webnovel

Dua Prajurit Niantra

Daun pintu yang semakin tersingkap, semakin menampakkan apa yang mulai muncul dari dalam gerbangnya? Tak sebatas awan-awan tipis yang berhamburan keluar.

KRAAKK!

Besar, bahkan Ellenia sampai mundur beberapa langkah menyaksikan kedua tangan coklat ini tiba-tiba memegang gerbang emas tersebut.

"Jadi ini Alam Montrea?"

BLAAMMM!

Bertanya suara besar dari dalam gerbang tersebut seraya turun menjejakkan kaki ke tanah Bartham, gemuruh tanah seakan mengisyaratkan tak kuat menopang berat tubuh makhluk ini, satu sosok kini tegap berdiri sembari melempar pandangan ke sekeliling. Wujudnya yang sempurna tampak kekar, berhadapanlah Ellenia dengan Ras Petarung yang sudah melegenda ke seantero Montrea.

"Ya, ini kunjungan pertamamu kan, Gerdhell?" sahut suara besar lain yang bertanya dari dalam gerbang.

"Jadi ini? Ras Raksasa...." gumam Sang Gadis lirih.

Yang dilihatnya memang sesuai dengan dongeng-dongeng yang dituturkan, bertelanjang dada makhluk besar ini dengan jaring-jaring besi yang dipikulnya. Pedang yang di genggamnya mulai mengendur, mungkin respons kala matanya menangkap guratan otot-otot besar di sepanjang tubuh ini. Belum lagi tingginya yang bahkan melebihi Istana Pusat Bartham.

BLAAMMM!

Berlanjut turun sosok kedua yang tak kalah kekarnya dengan raksasa tadi, hanya saja raut wajahnya agak lebih tua dari sosok yang dipanggil Gerdhell ini. Keduanya mendekat, satu-satunya persamaan dari keduanya adalah terpasangnya sepuluh cincin di setiap jari mereka. Ukiran motif aneh mengitari setiap cincin emas yang dikenakan, layaknya merasakan energi sihir yang menghentak, terdiam Ellenia yang sama sekali tak menurunkan kewaspadaan menyaksikan keduanya.

"Merdhell, lihatlah! Sepertinya baru saja terjadi pertarungan di tempat ini" ujar Gerdhell yakin akan pengamatannya.

"Bukan urusan kita, ingat! Tetua Verdall menyuruh kita untuk apa? Kau sering tak fokus saat bekerja," balas Merdhell tak begitu menghiraukan.

Secara tak sengaja, di antara puing reruntuhan dan rimbun pepohonan yang hangus. Mata besarnya menangkap gelagat makhluk kecil, tepatnya Ellenia yang masih menatap ke arahnya. Ia pun menunjuk Sang Gadis seraya berkata.

"Itu manusia, kau lihat? Coba kau tanyakan padanya."

"Manusia? Ini pertama kali aku melihatnya, hei, makhluk kecil! Apakah ini Bartham? Bisa kau berikan kami petunjuk tentang Ras Terkutuk di sekitar sini?" tanya Gerdhell menggebu-gebu.

"Tunggu, apa maksudmu Ras Terkutuk?" balas bertanya Ellenia seraya menurunkan pedangnya.

Secepat mungkin dirinya mencoba berpikir, jangan-jangan kedatangan mereka berdua sedang mencari sosok Dewa Palsu itu? Sayangnya seperti yang gadis ini ketahui, Sang Dewa Palsu sudah tamat di tangan Silbi.

"Ya, Ras Terkutuk yang anu, mereka-"

"Hentikan! Kedatangan kami kemari untuk menyelidiki Ras Terkutuk yang muncul di Bartham, sekaligus mencari tahu apa manusia sedang bekerja sama dengan mereka? Jika kau mengetahui sesuatu cepat katakan manusia!"

Belum sempat Gerdhell menjelaskan, dengan cepat Merdhell memotong pembicaraan kedua orang itu dan tanpa basa-basi langsung menuju pokok permasalahan. Tugas yang ia emban agaknya menuntut keseriusannya untuk selalu tegas dalam bersikap, tajam caranya memandang Ellenia seolah ingin segera mendapatkan informasi terkait keberadaan sosok yang ia cari.

"Lalu kenapa kalian malah bertanya padaku? Kenapa tak kalian cari saja jika Ras Terkutuk itu ada di Bartham?" selidik Ellenia mulai penasaran.

"Ck! Jika keberadaannya bisa dilacak itu hal gampang, sekarang hawa keberadaan tikus ini malah raib tak tersisa, jika kau tahu sesuatu katakan padaku," balas Merdhell berdecak agak kesal.

"Sesuai dugaanku, tapi sebenarnya Ras Terkutuk itu apa? Jika Para Raksasa sampai turun ke sini dan menduga manusia bekerja sama dengan mereka, bisa dipastikan mereka adalah sesuatu yang di waspadai," batin Ellenia mencoba memahami situasi sekarang.

Sejenak ia pandangi Randra yang masih tertidur pulas, agaknya pertarungan barusan dan segala keanehan yang baru saja ia alami terlalu tiba-tiba baginya. Belum lagi kedatangan dua raksasa ini, melangkah dara muda ini mendekati Gerdhell dan Merdhell yang masih menunggu jawaban darinya.

"Raib? Apa musnah begitu saja? Tapi bisa saja dia berada di kerajaan lain selain Bartham," ucap Ellenia, mendelik matanya seakan memancing keluarnya informasi.

"Maksudmu musnah seperti mati? Yang benar saja, mereka itu abadi! Apa yang dikatakan Tetua kami tak mungkin salah, dia memang berada di Bartham," balas Merdhell masih dengan keyakinannya.

Sejenak ia memandang sekeliling, mayat-mayat yang hangus terbakar dengan tanahnya yang terangkat pun mulai ia perhatikan. Rasanya memang terjadi sebuah pertempuran besar, begitu juga tombak yang hangus tergeletak disisi bangunan pun tak luput dari perhatiannya, meski tak sebesar ukuran tubuhnya namun itu cukup besar untuk ukuran manusia normal.

"Tapi jika keberadaannya tak ada di sini, apa dia lari karena pertarungan barusan? Katakan apa yang baru saja terjadi? Kulihat hanya kau dan temanmu saja yang berhasil selamat," lanjut Merdhell mulai bertanya.

"Ini, hanya serangan dadakan Mosteine yang tiba-tiba menyerang kami, apa kau tak mendengar kabar Perang Empat Kerajaan? Semua orang yang selamat sudah mengungsi, aku hanya beristirahat sejenak dan kalian tiba-tiba muncul di sini," jelas Ellenia mengarang cerita, entah kenapa ia masih curiga dengan kedatangan dua raksasa ini.

"Benarkah? Ada perang di Alam Montrea? Manusia makhluk kecil yang suka berperang ya? Ini seperti apa yang sempat di ceritakan Tetua," sahut Gerdhell yang sedari tadi diam.

"Tombak itu...." ujar Merdhell lirih seraya mendekatinya seakan dirinya ingin mengambil senjata tersebut.

ZRAAKKK...ZRAAKKK...ZRAAKKK

Baru saja tangan besar itu hendak meraih gagang tombaknya, hancur setiap bagian dari tombak itu menjadi abu yang berserakan di permukaan tanah, percikan-percikan api kecil pun turut bermunculan kala serpihan Astrapara berjatuhan. Sontak mundur langkahnya seakan menyadari sesuatu, bukan karena tombak tersebut seakan tak ingin disentuhnya.

SRING!

"Berani sekali kau menipuku! Katakan yang sejujurnya!" bentak Merdhell sembari mengarahkan salah satu senjatanya pada Ellenia.

Mengernyitnya dahi Sang Gadis mungkin karena todongan lonjoran besi yang di genggam Merdhell. Semacam lima tongkat pendek pada jaring di pundaknya itulah yang menjadi senjata Ras Raksasa. Ujung lancip yang agak mengait dengan bagian bawahnya terhubung dengan jaring besi, Pasak Bumi mereka menyebutnya. Baru kali ini Ellenia menyaksikan bentuk anehnya, dan kini senjata tersebut malah mengacung menantang tepat ke arahnya.

"Tunggu Merdhell, apa maksudnya menipu? Tenanglah," pinta Gerdhell mencoba meredakan amarah rekannya.

"Diamlah, bodoh! Aku seniormu di Verdallior, hormati keputusanku!" bentak Merdhell seakan tak ingin kata-katanya diabaikan.

Merasa sudah tak bisa dihalang-halangi lagi, mau tak mau Gerdhell pun terdiam menuruti perintah seniornya. Agaknya ia sudah paham jika rekannya ini terkadang memang kaku saat menjalankan tugas, mulai risau benak Raksasa Muda ini kala Merdhell maju mendekati Ellenia, Pasak Bumi sama sekali tak ia turunkan dari tangannya.

"Dengar manusia! Ini yang terakhir kalinya, katakan atau kau kuhancurkan saat ini juga!" perintah Merdhell.

Sebisa mungkin Ellenia mencoba mengulur waktu, ingin bertarung pun rasanya sangat tak mungkin mengingat ukuran musuhnya yang di luar nalar, belum lagi ia hanya berdiri sendiri tanpa pengawalan pasukannya. Tenaganya mungkin juga sudah terkuras sejak melawan Randra, berkata Kapten Pasukan Pengintai ini seraya memberi tawaran dengan santai.

"Apa maksudmu menipu? Kenapa kita tak menyelesaikan ini dengan kepala dingin? Lagi pula ini pertama kalinya aku melihat Ras Raksasa, kita bisa bicara banyak hal terkait perbedaan ras kita."

WSSSSS...WSSSSSSS...

Semakin tajam kedua matanya mendelik, lirih desiran angin yang terkumpul di sekitar mereka seakan tak paham akan situasi ini. Tanpa ketiga sosok ini sadari, Randra yang sedari tadi tertidur pun perlahan membuka matanya, tepat saat Merdhell mulai mengangkat Pasak Buminya ke langit dibarengi teriakan lantang.

"Cukup sampai di sini!"

WSSSSSS...BLLAAARRR...

Pilar-pilar tanah mencuat keluar dari dalam Bumi Bartham kala senjatanya menghantam tepat di atas Ellenia, bahkan Randra pun tak luput dari amukan Sang Raksasa. Seakan pilar-pilar itu terdorong oleh energi yang sangat besar, sontak kedua anak manusia ini juga turut terdorong ke atas, melambung tinggi keduanya seakan mengarungi angkasa.

"Apa!? Apa yang baru saja terjadi!" pekik Randra yang terkejut mendapati dirinya melesat ke udara.

"Randra! Tenangkan dirimu dulu, untuk sekarang, yang penting bagaimana cara kita mendarat? Ini buruk," seru Ellenia mendapati Randra yang sudah siuman.

Tak begitu jauh jarak di antara keduanya, kepanikan Randra semakin menjadi-menjadi kala ia rasakan tubuhnya mulai melambat terjun ke bawah, baru sehari dan ia sudah dua kali mengalami hal seperti ini. Lain lagi dengan Ellenia yang masih bisa menguasai keadaan, meski dirasanya sulit untuk mendarat dengan selamat, namun bukan berarti ia diam saja tanpa melakukan apa pun. Dikeluarkannya pedang itu dari sarungnya yang langsung ia hunuskan ke arah bawah, seakan dirinya sedang terfokus pada ujung pedang, berharap sisa energi sihirnya cukup untuk dikeluarkan.

"Redstra!" serunya lantang.

WUUSSSS...

Ratusan kelopak mawar tiba-tiba keluar dari ujung pedangnya seakan siap menghujam tanah, kecepatannya kian menurun dan kini malah mengambang berhamburan di udara.

"Mendaratlah di sana! Itu cukup sebagai bantalan untuk pendaratan kita," pinta Ellenia pada Randra.

"Mendarat? Ya, baiklah," balas Randra agak keras karena jarak mereka semakin berjauhan.

Di bawah sana gumpalan-gumpalan dari kelopak mawar saling terkumpul di beberapa tempat. Sebisa mungkin Pemuda Montrea ini mencoba mengarahkan dirinya agar mendarat tepat di bantalan mawar tersebut.

"Keluarkan...." ucap Silbi lirih.

Heran dengan kemunculan Silbi yang tiba-tiba, Randra mencoba memahami apa arti ucapannya barusan. Tiba-tiba ia terpikir sebuah cara untuk meminimalisir benturan, tepat saat ia rasakan dirinya semakin cepat terjun ke bawah.

"Ellenia, bersiaplah!" seru Randra sembari menengok Ellenia yang masih berada beberapa meter di atasnya.

JBUUKK!

SRIIINNNGGG!!!

Bertepatan dengan dirinya yang baru saja mendarat, kedua tangannya ia rentangkan ke samping seraya mengeluarkan lima rantai di masing-masing tangannya, sontak beberapa gumpalan lain yang tak begitu jauh darinya ikut terkait rantai tersebut. Dirasanya bantalan dari kelopak mawar tersebut semakin menurun, tampaknya memang tak kuat menahan beban dari tubuh Si Pemuda, untungnya ia menarik kesepuluh rantainya bersamaan. Terkumpullah beberapa gumpalan itu menjadi satu gumpalan kelopak mawar raksasa, tepat saat Ellenia akan mendaratkan dirinya.

JBUUKK!

"Ide yang bagus," ucap Sang Gadis yang mencoba duduk.

Berhasil mendarat dirinya pada gumpalan yang ditahan Randra, namun tetap saja, meski berukuran besar, nyatanya masih tak cukup menahan berat dari kedua muda-mudi ini. Perlahan namun pasti, semakin menurun keduanya mendekati permukaan tanah.

"Apa yang baru saja terjadi? Pilar-pilar tanah itu dan makhluk besar tadi, bukankah aku sedang di Istana Pusat? Semua ini begitu tiba-tiba," ujar Randra masih mencoba mempertahankan keseimbangan rantainya.

"Akan kujelaskan nanti, pertama, lihatlah di bawah sana!" perintah Ellenia pada Randra.

Mau tak mau pemuda ini pun sontak menengok bawah, terkejut dirinya mendapati luasnya bentangan samudera yang di penuhi akan kapal-kapal baja yang berlabuh, Singa berselendang hijau, itulah lambang dari bendera yang terpasang di setiap kapal-kapal perang berukuran besar ini. Entah apa yang diangkut ratusan kapal ini? Mungkin itu yang jadi perhatian Randra.

"Ternyata kita melesat ke utara, ini Castrodha, kota di ujung utara Negara Bartham, kapal-kapal itu mengangkut tentara-tentara Bartham yang diterjunkan ke medan Perang Empat Kerajaan," jelas Ellenia