webnovel

11. Seperti kupu-kupu

"Kenapa tak membiarkannya hinggap lebih lama?" tanya Maise penasaran.

Atha menggeleng, "Aku bukan tempat hinggap yang tepat, aku berharap kupu-kupu itu hinggap di sekuntum bunga yang baru mekar."

Pikiran Atha terbang pada buku-buku kuno yang berjajar rapi di rak dalam perpustakaan pribadi Gretta, ia dahulu sering mendapati gambar-gambar sketsa yang amat menarik di dalamnya.

Dan yang paling ia ingat adalah, kupu-kupu dengan sayap sobek yang sebenarnya indah sedang hinggap di sebuah bunga yang layu.

Maise tertawa pelan, "Kau sangat berperikehewanan," canda Maise. Padahal dalam hatinya, ia ingin melihat kupu-kupu bersayap indah itu lebih lama.

Ayolah.. wanita mana yang tidak menyukai keindahan, terlebih itu adalah sebuah sayap kupu-kupu? Dan keindahan pada diri Atha, seolah melengkapi keindahan yang kupu-kupu itu tebarkan.

"Dia juga makhluk Allah, Bi. Aku mencerminkan hidupku seperti kupu-kupu tersebut, terbang, hinggap untuk istirahat, dan terbang lagi, jika lelah, mencari tempat untuk hinggap sesaat, sebelum kemudian untuk kembali terbang."

Jari-jari lentik Atha bergerak kesana-kemari, memperagakan bagaimana kupu-kupu terbang dan hinggap pada tempat yang ia sukai.

"Sayapku rapuh, tergesek sedikit dengan ranting kering, bisa membuat aku tak bisa terbang lagi, dan itulah yang membuatku menyandarkan keselamatan dan mengharap kebaikan pada Sang Pencipta saja."

"Jika aku merasa tak nyaman dan terganggu dengan situasi yang menyebabkan aku harus enyah, berarti itu bukan tempat yang tepat untuk kusinggahi. Allah yang lebih mengerti."

Atha menyilangkan tangannya, kamuflase bahwa ia sedang memeluk dirinya sendiri. Setelah mengatakannya, Atha merasa hatinya benar-benar penuh dan sesak oleh kedamaian yang hadir entah dari mana.

Maise bertepuk tangan pelan, "Hebat! Hebat! Aku salut padamu!" sanjung Maise.

Atha tersentak, lalu menundukkan wajahnya dalam-dalam. "Maaf, Bi, maaf.. aku salah!" mohon Atha.

Maise menelengkan kepalanya, menatap Atha tak mengerti. "Kamu salah? Salah apa?" Maise bertanya bingung.

Atha beraut kecut. "Di keluargaku dulu, aku diajari tata cara melakukan segala sesuatu dengan sopan. Dan tadi itu, aku melanggar batas kesopanan karena mengajari seseorang yang lebih tua," jawab Atha memaparkan alasannya.

Maise tergelak, "Sudahlah, Nak. Kau benar-benar piawai bermain drama. Bukankah kau sering mengguruiku seperti ini?" sindir Maise.

"Eh?" Atha terkejut.

Maise menepuk-nepuk pundak Atha, "Bawaan sakit ya? Kamu seperti berkepribadian ganda hari ini," celetuk Maise. "Lagi pula kau sangat aneh hari ini, apakah kau merindukan keluargamu? Ini adalah pertama kalinya setelah 2 tahun kau di sini menyebut mengenai keluarga tanpa dipicu."

Atha menggaruk puncak kepalanya dan tersenyum tak nyaman. Iya, dia merasa agak berbeda dari biasanya. Ia lebih sensitif, dan melankolis. Tapi tentang keluarga? Entahlah. Atha sendiri baru sadar bahwa ia terlalu bersikap semena-mena selama ini.

Ia bahkan hanya menyebut nama keluarganya saat setelah sholat saja, selain di waktu itu, Atha enggan mengungkitnya. Tentu saja ada waktu di mana ia menitikkan air mata karena rindu ringan yang menyerang. Tapi hal semacam itu, sudah berhasil Atha hadapi, dan Atha sudah terbiasa untuk mengendalikan air matanya sendiri.

Atha mengedipkan matanya, berusaha menghentikan lamunannya yang mungkin terlalu jauh. Ia melirik Maise dan membuka topik pembicaraan yang tadi telah ditutup.

"Bi," panggil Atha pelan.

Maise menatap Atha, "Ya?"

"Em.. masalah peri tadi," lirih Atha ragu.

Maise menggeleng, "Soal itu, aku sama sekali tak serius kok. Santai saja.."

Atha tersenyum tipis mendengarnya. "Mengenai makhluk mitos itu, aku tak tahu harus mengakuinya ada atau tidak. Tapi satu yang kuyakini, bahwa di alam semesta ini kita tak sendiri."

Alis Maise terangkat, "Apa yang membuatmu seyakin ini?"

Dahi Atha berkerut, "Alam semesta ini, sangat luas, Bi. 39 miliar tahun cahaya, ditambah dua ratus atau tiga ratus galaksi lainnya, bukan hal yang mustahil jika bukan hanya bumi yang punya kehidupan," terang Atha.

Maise menghela nafas, "Aku yang tak pernah sekolah hanya bisa melongo mendengar penuturan mu barusan, Nak." Maise geleng-geleng takjub.

Atha terkekeh, "Singkatnya, aku yakin bahwa bumi bukan satu-satunya planet yang punya kehidupan. Bahkan jika ada yang membuktikan bahwa makhluk mitologi itu benar-benar ada, aku tak akan menyangkalnya," terang Atha. Ia tak pernah berpikir tentang hal-hal mistis, tapi jika itu tentang konspirasi alam semesta, Atha memberi pengecualian.

Maise mengangguk membenarkan, "Iya juga. Karena sebelum ini tak pernah ada seseorang yang mampu membuktikan bahwa semua yang kita temui itu murni manusia kan, ya?"

Atha mengangguk antusias, "So true!"

"Bibi! Bibi!" Dari sudut lain, gadis kecil berumur 8 tahun berlari tergesa-gesa ke arah mereka berdua, lebih tepatnya ke arah Maise.

"Ada apa Amaira?" tanya Maise yang langsung bangkit ketika Amaira mendekat ke arahnya.

Amaira berusaha mengatur nafasnya, "Bi! Ammar jatuh dari tangga! Kak Sheryl sedang membawanya ke klinik!" lapor Amaira.

"Innalilahi wa inna ilaihi roji'un," lirih Maise. Ia spontan menatap Atha yang menatapnya serta Amaira dengan tatapan tak mengerti.

"Atha, Ammar terkena musibah. Ia jatuh dari tangga, aku akan segera ke klinik untuk memastikan keadaannya, apa kau mau ikut?" tanya Maise hati-hati.

Atha tersenyum, "Innalilahi wa inna ilaihi roji'un, semoga lukanya tidak parah ya, Bi. Aku di sini saja, akan sangat merepotkan Bibi jika harus membawaku saat ini," jawab Atha dengan tangan terentang, menunjukkan keadaannya saat ini.

"Kau yakin Atha? Apa aku perlu memanggil pengurus lain untuk membawamu ke kamarmu?" tanya Maise bernada khawatir.

Atha menggeleng, menolak dengan sopan. "Aku akan baik-baik saja."

Maise mengangguk dan berjalan mengikuti Ammar yang terlebih dahulu berlari, meninggalkan Atha yang terduduk sendiri.

Atha menghela nafas, melirik ke sekelilingnya. Kosong. Tak ada siapa pun dan apa pun. Dan Atha benci kesendirian yang seperti ini.

Atha merogoh saku jubahnya dan mengeluarkan notebook mini serta penanya memang selalu stay di sakunya, dan selalu ia bawa kemana saja ia pergi.

Atha membuka halaman tengah, karena halaman bagian pertama penuh dengan coretannya.

Setelah membuat titik 3 di sudut kiri atas - kebiasaannya sebelum menulis sesuatu - kemudian ia menulis kalimat yang sangat ingin ia tulis.

'Aku seperti seekor kupu-kupu'

Atha tenggelam dalam kegiatannya, menoreh tinta di atas kertas yang baunya ia sukai. Sampai ia sama sekali tak sadar, ada beberapa pasang mata yang mengintipnya dari kejauhan.

"Apa dia selalu begitu?" tanya Akihiro dalam keheningan.

"Selalu apa?" tanya Kanzo tak mengerti.

"Mudah tenggelam dalam pikirannya sendiri," jelas Akihiro.

Kanzo tersenyum tanpa sadar, ia pun mengangguk. "Ya, dia selalu begitu."

Aya dan Aleeya yang ada di bagian belakang berbisik-bisik.

"Bagaimana kalau aku menghampirinya?" tanya Aya pada Aleeya.

"Memangnya apa yang akan kau katakan padanya nanti?" tanya Aleeya bingung.

"Tentu saja berkenalan," sahut Aya yang langsung melenggang ke arah Atha duduk.

Mengabaikan raut panik Kanzo, dan senyum samar di bibir sang Abi. Langkahnya mantap berjalan ke arah Atha, dan ketika hanya tersisa jarak satu langkah di antara mereka, Aya mengulurkan tangannya dan menepuk pundak Atha.

"Assalamualaikum Atha!"