat, tapi gagal. Saat itulah kau siuman."

"Yah …" Aku tidak yakin apa yang bisa kukatakan. "Terima kasih."

"Kau baik-baik saja? Apa sesuatu terjadi padamu? Kau dari mana?" tanyanya bertubi-tubi.

"Aku dari pantai–" kalimatku terhenti. Aku tidak mungkin menceritakan kronologinya. Aku tidak bisa mengungkapkan maksud bunuh diriku pada siapa pun. Surat perpisahan untuk ayahku mungkin lebih diartikan seperti aku kabur dari rumah, bukannya menenggelamkan diri di Samudra Pasifik.

"Di bulan ini? Waktu seperti ini?" Bentak Zach. "Apa sebenarnya yang kau pikirkan?"

"Aku tahu. Aku hanya butuh udara." Aku membalas cepat. Tiba-tiba merasa jengkel karena Zach seolah peduli padaku, namun menjauhiku seperti wabah dalam enam tahun terakhir. "Aku benar-benar harus pulang sebelum ayahku menghubungi polisi."

Sepertinya, Zach lebih jengkel daripada aku. Ia berjalan dengan langkah kasar ke teras, kemudian kembali sambil memberikan sandal padaku. "Kau sebaiknya memikirkan itu sebelum melewati pintu rumahmu untuk pergi ke pantai dengan kaki telanjang."

Kebingungan kembali menerjangku. "Aku … bertelanjang kaki?"

Zach menghela napas. Ia masih marah, namun putus asa mencari informasi lebih banyak dariku. Jujur saja, aku juga ingin tahu apa yang terjadi padaku. "Ya, Al. Aku tidak menemukan sepatumu di mana pun. Hanya Tuhan yang tahu bagaimana kau bisa sampai di sini. Pakailah ini untuk sementara waktu. Kuantar kau dengan mobilku."

Biasanya harga diriku akan mempertegas keenggananku untuk menerima tawaran anak populer. Mereka hanya mengerjai pecundang sepertiku. Bukan satu atau dua kali anak populer di Rockside Bay bersikap semena-mena. Mereka berpura-pura menawarkan bantuan seperti mengantarkan pulang, mengundang ke pesta, atau mengajak keluar. Semua itu hanya untuk meniduri dan mempermalukan para pecundang yang terlena.

Tapi ini Zach. Jika ia punya maksud buruk seperti membuat video 'Gadis sinting datang ke rumahku tanpa alas kaki', ia sudah melakukannya saat ini. Jika ia ingin mencampakkanku, ia akan membiarkanku berjalan dua kilometer sambil telanjang kaki. Jadi aku menurut saja.

Udara di luar benar-benar gila. Aku tidak bicara selama sepuluh menit perjalanan ke rumahku. Zach bertanya apakah aku lapar agar kami bisa mampir untuk makan sesuatu, namun aku menggeleng. Perutku rasanya seperti habis diaduk berliter-liter air asin. Membuatku bertanya-tanya apakah tenggelamnya tubuhku nyata adanya.

Jika aku benar-benar membutuhkan bantuan hingga berjalan ke rumah Zach, kenapa rumah Zach? Otakku yang tak seberapa ini pasti lebih memilih UGD yang lebih dekat dari pantai atau pulang ke rumahku yang sama jauhnya. Jalanan ke rumah Zach bukannya beraspal mulus seperti wilayah penginapan di kota. Bahkan dengan kaki telanjang, aku bisa membuat kulitku melepuh.

Zach berpikir aku pasti membuang sepatuku di sekitar rumahnya. Yah, lagipula untuk apa aku membuang sepatuku? Seperti malam ini belum cukup gila.