webnovel

38. Kulihat Dirimu (3) 20+

Tidak butuh waktu lama hingga pakaian keduanya berserakan di lantai.

"Nggak bisakah kamu persiapkan aku sekarang?" tanya Haris dengan nafas terputus di dada Hasan.

Wakil direktur itu sedang duduk di pangkuan Hasan. Tangannya sibuk mengocok tongkat daging mereka yang basah dan saling bergesekan.

Hasan menjulurkan tangannya, jarinya mencari celah di antara kedua pantat yang empuk. Jarinya bisa masuk, tapi akan butuh waktu sangat lama jika posisi mereka tetap begini.

"Hasilnya kurang maksimal," lapor Hasan sambil mengecup pelipis atasannya yang mulai lembab oleh perspirasi.

Sudah beberapa lama sejak terakhir mereka melakukannya. Hasan tidak mau menyakiti Haris dengan terburu-buru, dan ingin agar mereka sama-sama menikmati momen ini.

"Pak Haris berputar dulu," ujar Hasan seraya mengecup pipi pria itu.

Hasan membantu Haris memposisikan dirinya. Mata atasannya sudah tidak fokus, dan menurut saja dengan apa yang dikatakan Hasan. Hingga wajah wakil direktur itu berhadapan dengan kejantanan Hasan. Organ itu bergerak seakan menyapanya nakal.

Mata Haris terpejam ketika dia merasakan sensasi yang enak di bawah sana. Panas, basah dan sempit. Mulut Hasan tidak hanya pandai bicara.

Tanpa diinstruksikan lebih lanjut, Haris tahu apa yang harus dia lakukan. Meski rasanya masih memalukan, karena Hasan membuka pantat dan celahnya lebar-lebar. Tapi hal itu justru membuat darahnya berdesir makin kencang.

"Pak, buka kakinya lebih lebar," perintah Hasan.

Haris pun kembali mengangkangkan kakinya, dan memasrahkan tubuhnya pada Hasan. Menahan suara agar tidak keluar dari mulutnya, saat jari Hasan yang panjang keluar masuk dan mengenai titiknya. Membuat bunyi sclep sclep pelan.

Duda itu berusaha keras membuat Hasan merasakan kenikmatan yang sama, dengan mengisap dan mengelus tongkat di mulutnya.

Samar-samar, Haris mendengar rintik hujan yang kembali menerpa atap rumah. Dia lalu menoleh ke belakang, sudah sebentar lagi dan cairannya akan keluar.

"Masukkan sekarang, Hasan," perintahnya.

Pemuda itu mengeram, sudah susah payah dia tidak menyerang Haris saat itu juga, tapi atasannya itu malah menyuruhnya. Hasan pun membantah, "Sedikit lagi, Pak."

"Mmh.. Aku mau kamu di dalam waktu aku keluar."

Hasan tak kuasa menolak ajakan yang semanis madu. Dia menarik diri dari bawah Haris dan memposisikan organnya yang berkedut tak sabar, di celah yang sudah basah. Saat itu, mata Hasan menangkap sosok mereka berdua di cermin pintu lemari.

Pemuda itu mendapat ide dan menolehkan wajah pria di bawahnya ke arah cermin. Hasan puas saat melihat mata Haris yang membesar dan rona merah yang muncul di leher atasannya. Ketika itu pula, dia memasukkan ujung kontolnya sedikit demi sedikit.

"Lihat itu, Pak," bisik Hasan.

Suaranya terdengar makin berat karena nafsu yang sudah di ubun-ubun. Haris ingin berpaling dari pemandangan yang mesum dan tidak senonoh itu.

Tapi matanya seolah tersihir, ketika tangan Hasan merangkulnya dari belakang. Dan bibir Hasan menyesap leher Haris. Mengklaim dirinya sebagai milik pemuda itu, dengan tiba-tiba menusuknya kencang.

"Pak Haris yang cabul."

Haris yang sudah menahan sekuat tenaga, tidak dapat menghentikan semburan membuncah dari ujung penisnya. Tubuhnya mengejan dihantam gelombang kenikmatan yang datang bertubi-tubi.

Dan dalam keadaan masih sensitif itu, ayam jantan milik Hasan menyundul spotnya.

"Ack, Hasan! Tung-" cegah Haris terbata-bata.

Namun Hasan tidak peduli. Ketika tubuh wakil direktur itu meremas miliknya dengan nikmat, apalah daya seorang Hasan. Dia pun mendorong ke dalam tubuh Haris. Membenamkan miliknya dalam-dalam.

Sialan! Bagaimana bisa rasanya semakin enak tiap kali kami melakukannya!

Hasan menunggu sesaat hingga impulsnya untuk keluar, mereda. Sesekali, dia menghujani leher dan bahu lelaki dalam pelukannya dengan ciuman kecil.

"Hasan.." desah atasannya sambil membelai tangan Hasan.

"Hmm, iya, Pak," sahut Hasan sambil menggerakkan pinggulnya pelan-pelan.

Haris membuka mata, melihat pemandangan vulgar dirinya jadi budak kesenangan. Dia tidak lagi keberatan. Hasan memperlakukan dirinya dengan sangat baik. Menyentuh Haris di tempat yang tidak terduga dan membuatnya kehabisan nafas.

Gerakan organ milik Hasan dalam dirinya kadang menyebabkan sakit. Tapi saat ada kenikmatan yang lebih besar, yang Haris rasakan dari jung kepala hingga ujung kaki, dia tidak keberatan. Malah ada sedikit kebanggaan karena Hasan memilih dirinya dibanding yang lain.

Sclep! sclep!

Sayup-sayup Haris menyadari kalau gerimis sudah berubah jadi hujan deras. Bagus, dia tidak perlu menahan suara lagi.

"Ah! Ah!" Tubuh Haris terjengkang ke depan karena tidak kuat menahan dorongan dari belakang.

"Pak Haris.." panggil Hasan yang memegang erat pinggul pria itu. Dia memperlambat serangannya, khawatir terlalu kasar dan menyakiti atasannya.

Haris menoleh ke samping, lalu berbisik di telinga pemuda itu. "Hasan, genjot yang keras."

Tidak perlu diperintah dua kali. Hasan bisa merasakan dirinya makin mengeras untuk memenuhi permintaan Haris.

..

Ketika Hasan menarik penisnya pelan-pelan keluar, matanya tak bisa lepas dari lubang yang tadi mencengkram dengan erat. Lubang yang kini bengkak dan meluber. Saat matanya naik sedikit, organ milik duda itu lunglai. Cairan semi transparan yang pekat, membasahi tubuh mereka berdua.

Lagi-lagi dia lupa pakai kondom. Hasan harap Haris tidak membiarkan hal itu jadi kebiasaan. Bukan berarti dia akan mengijinkan orang lain mendekati apalagi menyentuh yang jadi miliknya.

Sekarang, pemuda itu baru terpikir bagaimana dia akan menjelaskan pada ayah Haris, tentang seprei dan kasur yang basah. Dan pasti ada aroma khas yang berbeda yang bisa membuka kedok. Hasan tidak masalah seandainya orang tua itu memarahinya habis-habisan. Yang dikhawatirkannya saat ini adalah Haris.

Pria yang memandangnya dengan tatapan puas dan nyaman. Sejurus kemudian, atasannya itu bertanya, "Mau lanjut lagi?"

Hasan berbaring di sebelah wakil direktur itu.

"Saya tidak mau diusir karena ketahuan menghamili Pak Haris," jawab Hasan. Hujan di luar mulai reda, hawa dingin perlahan menyusup lewat celah-celah kisi jendela dan pintu.

Haris spontan menepuk keras dada bidang Hasan. "Enak saja kalau bicara," omelnya ketus.

Hasan hanya nyengir sambil merengkuh tubuh yang lebih kecil darinya itu. "Bapak mau mandi sekarang atau besok?"

Dia tak bisa menahan tawa melihat Haris yang perlahan menyadari keadaan kasurnya.

"Kalau ada seprei bersih, saya bisa bantu ganti." Hasan menawarkan diri.

"Mm, tapi airnya dingin..." keluh Haris.

Selama ini Haris selalu mandiri, tegas dan berwibawa. Hasan banyak belajar dari duda itu selama tiga tahun terakhir. Karenanya, melihat sisi manja dan tak berdaya atasannya itu, membuat hati Hasan terasa geli.

Hasan ingin memanjakan atasannya itu habis-habisan, dan tidak bisa berfungsi tanpa kehadiran dirinya.

"Pak Haris tidurlah dulu," ujar Hasan sambil mengusap pelan punggung Haris yang masih terbuka.

"Hmm, sepreinya ada di sana." Tangan Haris menunjuk ke arah lemari dengan pintu cermin. Matanya yang tertutup menunjukkan betapa mengantuknya dia.

Meski enggan, Hasan memakai lagi baju miliknya. Beruntung karena saat ke kamar mandi, tidak bertemu siapapun. Air yang dingin membuat badannya kembali segar. Selesai mandi, dia memakai pakaian ganti milik Haris yang sedikit terlalu ketat.

Dengan memakai kain seadanya, Hasan memakainya untuk membersihkan tubuh Haris. Pria itu hanya mengerang pelan sebelum kembali hanyut dalam tidur. Tantangan terberat bagi Hasan adalah saat membersihkan bagian dalamnya.

Sulit karena Hasan bisa merasakan celananya makin sesak, melihat cairan yang masih keluar dari lubang. Cairan yang tadi dia semburkan ke dalam sana. Hasan akhirnya menyumpalkan tissue sebagai pencegahan sementara.

Mengganti kain seprei hanya butuh waktu singkat, dan sebentar saja Hasan sudah berbaring lagi di samping Haris.

Karena memang disanalah tempatnya berada.

.

.