webnovel

8. Not okay

"Aku kira para kakak kesini, tadi pagi aku dengar sayup-sayup suaranya. Ke mana mereka?"

Kenzo menatap Aumy heran ketika melihat meja makan kosong melompong. Sama seperti pagi-pagi lainnya, hanya saja yang Kenzo herankan kenapa tidak ada saudaranya disana.

"Tadi pada ke panti asuhan, abimu tiba-tiba pengen ketemu sama anak-anaknya," jawab Aumy tenang.

"Dan aku ga diajak?" lirih Kenzo kecewa. Ia merasakan perih di hatinya. Apa ia bukan bagian dari keluarga ini?

"Negative thinking kan kamu," cetus Aumy sembari meletakkan apel yang telah ia potong-potong didepan Kenzo. "Tadi kakakmu, Akihiro sama Akihiko kesini pagi-pagi sekali. Dan kamu masih tidur, mereka minta izin pada Okaasan, dan tentu saja Okaasan menyetujuinya. Saat mereka menanyakan tentangmu, Okaasan jawab kalau kamu masih tidur. Lalu mereka batal mengajakmu pergi bersama," jelas Aumy pada anaknya yang ia kenal gampang emosi

"Kenapa tidak membangunkanku?" kejar Kenzo tak terima.

"Karena Okaasan tidak tega membangunkanmu. Kamu baru pulang jam satu dini hari, dan mungkin baru terlelap sekitar jam tiga. Tadi Okaasan juga membangunkanmu untuk sholat shubuh, entah kamu pergi wudhu atau malah tertidur lagi," kelit Aumy dengan senyum kecil.

"So, kenapa Okaasan tidak bertanya, semalam aku pergi ke mana?" tanya Kenzo yang merasa bingung dengan ibunya, lalu mencomot sepotong apel dan mengunyahnya.

"Haha tahu, kamu karena balapan, bukan? Genta menghubungi haha semalam. Dia mengatakan kalau kamu sedang dalam keadaan tidak baik, murung. Haha hanya tersenyum, lalu berkata kalau kamu tidak akan pulang shubuh, kamu pasti akan pulang setelah lewat tengah malam."

"Dan ternyata memang benar," lanjut Kenzo. Ia menatap ibunya lamat-lamat. Wajah ibunya tetap terlihat muda meski umurnya sudah setengah abad.

"Setiap abimu kemari ia pasti mencarimu, dan ketika Okaasan tidak menjawabnya abimu hanya tersenyum lalu berkata 'mungkin ia sedang di panti bersama Kanzo.' Ingin sekali Okaasan mengatakan yang sebenarnya, tapi Okaasan memilih diam," cerita Aumy.

"Doshite?" lirih Kenzo heran.

"Haha takut, takut kalau kamu tersakiti lagi. Takut kalau abi mu malah kecewa pada mu. Meski kalian lahir dari rahim dan benih yang sama, bukan berarti kalian harus sama, bukan?" Aumy menatap Kenzo penuh kehangatan.

Kenzo tertegun.

"Bibi Aumy itu baik, elo nya aja yang kaku," celetuk Genta disuatu hari saat ia tersenyum tipis pada sang ibu.

"Malah ngelamun. Ga baik, nanti pikirannya jadi sarang setan lho," oceh Aumy sembari memukul pisau besi pada piring kaca, sehingga membuahkan bunyi dentingan pelan yang cukup untuk membuat lamunan Kenzo buyar.

"Okaasan, kalau Okaasan pengen marah ke aku, marah aja sekarang," cetus Kenzo tiba-tiba.

Aumy heran, "Marah kenapa?"

"Atau minimal kecewa?" tambah Kenzo yang semakin tak nyaman dengan tatapan tak mengerti Aumy yang terarah padanya.

"Kamu kenapa Ken?" Aumy menepuk bahu Kenzo pelan.

"Karena Okaasan punya anak kaya aku. Ga pernah bisa banggain orang tua, ga pernah bisa dapet prestasi," ungkap Kenzo pahit, menatap ibunya tajam.

Aumy menggeleng pelan, menatap Kenzo dengan sorot mata yang penuh getir pahit.

"Apa Okaasan akan mengekangku seperti dulu? Melarangku keluar rumah lagi?" tanya Kenzo tergetar. Dahulu ia pernah dikurung dalam rumah selama seminggu karena tidak pulang selama 3 hari.

"Tidak, memangnya untuk apa Okaasan melakukannya?" Aumy mengangkat bahunya ringan. Ia tahu bagaimana harus menyadarkan anak bandelnya.

"Okaasan sebenarnya tahu apa yang kamu lakukan diluar sana. Okaasan tahu Kenzo, Okaasan tahu semuanya," tandas Aumy.

Sampai disini dada Aumy terasa sesak, ia berusaha melonggarkannya lagi. Ia menahan air matanya agar jangan sampai menetes, kalau mampu jangan sampai menggenang.

"Balapan adalah duniamu, kelab malam adalah peristirahatanmu, arak adalah pelepasanmu. Setiap malam, di setiap kamu menambah daftar dosamu, Okaasan berdoa semoga kamu sadar, semoga kamu berubah. Okaasan tidak mau menjadi Okaasan yang seperti dulu. Okaasan yang kamu benci, Okaasan yang kamu hindari, Okaasan yang selalu memaksamu berubah. Okaasan hanya ingin mendoakanmu, mendoakan keselamatanmu. Umurmu sudah tujuh belas Kenzo, kamu sudah Okaasan anggap dewasa dan bisa menentukan jalan hidupmu sendiri," curhat Aumy.

Kenzo tergetar.

"Detik ini Kenzo, detik ini. Okaasan menyerahkan dirimu pada dirimu sendiri. Okaasan sebenarnya tak mau melakukan ini, tapi ini demi kebaikanmu. Okaasan tak mau disalahkan, ketika kamu menemui nasib burukmu nantinya. Kamu mungkin akan bilang 'Ini semua karena Okaasan tidak menahanku!' tidak Kenzo, tidak. Okaasan tidak akan menahanmu karena kamu, tahu mana yang benar dan mana yang salah. Untuk terakhir kalinya Kenzo, Okaasan hanya ingin mengingatkan, hukum meminum arak, berjudi dan berzina adalah haram mutlaq, haram yang tak bisa diganggu gugat. Kamu selalu menganggap mereka adalah kesenangan, tapi kamu lupa bahwa Allah-lah pemberi segala kesenangan. Selagi kamu ridho pada segala perintah dan larangan-Nya, kamu akan menemukan kesenangan itu."

Satu detik..

Dua detik..

Tiga detik..

"Arigato, arigato gozaimasu, Okaasan," haru Kenzo, memeluk Aumy erat, erat sekali.

Aumy menangis dalam diam, ia mengelus rambut anaknya, lalu tersenyum miris ketika mendapati tato naga di leher sang putra.

[{}{}{}]

Lidya mengerutkan alis ketika membaca pesan Atha yang menurutnya cukup aneh.

---

From Atha:

Aku sedang di titik dimana aku tak tahu harus melangkah ke mana, aku berada di jalan di mana aku selalu ingin mengeluh, rasa syukurku seolah hilang. Apa yang harus aku lakukan? Al-Qur'an yang biasanya menenangkanku, kini sedang tak bisa kupegang, apa yang bisa menguatkanku?

---

Sehela nafas ditarik oleh Lidya, lalu tiba-tiba ia ingat bahwa dirinya juga pernah berada di titik yang sama dengan yang sedang dilalui Atha. Lidya tersenyum, entah musibah apa yang menimpa sahabatnya itu, ia hanya berharap Atha selalu tabah dalam menghadapinya.

Lidya memejamkan matanya sejenak, lalu membukanya dan menatap kaligrafi Allah dan Yasin yang indah tergantung di dinding kamar yang di cat kuning gading. Mendapatkan pencerahan, Lidya tersenyum lalu mulai mengetik keyboard ponselnya.

---

For Atha:

Ingatlah wahai saudaraku Allah berfirman dalam Alquran; [janganlah kamu berdukacita, sesungguhnya Aku bersamamu. (QS: At-Taubah 40)] [Aku tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya. (QS:Al-Baqarah 286)]

Kuatkan dirimu dengan kalam Allah saudaraku, ketahuilah, kalimat hauqolah adalah obat terbaik dari segala penyakit.

---

Lidya meletakkan kembali ponselnya dan menatap langit-langit kamar lalu ia kembali memejamkan matanya berusaha meredakan gemuruh kekhawatiran untuk Atha yang entah kenapa.

Ia berharap Maise yang merupakan pengasuhnya saat kecil dahulu bisa menjaga dan menemani Atha. Alasan kuat mengapa ia bersikeras meyakinkan kedua orangtuanya untuk mengirimkan Atha ke luar negeri adalah, Lidya ingin Atha tumbuh lebih sempurna dan mandiri. Ia ingin Atha menemukan apa yang ia cari dengan usahanya sendiri, dari sini, Lidya hanya mendoakan Atha supaya menemukan kelengkapan kehidupannya yang hilang.

"Lidya! Waktunya makan malam!"

Lidya tersentak kaget hingga duduk, suara sang ibu yang melengking itu tak pernah gagaal membuatnya terjingkat bahkan tergelincir. Lidya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan senyum hangat.

"Iya, aku turun!" sorak Lidya membalas, sebelum ibunya ke kamarnya dan mengoceh panjang lebar.

*Okaasan: ibu

*doshite?: kenapa?

*arigato gozaimasu: terimakasih banyak